Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Zaman makin susah. Sekolah sudah susah, cari kerja apalagi. Tak ada pilihan, anak-anak muda China terpaksa kembali ke rumah orangtua dan ”bekerja” membantu orangtua dengan digaji bulanan lumayan tinggi.
Lelah dengan pekerjaannya sebagai fotografer, Litsky Li (21) memutuskan berhenti bekerja, lalu pulang ke rumah orangtua dan ”bekerja” menjadi full-time children atau ”anak purnawaktu”. Li tidak sendirian. Ada banyak anak muda di China yang menggeluti ”pekerjaan” ini. Tidak hanya karena alasan ketidakpuasan pada pekerjaan atau kehidupan mereka, tetapi semata-mata karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Seperti yang dialami Nancy Chen (24). Ia bekerja pada orangtuanya setelah lamarannya ke instansi pemerintah provinsi tak juga tembus. Maklum, ia harus bersaing dengan 30.000 pelamar untuk tiga lowongan pekerjaan saja.
Jika Li dan Chen bekerja dan dibayar oleh orangtua mereka, Julie (29) justru tidak mau dibayar. Ini jenis anak muda zaman sekarang yang beda lagi. Ia mau bekerja sebagai anak purnawaktu setelah merasa capek bekerja 16 jam setiap hari sebagai pengembang gim. Dengan pekerjaan sebelumnya itu, ia merasa hidupnya seperti zombi. Julie hanya ingin istirahat sejenak dan hidup nyaman bersama orangtua.
Baca juga: Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
Anak purnawaktu menjadi tren ”pekerjaan” baru di kalangan anak muda China yang menganggur. Anak-anak berusia dewasa dipekerjakan orangtua mereka untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, merawat keluarga, atau menemani orangtua melakukan apa saja secara purnawaktu (full-time).
Li kini menghabiskan hari-harinya dengan berbelanja bahan makanan untuk keluarganya di kota Luoyang, Provinsi Henan, China tengah, dan merawat neneknya yang menderita demensia. Orangtua Li memberinya gaji 6.000 yuan atau sekitar Rp 12,6 juta per bulan. Uang sebesar itu sudah masuk upah kelas menengah yang lumayan besar di daerahnya.
”Saya pilih bekerja di rumah karena tidak tahan dengan tekanan harus sekolah atau kerja. Saya tidak mau bersaing terus dengan orang lain. Lebih baik hidup lebih santai (tangping atau lying flat) saja. Toh, saya tidak butuh pekerjaan dengan gaji tinggi atau kehidupan yang lebih baik,” kata Li, lulusan SMA, seperti dilaporkan CNN, Rabu (26/7/2023).
Tangping adalah frasa populer yang mengacu pada hidup lebih santai, simpel, dan tanpa harapan muluk-muluk. Fenomena ini muncul pertama kali di platform media sosial populer di China, Douban, pada akhir tahun lalu. Sebagian besar dari puluhan ribu anak muda di medsos itu mengaku, mereka tinggal kembali bersama orangtua karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Di Douban, sekitar 4.000 orang mendiskusikan topik berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari sebagai anak purnawaktu. Tren ini menyebar ke platform medsos lain, seperti Xiaohongshu, platform berbagi gaya hidup paling populer di kalangan anak muda China. Hingga kini, ada 40.000 unggahan bertagar #FullTimeChildren.
Baca juga: Memilih Gaya Hidup Melambat demi Mengejar Hidup Berkualitas
Anak-anak muda usia 20-an tahun mengklaim berbeda dari ”ken lao zu” atau generasi kelahiran tahun 1980-an yang belajar dan berusaha keras dalam karier dan tidak membantu keluarga di rumah. Padahal, mereka masih mengandalkan keluarga untuk menghidupi diri mereka, mulai dari bayar uang sewa apartemen, bayar cicilan mobil, atau sekadar bantu beli makanan.
Sebaliknya, anak-anak purnawaktu saat ini menghabiskan lebih banyak waktu bersama orangtua dan melakukan pekerjaan rumah sebagai ganti dukungan finansial yang mereka dapatkan dari orangtua.
”Kami sama saja dengan anak muda yang punya pekerjaan. Mereka bekerja di kota dan digaji bulanan 3.000-4.000 yuan (sekitar Rp 6,3 juta hingga Rp 8,4 juta). Namun, mereka tidak bisa menghidupi diri mereka sendiri. Mereka masih makan di rumah orangtua, tinggal dengan orangtua, bahkan minta orangtua membayar sewa apartemen atau mobil mereka. Biaya hidup mereka sebagian ditanggung orangtua,” tutur Li.
Laporan Biro Statistik Nasional China menyebutkan, satu dari lima penduduk berusia 16-24 tahun menganggur di China. Tingkat pengangguran usia muda di daerah perkotaan mencapai rekor tertinggi, yakni 21,3 persen pada Juni 2023.
Pengangguran
Pengajar di Peking University, Zhang Dandan, kepada BBC, 17 Juli 2023, memperkirakan tingkat pengangguran anak muda sebenarnya bisa mencapai 46,5 persen. Itu jika 16 juta anak muda yang ”berbaring telentang” di rumah atau bergantung pada orangtua juga dimasukkan ke dalam hitungan statistik karena mereka tidak aktif mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran tersebut akan semakin parah dengan bertambahnya anak muda yang merasa lelah bekerja.
