Kala Penghirup Oksigen Lebih Ampuh ketimbang Segelas Kopi
Segelas kopi tak lagi ampuh membuat anak muda China tahan lama untuk belajar dan bekerja. Kini, alat penghirup oksigen menjadi andalan demi bisa menjaga stamina untuk begadang.
Di tengah deraan tekanan yang tiada henti untuk berprestasi dan hidup sukses, anak muda China tidak lagi merasa cukup meminum secangkir kopi. Banyak anak muda yang membeli alat penghirup oksigen atau oxygen inhaler demi menambah energi dan meningkatkan kebugaran dengan harga 1,40 dollar AS (sekitar Rp 22.000).
Kegemaran menghirup oksigen bersih kini sedang menjadi tren di media sosial di China saat jutaan anak muda berlomba-lomba meraih kesuksesan dalam karier. Dengan alat penghirup oksigen itu, mereka merasa lebih kuat dalam bekerja dan belajar.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Harian South China Morning Post, Sabtu (16/9/2023), menyebutkan, banyaknya anak muda yang menggunakan alat penghirup oksigen itu terlihat dari topik berjudul ”Oksigen lebih bermanfaat daripada kopi” yang menjadi tren di platform media sosial Xiaohongshu sejak 10 September lalu. Sampai saat ini, topik tersebut sudah menarik lebih dari 5,6 juta penayangan.
Salah seorang anak muda berusia 26 tahun dengan akun @Zhimali dari Provinsi Hunan mengunggah foto dirinya sedang menggunakan mesin oksigen portabel di kantornya. Dia mengaku membeli alat itu demi mengimbangi rekan-rekannya yang kuat bekerja begadang sampai pukul 23.00 setiap hari. Dia menghirup oksigen bersih saat istirahat makan siang dan terkadang saat di tengah-tengah bekerja.
Efeknya bisa membantu dia fokus dan tetap kreatif. Dampak positifnya, kata dia, atasannya tidak lagi terlalu memaksa dirinya bekerja terus-menerus setelah melihatnya menghirup oksigen di tempat kerja.
Seorang mahasiswa berusia 21 tahun dengan akun @Biqibaodiyizhangyumei di Xiaohongshu juga mengaku sering menggunakan alat penghirup oksigen untuk menjernihkan pikirannya ketika merasa mengantuk saat sedang belajar. Bagi dia, alat penghirup oksigen itu pengganti minuman kopi yang lebih baik karena dia sering merasa detak jantungnya berdegup kencang ketika minum kopi.
”Menghirup oksigen ini seperti plasebo saja. Ada rasa lega atau senang di tengah tekanan. Bukan berarti saya mengalami kemunduran atau stagnasi meski sudah berusaha keras,” tulisnya.
Fenomena yang terjadi pada anak muda di China ini menunjukkan dampak dari ”budaya kerja 996” di mana karyawan diharuskan bekerja dari pukul 09.00 sampai 21.00 dalam enam hari selama seminggu. Istilah 996 itu juga mengacu pada dorongan orangtua kepada anak untuk memastikan mereka berprestasi.
Selama ini oksigen murni ditawarkan serta digunakan oleh orang lanjut usia dan perempuan hamil serta orang yang berbadan sehat tetapi sedang bepergian ke dataran tinggi. Akan tetapi, kini fungsinya bertambah untuk menambah energi selama bekerja atau belajar.
Baca juga: Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
Satu botol oksigen murni berukuran 1 liter yang bisa digunakan kurang dari 10 menit harganya berkisar 10 yuan (Rp 22.000). Itu pun harga di platform e-dagang Taobao yang berada di bawah perusahaan Alibaba. Tidak semua warga China bisa menerima tren yang sedang terjadi di kalangan anak muda. Ada yang menilai praktik itu tidak ada gunanya, bahkan malah kontraproduktif.
Salah satu warganet menanggapi unggahan @Biqibaodiyizhangyumei dan menuliskan, ”Bahkan keledai saja bisa beristirahat setelah lelah bekerja. Sekarang orang harus membayar untuk udara yang kita hirup secara alami.”
