Memberontak lewat Gaya ”Compang-camping” ke Kantor
Suasana kerja yang toksik membuat generasi muda China memberontak lewat busana.
Bayangkan muncul di tempat kerja dengan mengenakan gaya semacam ini: kaus kaki yang berbeda warna di kanan dan kiri, sandal jepit karet yang biasa untuk ke kamar mandi, celana pendek gombroh, atasan piama bercorak ramai yang sudah lecek, dan kantong plastik kresek sebagai pengganti tas. Ini bukan ekspresi mode yang funky, unik, dan gaul.
Ini kesengajaan anak muda China untuk berbusana tabrak warna, tabrak tekstur, tabrak motif, dan tabrak sana-sini. Penyebabnya, mereka ingin memberontak terhadap sistem kerja dan sistem sosial yang tidak menghargai mereka, tetapi menuntut begitu banyak.
Asal mula gerakan bergaya sejelek mungkin ke tempat kerja ini adalah sebuah unggahan di pelantar media sosial Douyin pada September 2023. Pemilik akun bernama Sister Zhu menceritakan pengalamannya bekerja di rumah makan. Udara awal musim gugur sudah dingin, tetapi bosnya terlalu pelit untuk menyalakan penghangat ruangan.
Tidak mau masuk angin, Sister Zhu mengenakan celana olahraga yang tebal dan jaket besar serta empuk ke restoran. Ia pun dimarahi oleh bosnya karena dianggap berpenampilan slebor. Keesokan harinya, ia memberontak dan datang bekerja dengan memakai legging sewarna kulit sehingga tampak seolah ia tidak mengenakan bawahan.
”Salah sendiri pelit, tapi maunya mengatur-atur orang lain,” kata Sister Zhu, dikutip China News Service (CNS) edisi 25 Februari 2024.
Baca juga: Bila Orang Muda Memilih Menyerah
Unggahan Sister Zhu memantik reaksi dari warganet China dan menjadi viral. Mereka pun mengeluarkan keluh kesah di tempat kerja. Keluhan itu, antara lain tidak memperoleh kerja sesuai bidang pendidikan di universitas. Kelangkaan pekerjaan kerah putih membuat para sarjana ini harus melakukan pekerjaan yang tidak hanya di luar kemampuan mereka, tetapi juga di bawah kompetensi mereka.
Ilustrasi: Seorang perempuan mengenakan bulu-bulu sekembali dari perjalanan ke pantai di Qingdao, Provinsi Shandong, China, 22 April 2024.
Sebagai gambaran, menurut data Pemerintah China Desember 2023, angka pengangguran untuk kelompok umur 16-24 tahun adalah 14,9 persen. Sebelumnya, per Juni 2023, angkanya mecapai 21,3 persen. Presiden China Xi Jinping di dalam pidatonya kerap mengatakan bahwa pemuda adalah harapan bangsa. Mereka harus bekerja keras dan rela menelan kepahitan hidup.
Kepahitan ini tampak dalam pilihan karier yang tersedia bagi para pemuda. Gaji kecil, lingkungan kerja tidak nyaman, tetapi atasan menyuruh mereka bekerja lembur, bahkan sering membentak. Semua itu menciptakan suasana kerja yang toksik. Daripada melawan secara lisan dan fisik, para pekerja muda ini memilih melawan melalui penampilan.
Sudah tempat kerja pelit, bos resek, rekan kerja menyebalkan, lembur tidak dibayar, enak saja mereka menyuruhku tampil cantik.
Dilaporkan CNN, 21 April 2024, tagar #grossoutfitforwork atau busana mengerikan untuk bekerja sudah dibagikan 140 juta kali. Terdapat pula 1,4 juta unggahan warganet di Douyin yang menunjukkan penampilan berantakan versi masing-masing.
Baju dan celana compang-camping karena dimakan usia ramai-ramai dipakai. Salah seorang perempuan mengunggah fotonya megenakan alas kaki berbeda-beda. Di kaki kiri memakai sepatu kulit datar berwarna hitam, sementara di kanan memakai selop kamar tidur yang empuk dan besar berbentuk anjing. Di wajahnya tidak ada tata rias yang cantik, hanya ditutupi balaklava berwarna merah jambu.