Baca juga: Mencari Damai dalam Hidup Biasa-biasa Saja
Kelelahan mereka wajar saja mengingat budaya kerja orang China yang ”gila”. Di China, dikenal budaya kerja ”996” atau bekerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam selama enam hari dalam seminggu. ”Sudah capek-capek bekerja, uangnya juga tidak seberapa. Saya hampir tak punya apa-apa lagi setelah bayar sewa apartemen,” kata Chen Dudu (27), yang kini bekerja sebagai putri purnawaktu dan hidup bagaikan orang pensiunan.
Sudah capek-capek bekerja, uangnya juga tidak seberapa. Saya hampir tak punya apa-apa lagi setelah bayar sewa apartemen.
Fang Xu, dosen di University of California, Berkeley, AS, menilai bahwa alasan anak muda bekerja pada orangtua di rumah ini juga berawal dari pengalaman traumatis selama pandemi Covid-19. Pembatasan selama pandemi membuat banyak anak muda secara radikal memikirkan kembali tujuan hidup mereka dan memaksa orangtua membantu mereka.
”Secara mental dan psikologis, orang-orang di China belum pulih dari pandemi. Keinginan untuk menghabiskan waktu berkualitas dengan orang yang Anda cintai, perenungan tentang makna hidup atau hal terpenting dalam hidup juga masih ada,” ujar Fang.
Perdebatan
Pekerjaan yang terlihat menyenangkan sebagai anak purnawaktu tersebut memicu perdebatan sengit di China selama beberapa bulan terakhir. Di satu sisi, anak muda yang kembali ke rumah orangtua dianggap ”menyusu lebih lama ke orangtua”. Istilah slang China ini ungkapan hinaan bagi anak muda yang bergantung sepenuhnya pada orangtua untuk mencari nafkah. Padahal, mereka sudah dibekali pendidikan berkualitas.
Namun di sisi lain, sebagian orangtua menganggap tren itu menjadi berkah. Mereka bisa bersama anak setiap hari. Ada juga yang menganggap tren itu hanya fase sementara sampai suatu saat nanti anaknya bisa hidup mandiri.
Guru Besar Sosiologi di Harvard University, Ya-wen Lei, yakin bahwa fenomena anak purnawaktu ini tidak akan bertahan lama. ”Bantuan dari orangtua dalam konteks ini tidak mengherankan karena banyak orangtua China membantu anak-anaknya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti perumahan, biaya pernikahan, dan pengasuhan anak,” ujarnya.
Solusi sementara
Harian South China Morning Post, 18 Juli 2023, menyebutkan bahwa dalam unggahan di medsos, ”anak-anak purnawaktu” sering curhat mengenai perjuangan sehari-hari mereka, kecemasan, dan tekanan dari orangtua atau kerabat mereka untuk mencari pekerjaan yang layak, lalu menikah. Sebagian besar anak muda dan orangtua mereka melihat ”anak purnawaktu” ini hanya solusi sementara sekaligus upaya terakhir jika tidak ada alternatif pekerjaan yang lain.
Ada seorang perempuan asal Shaanxi, China barat laut, mengunggah pengalamannya di medsos. Ia mengaku tidak bisa menemukan pekerjaan setelah lulus dari sebuah universitas di Australia. Akhirnya, ia disuruh memasak makan malam untuk orangtuanya sebagai imbalan atas gaji bulanan dari orangtuanya sebesar 3.000 yuan atau sekitar Rp 6,3 juta.
Ekonom pada Institut Riset Ekonomi dan Sosial Nasional di Inggris, Mao Xuxin, kepada NBC mengatakan, tren anak muda ini mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, anak muda di China mulai mencari pekerjaan jangka pendek yang tidak terlalu menantang. Ini diikuti oleh gerakan lying flat. Kini, mereka malah hidup bergantung lagi pada bantuan orangtua.
Menurut Mao, itu bentuk keputusasaan anak muda karena hidup di China semakin susah. Sudah sekolah capek-capek, belum tentu mendapat pekerjaan.
Dalam beberapa minggu terakhir, medsos China juga dibanjiri dengan foto-foto kelulusan mahasiswa yang menunjukkan kekecewaan. Banyak yang mengunggah foto berbaring dengan toga wisuda dan memegang sertifikat kelulusan di atas tempat sampah seakan siap membuangnya.
Padahal, dulu gelar sarjana dianggap sebagai tiket menuju hidup lebih baik untuk mencari pekerjaan di pasar kerja yang kompetitif. Tingkat pendaftaran di perguruan tinggi pun naik dari 30 persen menjadi 59,6 persen antara tahun 2012 dan 2022.
Namun, harapan tinggal harapan. Pasar kerja justru menipis. Pengangguran akan memburuk karena rekor 11,6 juta sarjana lulusan baru akan memasuki pasar kerja.
Baca juga : Sesusah-susahnya Hidup, Lebih Susah Ikut "Gaokao"
Kepala ekonom untuk China Raya di Jones Lang LaSalle, Bruce Pang, menilai pemulihan ekonomi China yang lambat pasca-pandemi Covid-19 dan tidak adanya lapangan pekerjaan baru menjadi penyebab tingginya pengangguran. Para pemberi kerja juga enggan mempekerjakan lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki pengalaman kerja.
Rektor Universitas Keuangan dan Ekonomi Shanghai, Liu Yuanchun, mengingatkan bahwa pengangguran usia muda ini menjadi masalah struktural yang harus ditangani sesegera mungkin. Jika tidak, isu ini bisa berubah menjadi isu politik yang akan menjatuhkan pamor pemerintahan Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China.