Banyak warganet menyarankan agar hal itu jangan dilakukan karena ketergantungan pada botol oksigen atau alat penghirup oksigen akan berdampak buruk pada kesehatan dalam jangka panjang. Ahli pernapasan di Rumah Sakit Tsinghua Changgeng di Beijing, Mou Xiandong, kepada Science and Technology Daily mengatakan, orang yang berbadan sehat dapat menderita kerusakan paru-paru atau keracunan oksigen yang kemudian bisa menyebabkan masalah pernapasan, bahkan kematian, pada kasus yang serius.
Masa depan suram
Laporan khusus majalah The Economist, 17 Agustus 2023, berjudul ”China’s Defeated Youth” menyebutkan, generasi muda China merasa kecewa. Mereka dibesarkan dengan dilingkupi kisah-kisah dinamisme ekonomi dan mobilitas sosial. Perekonomian China meningkat lebih dari dua kali lipat setiap 10 tahun sejak 1978.
Pada waktu itu, para pemimpin Partai Komunis China (PKC) pertama kali mengadopsi reformasi pasar hingga tahun 2018. Anak-anak yang hidup di kota bisa belajar dengan giat dan masuk ke perguruan tinggi yang bagus dan berharap bisa kerja kantoran setelah lulus. Siswa yang beruntung dari kota kecil atau perdesaan mungkin akan melakukan hal yang sama dan berhasil masuk ke kelas menengah.
Baca juga: Sesusah-susahnya Hidup, Lebih Susah Ikut "Gaokao"
Sebaliknya, anak muda yang berpendidikan rendah tidak punya banyak pilihan. Mereka bisa saja bermigrasi ke kota-kota untuk bekerja dengan upah minimum, seperti bekerja di pabrik atau konstruksi bangunan dan cukup untuk memulai sebuah keluarga. Beberapa dekade sebelum Presiden Xi Jinping berkuasa pada 2012, China lebih terbuka. Pemimpin PKC pada waktu itu, Jiang Zemin (1989-2002) dan Hu Jintao (2002-2012), bukanlah orang yang liberal.
Namun, hal ini memberikan ruang bagi masyarakat sipil, kalangan intelektual, dan media untuk bisa beroperasi. Perusahaan swasta pun kian berkembang. Perusahaan didorong untuk terjun ke dunia luar dan belajar dari Barat sehingga semakin banyak orang China yang bepergian dan belajar ke luar negeri. Kemudian, muncul budaya konsumen dan digital yang dinamis, aspiratif, bahkan hedonistik.
Meski demikian, bagi generasi muda saat ini, gambaran masa depan lebih suram. Perekonomian China sedang dalam masalah. Tingkat pengangguran di kalangan warga perkotaan yang berusia 16-24 tahun mencapai 20 persen selama berbulan-bulan. Ini dua kali lipat dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Pendidikan tinggi tidak lagi bisa diandalkan menjadi tangga menuju kehidupan yang lebih baik.
Pada 2021, lebih dari 70 persen anak muda yang menganggur adalah lulusan sarjana. Selain terbatasnya lapangan pekerjaan, mereka juga dihadapkan pada tingginya harga properti. Impian sederhana mereka untuk mendapatkan pekerjaan, membeli rumah, dan bisa menghidupi keluarga tampaknya semakin di luar jangkauan. ”Kami tidak punya harapan,” kata seorang laki-laki berusia 27 tahun di Huizhou kepada The Economist.
Ini akan menjadi masalah besar bagi China mengingat sekitar 360 juta warga China atau seperempat populasi berusia 16-35 tahun. Kesuraman pada masa depan mereka juga berdampak besar pada masa depan China. Alih-alih menenangkan generasi muda, pemerintah malah ”memarahi” mereka.
Tahun lalu, Xi menyatakan anak muda harus meninggalkan kesombongan dan sikap manja. Anak muda harus ikut berjuang dan mengorbankan masa muda mereka demi kebangkitan nasional China yang menjadi cita-cita PKC.
