Aliansi Mini AS di Indo-Pasifik, Pesan Garang Berdampak Terbatas
Selama beberapa tahun terakhir, AS giat meningkatkan kemitraan kecil di Indo-Pasifik. Pesan yang garang untuk China.
Aliansi mini terbaru Amerika Serikat yang menggandeng Jepang dan Filipina dinilai memberi pesan yang garang kepada China. Kerja sama itu juga dinilai akan menciptakan arsitektur baru keamanan Indo-Pasifik. Namun, dampaknya ke kawasan dinilai hanya terbatas.
Meskipun meningkatkan ketegangan, para ahli meragukan dampaknya akan cukup besar di masa mendatang. Alih-alih menguatkan posisi AS di Indo-Pasifik, langkah ini justru dinilai bisa menjadi bumerang bagi Amerika Serikat.
”Perjanjian kerja sama antara Filipina, Amerika Serikat, dan Jepang akan mengubah dinamika di Laut China Selatan dan wilayah tersebut,” kata Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr pada Sabtu (13/4/2024).
Menurut Marcos, aliansi itu akan mengubah dinamika di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Asia, dan terutama di sekitar Laut China Selatan. ”Saya pikir perjanjian trilateral ini sangat penting,” kata Marcos saat konferensi pers di Washington, sehari setelah pertemuan trilateral dengan Presiden Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Perjanjian kerja sama antara Filipina, Amerika Serikat, dan Jepang akan mengubah dinamika di Laut China Selatan dan wilayah tersebut.
Meski begitu, Marcos mengatakan, pertemuan tiga negara tersebut tidak untuk menentang negara mana pun. Kerja sama itu berfokus memperdalam hubungan ekonomi dan keamanan antara Manila, Washington, dan Tokyo.
Kendati tak menyebutkan nama negara secara spesifik, sulit disangkal pertemuan itu terkait dengan pengaruh China yang semakin kuat di kawasan. Pertemuan trilateral berlangsung saat ketegangan atas klaim China terhadap Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Taiwan terus berlangsung.
China mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Senkaku di bawah kendali administratif Jepang di Laut China Timur. Pulau-pulau yang disengketakan juga dikenal di China sebagai Kepulauan Diaoyu.
Di Laut China Selatan, aparat China dan Filipina kerap bentrok terkait klaim atas wilayah. Perselisihan China-Filipina yang semakin mendalam selama beberapa waktu terakhir. Hal ini seiring dengan meningkatnya hubungan keamanan dengan AS di bawah kepemimpinan Marcos, termasuk perluasan akses AS ke pangkalan-pangkalan militer di Filipina.
Baca juga: Pertemuan AS-Jepang-Filipina, Arsitektur Baru Keamanan Indo-Pasifik
Filipina juga memperdalam kerja sama keamanan dengan Jepang dan diperkirakan akan menandatangani pakta terkait saling mengirimkan pasukan dengan Manila.
Di sisi lain, Manila banyak bergantung secara ekonomi pada investasi China. Marcos mengatakan, kesepakatan bisnis yang dicapai Filipina pada pertemuan puncak dengan Jepang dan AS tidak akan memengaruhi investasi China di Filipina.
”Perjanjian trilateral ini terpisah dari usulan atau potensi investasi China di Filipina. Bagaimana saya melihatnya, apa dampaknya? Saya tidak melihat hal itu akan berdampak,” kata Marcos.
Baca juga: AS Peringatkan China Lewat Pertemuan dengan Jepang-Filipina
Menyusul pertemuan trilateral itu, Biden telah meminta Kongres AS memberikan tambahan 128 juta dollar AS untuk proyek infrastruktur di pangkalan militer Filipina. Marcos juga yakin bahwa kemungkinan kesepakatan investasi mencapai 100 miliar dollar AS selama 5-10 tahun ke depan.
Sementara Jepang mengumumkan peningkatan kerja sama pertahanan terbesar dengan AS dalam pertemuan di Washington tersebut. Kerja sama ini mulai dari restrukturisasi militer AS di Jepang hingga misi pendaratan astronot Jepang dan AS di Bulan.
”Aliansi kami adalah aset terbesar Amerika,” kata Biden dalam konferensi pers bersama Kishida di Gedung Putih, sehari sebelum menjadi tuan rumah pertemuan puncak trilateral.
Aliansi mini
Selama beberapa tahun terakhir, AS giat meningkatkan kemitraan di Indo-Pasifik. Tampaknya, dengan cara itu AS berupaya membangun kekuatan penyeimbang terhadap China. Pesan yang dapat dibaca adalah AS berusaha membangun pagar untuk mengucilkan China dengan beragam aliansi mini yang dibentuk.
Hanya dalam tiga tahun terakhir, AS telah meningkatkan hubungan bilateral dengan Jepang, Vietnam, Filipina, dan Singapura. AS juga membina hubungan kolektif baru antarnegara, seperti Jepang dan Korea Selatan, lalu Australia dan Inggris lewat AUKUS, serta sekarang Jepang dan Filipina.
Baca juga: Australia Keberatan Penambahan Anggota, Jepang Perkuat Pilar II AUKUS
Namun, beberapa ahli menilai upaya membentuk aliansi-aliansi mini itu bisa gagal apabila hanya fokus untuk melawan China. Salah satunya diungkapkan Prashanth Parameswaran, penulis buletin ASEAN Wonk.
”Jika di masa depan pemerintahan mempersempit fokus minilateralisme yang dipimpin AS itu hanya untuk melawan China, dan bukan mempertahankan agenda yang lebih komprehensif dan mengakui kebutuhan negara di bidang-bidang seperti iklim atau ekonomi, AS bisa meraih kemenangan tipis melawan Beijing meski berisiko kehilangan hubungan dengan sebagian besar wilayahnya,” katanya seperti dilaporkan Foreign Policy.