Baca juga: ”Perjuangan” China Mengembalikan Kejantanan Generasi Mudanya
Ada yang bahkan mengambil langkah ekstrem, yaitu tidak mandi dan menggosok gigi. Baru bangun tidur langsung berangkat kerja. Bajunya pun tidak diganti, hanya ditambahi jaket lusuh dan sandal gabus. Padahal, tempat kerjanya menuntut pegawai berpenampilan rapi dan klimis.
”Bos menawariku 50 yuan (Rp 111.000) supaya mandi dan mencuci pakaian,” kata seorang warganet di Douyin.
”Sudah tempat kerja pelit, bos resek, rekan kerja menyebalkan, lembur tidak dibayar, enak saja mereka menyuruhku tampil cantik,” cuit warganet yang lain.
Baca juga: Kala Penghirup Oksigen Lebih Ampuh Ketimbang Segelas Kopi
”Gaji dan pekerjaanku tidak pantas mendapat aku yang cantik,” bunyi unggahan lain.
Kritik terhadap mereka pun pedas di media sosial. Ada yang menuduh para pemuda ini bersikap berlebihan, pemalas, cepat mengeluh, dan tidak mungkin akan sukses apabila berpenampilan slebor begitu. Media-media nasional terafiliasi Pemerintah China seperti Global Times, China Daily, dan People’s Daily memilih tidak menghakimi penampilan para pekerja muda. Mereka menulis fenomena ini sebagai bentuk selera humor yang mampu meledek diri sendiri. Mereka juga berargumen bahwa fenomena ini tidak akan bertahan lama.
Lebih mendalam
Namun, sejumlah media lokal lebih kritis dalam memandang fenomena ini. Menurut mereka, ini bukan soal tren perilaku anak muda, melainkan ada hal yang lebih mendalam dan harus dibenahi di dalam tatanan masyarakat China. Apabila melihat data Biro Statistik Nasional China, pekerja rata-rata bekerja 49 jam setiap pekan. Umumnya, butuh waktu paling cepat 47 menit untuk berangkat ke tempat kerja. Para sarjana yang baru lulus bahkan bisa lebih lama waktu tempuhnya.
”Saya dan teman-teman tidak punya waktu untuk berdandan karena pagi-pagi sekali harus berangkat kerja. Sarapan pun dimakan sambil berjalan kaki,” kata Hu Wei, seorang pegawai kantor di Shanghai kepada Shangguan News.
Tiba di rumah sudah larut dan kelelahan sehingga mereka tidak punya waktu memikirkan busana untuk besok. Di media sosial, ada moto yang viral di kalangan para pekerja muda, yakni ”bertahan hidup dulu, yang lain bisa menyusul”.
Lin Zieyu, peneliti sosiologi pada Universitas Shanghai mencermati fenomena ini sebagai pergeseran nilai di tempat kerja. Ia mempertanyakan apakah aturan pekerja di segala bidang wajib tampil formal masih relevan dengan perubahan jenis pekerjaan dan cara mengerjakannya.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Kepada publikasi The Paper, Lin menjelaskan, generasi muda ingin mengatakan penampilan tidak ada hubungan dengan kualitas pekerjaan dan kinerja. Ini juga menunjukkan rasa frustrasi para pemuda mengenai tempat kerja mereka yang sistemnya mungkin memang perlu dibenahi.
Qui Bohan, Direktur Boh Project, lembaga konsultasi mode dan pencitraan yang berbasis di China dan Korea Selatan, menyebutkan, pemberontakan lewat busana itu cermin tiadanya harapan. ”Dulu, para pemuda melihat bekerja itu bisa untuk mengejar impian. Sekarang, mereka menyadari pekerjaan yang mereka lakukan tidak menjamin masa depan. Kelelahan ini dituangkan di dalam pemberontakan lewat busana yang mencerminkan ketiadaan harapan,” kata Qiu kepada CNN.