Baca juga: Bila Orang Muda Memilih Menyerah
Anak muda bukan tidak (mau) bekerja keras. Sejak usia dini mereka bahkan sudah harus menghadapi tekanan kuat untuk berprestasi di sekolah dan lulus ujian masuk universitas yang terkenal susah di China, yang dikenal sebagai gaokao.
Hampir 13 juta anak muda mengikutinya tahun ini dan banyak di antara mereka yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar saja dan mengorbankan aktivitas lain. Semakin hari semakin banyak anak muda yang merasa sekeras apa pun mereka belajar atau bekerja, mereka tidak akan bisa meraih kualitas hidup yang lebih baik.
Ada istilah neijuan atau involusi yang kini umum digunakan anak muda untuk menggambarkan situasi itu. Banyak lulusan universitas yang tidak bisa bekerja bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tetapi karena jumlah lapangan pekerjaan yang cocok bagi mereka tidak bertambah. Ada ketidaksesuaian antara keterampilan yang diberikan di sekolah dan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan.
Banyak cerita di media sosial tentang anak muda terpelajar yang terpaksa melakukan pekerjaan dengan keterampilan rendah, seperti memilah sampah atau menjadi kurir antar makanan di kota. Bagi mereka yang tidak berpendidikan tinggi, posisinya kian terdesak dan tak punya pilihan. Bagi yang sudah putus asa tetapi masih punya modal, mereka memilih pindah dan berkarya di luar negeri karena dianggap setidaknya masih ada masa depan.
Harian The Economic Daily yang dikelola PKC, Juli lalu, menyebutkan, banyak anak muda memilih ”pekerjaan lambat” atau tidak ambisius, bergaji rendah, tetapi lebih stabil. Salah satunya seperti menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Laporan Forum Makroekonomi China, lembaga kajian di Universitas Renmin China, memberikan pandangan yang lebih suram.
Laporan itu menyimpulkan, masalah pengangguran anak muda mungkin tidak akan teratasi dalam satu dekade mendatang. Ini berpotensi menimbulkan konsekuensi lebih besar bagi kepemimpinan China. ”Jika ini tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan masalah sosial lain di luar perekonomian, bahkan dapat memicu masalah politik,” sebut laporan itu.
Baca juga: Mencari Damai dalam Hidup Biasa-biasa Saja
China selama ini mengandalkan peningkatan ”modal manusia”—seperti melalui sektor pendidikan—untuk mengimbangi penurunan jumlah populasinya. Namun, tingginya pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi menunjukkan hal itu tidak cukup. Semakin ketatnya cengkeraman pihak berwenang terhadap masyarakat sipil, budaya populer, dan kalangan pengusaha juga dikhawatirkan akan menghambat.
Anak-anak muda China yang berpendidikan terbaik pasti akan beremigrasi. Yang lain mungkin akan mencari hidup yang lebih aman. Lamaran untuk menjadi PNS diperkirakan akan melonjak lagi tahun ini. Sekitar 2,6 juta orang mengikuti ujian PNS tahun lalu, naik 1,4 juta orang dibandingkan dengan 10 tahun lalu.
Pekerjaan di daerah terpencil bahkan kini menjadi lebih menarik. Wu Xiaomei (23) yang tinggal di Guizhou, provinsi pegunungan terpencil, mengeluh semakin banyak orang yang pindah ke sana dari provinsi terdekat. Akibatnya, ujian untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru lebih kompetitif. Ini mempersulit penduduk setempat untuk mendapatkan pekerjaan seperti itu. Wu akhirnya mengajar di sebuah sekolah di kota kecil di provinsi terdekat lainnya yang persaingannya lebih sedikit.
Baca juga: Generasi Pandemi Tak Mudah Masuk Dunia Kerja
Jika ingin menjadi negara dengan perekonomian yang lebih inovatif sesuai dengan tuntutan Xi, China tidak boleh sampai kehilangan terlalu banyak anak muda, terutama yang berkualitas. Peliknya persoalan dan masa depan yang terlihat suram membuat mereka ingin segera mencari alat penghirup oksigen dan menghirupnya dalam-dalam.