Parameswaran mengatakan, minilateralisme memang membangun koalisi yang lebih fleksibel. Namun, fungsinya akan lebih baik ketika disesuaikan dengan keterlibatan bilateral dan multilateral. Penyesuaian ini agar minilateral ini tidak menjadi serangkaian kelompok eksklusif yang melemahkan institusi yang sudah ada.
Di sisi lain, strategi ini tidak hanya mencerminkan tujuan diplomatik AS. Ini juga memperlihatkan semakin meningkatnya kekhawatiran negara-negara yang terlibat di dalamnya terhadap China.
”Semua hal ini tidak akan terjadi jika negara-negara, seperti Filipina, Jepang, dan beberapa negara di Asia Tenggara, tidak terlalu khawatir dengan perilaku China,” kata Evan Resnick, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), kepada Time.
Baca juga: Rusia dan China Perdalam Kerja Sama Keamanan Eurasia
Peningkatan kerja sama itu memang meningkatkan kemampuan militer AS dan mitra-mitranya. Hal ini terbukti dalam sejumlah latihan bersama di kawasan. Namun, aliansi-aliansi mini itu tidak serta-merta menjamin terciptanya sistem pertahanan baru di Indo-Pasifik.
Kevin Chen, rekan peneliti di RSIS, mengatakan, meskipun hubungan negara-negara itu semakin erat, aliansi AS di Indo-Pasifik tidak memiliki tingkat pelembagaan yang cukup kuat, seperti yang mereka miliki dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Hal yang sama dikatakan peneliti senior pada Asia Pacific Foundation of Canada, Stephen Nagy. ”Tidak ada jaminan bagi Jepang untuk berperang demi rakyat Filipina, atau bagi Australia untuk berperang demi rakyat Filipina,” katanya kepada Time.
Bumerang
Upaya AS itu juga bisa menjadi bumerang jika AS terlihat terlalu agresif. China berulang kali memperingatkan agar tak ada negara yang menggunakan blok kemitraan ataupun kebijakan untuk menghalangi negara lain dalam mencapai kemajuan ilmu teknologi, kemakmuran, dan kesejahteraan.
”Negara-negara sering kali berperang karena mereka merasa dikepung dan kelangsungan hidup mereka dalam bahaya. Jadi, jika China merasa dicurangi oleh rasa pembatasan yang semakin kuat ini, China akan menjadi sangat kesal. Hal itu bisa dengan mudah memicu konflik,” kata Resnick.
Meskipun AS juga berfokus pada peningkatan hubungan ekonomi di kawasan, tidak dapat disangkal bahwa dorongan utama bagi diplomasinya itu adalah memperkuat postur pertahanannya. Salah satunya terlihat saat Biden memuji Kishida karena berdiri teguh bersama AS dalam menegakkan kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
Ketegangan akibat pertemuan itu tak terelakkan. Menyusul pertemuan tersebut, China bertemu Rusia untuk memperdalam kerja sama Eurasia. Kedutaan Besar China di Filipina juga mengeluarkan pernyataan keras bahwa China sangat tidak puas dan menentang upaya AS, Jepang, dan Filipina yang sengaja menjelekkan nama dan menyerang China terkait Taiwan dan China Selatan.
Baca juga: Rivalitas AS-China dan ”Techno-nationalism”
Bersamaan dengan itu, media resmi Pemerintah China, Xinhua, melaporkan, kepemimpinan China bersedia bekerja sama dengan Korea Utara untuk memperdalam kepercayaan dan meningkatkan kerja sama.
”Tidak peduli bagaimana situasi internasional berubah, persahabatan tradisional antara China dan Korea Utara, yang diciptakan dan dipupuk oleh para pemimpin generasi tua dari kedua partai dan negara, tetap mengakar dan kuat dari waktu ke waktu,” kata anggota parlemen China, Zhao Leji, dalam pidatonya di Pyongyang, Korea Utara, pada Jumat pekan lalu.
Untuk kawasan ASEAN, kerja sama trilateral itu tentunya juga menimbulkan riak ketegangan. Namun, dampaknya dinilai sangat terbatas. Hal ini disebabkan ASEAN dan Jepang mempunyai model diplomasi tersendiri yang mampu meredam berbagai ketegangan geopolitik.
Peneliti isu ASEAN untuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Khanisa Krisman menyebutnya sebagai diplomasi ketimuran yang personal, kekeluargaan, dan didasarkan saling rasa hormat terhadap urusan dalam negeri setiap negara. Sementara Jepang mempunyai hubungan yang sangat baik berdasarkan saling menghargai dan saling menghormati dengan negara-negara ASEAN. Dengan demikian, Jepang tak akan bertindak gegabah.
”Apa pun yang terjadi, ASEAN selalu bisa berdiskusi secara kekeluargaan dan personal. Coffee break diplomacy inilah yang berjalan. Jadi, kalau menimbulkan ketegangan, iya pada suatu level. Tetapi, tidak akan sampai mengganggu,” katanya.
Selain itu, forum-forum kerja sama antarnegara di kawasan, salah satunya KTT Asia Timur (EAS), bisa menjadi landasan untuk mengarahkan kebijakan di tengah ketegangan-ketegangan yang muncul. Pada akhirnya, model diplomasi ketimuran ala ASEAN merupakan modal untuk meredam ketegangan dan mempertahankan kestabilan kawasan. (AP/AFP/REUTERS)