Biden Akui Bom AS Telah Bunuh Warga Gaza, Ancam Stop Kirim Bom ke Israel
Presiden Joe Biden menstop pengiriman ”bom bodoh” ke Israel. Tapi, ada keraguan di dalam proses pengambilan keputusan.
WASHINGTON, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengakui, bom-bom yang dikirim AS ke Israel telah digunakan untuk membunuh warga Palestina di Jalur Gaza. Dalam wawancara khusus dengan televisi CNN, Rabu (8/5/2024) waktu setempat atau Kamis waktu Indonesia, ia untuk pertama kali mengancam akan menghentikan sebagian pasokan senjata AS ke Israel jika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras melancarkan serangan besar ke Rafah, Gaza selatan.
Rafah, wilayah paling selatan di Gaza yang berbatasan dengan Mesir, merupakan perlindungan terakhir warga Gaza. Sekitar 1,4 juta warga Gaza mengungsi di wilayah itu. Ancaman menjadi sinyal kuat ketidaksukaan Washington kepada Tel Aviv, khususnya kepada Netanyahu dan militer Israel yang keras kepala.
”Warga sipil terbunuh di Gaza akibat bom-bom itu dan hal-hal lain terkait cara mereka menarget pusat-pusat kumpulan warga,” kata Biden kepada CNN.
”Saya sudah mengingatkan dengan jelas, jika mereka masuk Rafah—mereka belum memasuki Rafah—jika mereka masuk Rafah, saya tidak mau menyuplai senjata-senjata yang secara historis telah digunakan untuk menangani Rafah, menangani kota-kota—berkaitan dengan masalah itu,” lanjut Biden.
Pada Senin (6/5/2024), militer Israel mengirimkan tank-tanknya ke Rafah. Pergerakan militer Israel ini dipandang sebagai awal serbuan darat ke Rafah meski digelar dalam skala terbatas. Invasi Israel ke Rafah dikecam sebagian besar masyarakat internasional, termasuk para sekutunya di Barat.
Baca juga: Invasi Israel ke Rafah, Tembok Besar Gencatan Senjata di Gaza
Netanyahu bersikeras ingin menyerbu Rafah dengan dalih ingin menghancurkan para tokoh dan pasukan Hamas yang mereka duga berada di wilayah itu. Serangan Israel ke Rafah, Senin lalu, berlangsung hanya beberapa jam setelah Hamas mengumumkan menyetujui proposal gencatan senjata yang diajukan Qatar dan Mesir, mediator mereka.
Menurut beberapa pejabat AS, bom yang ditangguhkan pengirimannya oleh AS ke Israel adalah 3.500-an bom yang memiliki berat 226-907 kilogram. Penangguhan pengiriman ini telah berlangsung dalam pekan terakhir.
Menurut seorang pejabat AS yang tidak mau disebut namanya, Biden menandatangani penundaan pengiriman bom dalam sebuah perintah yang dikirim ke Pentagon, pekan lalu. Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih berusaha merahasiakan keputusan tersebut dari publik selama beberapa hari.
Baca juga: AS Tunda Penyerahan Laporan Pelanggaran Hukum Israel ke Kongres Kala Rafah Diserbu
Para pejabat AS selama berhari-hari menolak mengomentari penghentian kiriman senjata ke Israel tersebut. Biden sendiri, meski tidak setuju dengan rencana Israel menyerbu Rafah, berulang kali menyatakan bahwa AS akan selalu mendukung Israel.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, Rabu (8/5/2024), mengakui penundaan pengiriman senjata ke Israel itu. Namun, pada saat yang sama, dia juga menyatakan AS akan terus menyuplai Israel meski menunda sebagian di antaranya.
”Kami akan terus melakukan apa pun yang diperlukan untuk memastikan agar Israel mempunyai sarana untuk mempertahankan diri,” kata Austin dalam sidang dengan Subkomite Bidang Pertahanan Senat AS. ”Akan tetapi, saat ini kami sedang meninjau beberapa pengiriman bantuan keamanan jangka pendek dalam konteks peristiwa yang terjadi di Rafah.”
Baca juga: Hamas Setujui Gencatan Senjata, Israel Umumkan Serangan ke Rafah
Meski menyebut ada penundaan sejumlah pengiriman bom, Austin menegaskan, AS tetap akan menyuplai militer Israel dengan persenjataan berteknologi tinggi, termasuk bom pintar. Ia menyebut kebijakan ini adalah tentang bagaimana agar Israel tetap mendapat dukungan dan memiliki jenis senjata yang tepat untuk tugas yang ada.
”Bom berdiameter kecil, yang merupakan senjata presisi, sangat berguna di lingkungan yang padat dan padat,” kata Austin.
Penyuplai terbesar
Penundaan pengiriman 3.500-an bom itu menjadi titik balik yang jarang terjadi dalam 76 tahun hubungan AS-Israel. Namun, hal itu belum tentu menjadi titik balik signifikan karena pemerintahan Biden masih mengizinkan sebagian besar senjata lain untuk dikirim ke Israel dan digunakan untuk menyerbu Jalur Gaza, mengakibatkan lebih dari 34.000 warga Palestina tewas.
Tak hanya itu, seperti dilansir media AS, The New York Times, faktanya adalah para pejabat AS juga menekankan bahwa belum ada keputusan akhir yang dibuat mengenai bom yang saat ini berada dalam ketidakpastian.
Baca juga: Israel Minta Organisasi Kemanusiaan Tinggalkan Rafah
Secara historis, AS menjadi penyuplai terbesar persenjataan militer bagi Israel dalam jumlah yang sangat besar. Pasokan senjata AS itu terus meningkat setelah serangan Hamas, 7 Oktober 2023. Bom yang tengah ditangguhkan pengirimannya adalah bahan peledak berkekuatan besar yang berpotensi disalahgunakan oleh Israel untuk membumihanguskan Rafah.
Ryan Brobst, analis riset senior pada Foundation for the Defense of Democracies' Center on Military and Political Power di Washington, mengatakan bahwa bom dengan berbagai varian itu memiliki daya rusak sangat hebat jika dijatuhkan di atas permukaan tanah. Bergantung pada variannya dan target lokasinya, apakah dijatuhkan di area terbuka atau perkotaan, radius ledakan amunisi itu bisa mencapai seperempat mil atau 400 meter.
Baca juga: Di Tengah Perang Gaza, Senator AS Ancam Mahkamah Kriminal Internasional
Seperti dikutip AP, bom tersebut adalah bom bodoh atau tidak terarah. Analisis dari sejumlah ahli atas sejumlah pecahan ledakan yang ditemukan memperlihatkan, bom-bom itu telah dijatuhkan di berbagai wilayah kantong di berbagai kawasan di kota Gaza. Para ahli yakin, bom buatan produsen senjata, seperti Raytheon, Northrop, Lockheed Martin, General Dynamics, dan General Atomics, itulah yang telah digunakan Israel selama tujuh bulan terakhir di Gaza.
300.000 amunisi
Sebuah laporan yang disusun satuan tugas independen Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bulan lalu mengatakan, sumber-sumber AS memberi tahu salah satu anggotanya bahwa 300.000 amunisi telah dijatuhkan atau ditembakkan di Gaza selama enam bulan pertama perang. Laporan itu juga mengutip investigasi media yang ”kredibel” bahwa pada bulan pertama serangan Israel, terdapat setidaknya 500 kawah di Gaza akibat penggunaan bom seberat 900-an kilogram.
Baca juga: Pelapor PBB: Israel Bukan Bela Diri di Gaza
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, jika dihujani bom sebesar itu, selain area terdampak yang luas, tekanan dari ledakan dapat merusak paru-paru, memecahkan rongga sinus, dan merobek anggota tubuh yang berjarak ratusan meter dari lokasi ledakan.
Laporan Komisi Internasional Palang Merah (ICRC) tahun 2022 menyebutkan, penggunaan bahan peledak dengan area luas di wilayah padat penduduk ”sangat mungkin menimbulkan dampak sembarangan atau melanggar prinsip proporsionalitas”.
Pro-kontra
Keputusan Biden menunda pengiriman bom menuai pro dan kontra. Politisi senior AS, Senator Bernie Sanders (Vermont), menyebut keputusan Biden hanyalah langkah pertama dari berbagai langkah lanjutan yang harus diambil Gedung Putih untuk mendorong penghentian perang dan berlanjutnya kekerasan terhadap warga sipil Palestina.
”Selama bertahun-tahun, AS telah memberikan bantuan militer senilai puluhan miliar dollar kepada Israel. Kita tidak bisa lagi terlibat dalam perang mengerikan yang dilakukan Netanyahu terhadap rakyat Palestina,” kata Sanders.
Baca juga: Antisemitisme dan Divestasi di Pusaran Unjuk Rasa Mahasiswa AS
Pada awal April, sebanyak 37 senator dari Partai Demokrat mengirim surat yang berisi desakan kepada Biden untuk menghentikan sepenuhnya pengiriman senjata ke Israel. Salah satu penanda tangan adalah mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS Nancy Pelosi, sekutu dekat Biden.
”Mengingat serangan baru-baru ini terhadap pekerja bantuan dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk, kami yakin tidak dapat dibenarkan untuk menyetujui transfer senjata ini,” demikian antara lain bunyi surat para politisi Demokrat itu.
Akan tetapi, keputusan Biden menunda pengiriman ditentang politisi Partai Republik. Sejumlah kecaman dialamatkan kepada pemerintahan Biden oleh Ketua DPR Mike Johnson dan pemimpin Senat dari Partai Republik Mitch McConnell. Dalam suratnya kepada Biden, Partai Republik mendesak Gedung Putih mengakhiri blokade tersebut, dengan alasan bahwa keputusan itu berisiko membuat musuh-musuh Israel semakin berani.
”Jika kita menghentikan senjata yang diperlukan untuk menghancurkan musuh-musuh negara Israel pada saat bahaya besar, kita akan menanggung akibatnya,” kata Senator Lindsey Graham. ”Ini tidak masuk akal. Berikan Israel apa yang mereka butuhkan untuk berperang. Mereka tidak mampu menanggung kekalahan.”
Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan, dalam sebuah wawancara dengan berita TV Israel, Channel 12, mengatakan keputusan penundaan pengiriman itu adalah keputusan yang sangat mengecewakan, bahkan membuat frustrasi. Ia menyebut langkah itu adalah buah tekanan politik terhadap Biden oleh Kongres, dari gerakan protes mahasiswa AS, dan pemilu mendatang.
Baca juga: Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
Mantan Wakil Kepala Dewan Keamanan Nasional Israel Itamar Yaar menyebut keputusan itu sebagai pesan dari Biden kepada Netanyahu agar Tel Aviv berhati-hati dalam mengambil tindakan. Meski begitu, keputusan tersebut dinilainya tidak berdampak pada kemampuan militer Israel saat ini. (AP/REUTERS)