Rusia dan China Perdalam Kerja Sama Keamanan Eurasia
China dan Rusia menentang hegemonisme mana pun yang melibatkan konfrontasi blok. Barat dinilai mengalami kemunduran.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
MOSKWA, SELASA - Rusia dan China sepakat memperkuat kerja sama strategis dan keamanan di Eropa dan Asia. Langkah itu menandai kunjungan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov ke China. Secara khusus penguatan itu diarahkan untuk menanggapi upaya Amerika Serikat yang sering memaksakan kehendaknya di kawasan Asia.
Demikian hal itu dikemukakan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Selasa (9/4/2024) dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Beijing. Konferensi pers itu digelar usai keduanya melakukan pertemuan dan pembicaraan.
Adapun kerja sama Rusia dan China itu sudah diawali dengan deklarasi kerja sama “tanpa batas." Deklarasi itu dinyatakan China dan Rusia saat kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Beijing pada Februari 2022.
Media China, Global Times melaporkan, Lavrov tiba di Beijing, Senin (8/4/2024) untuk kunjungan dua hari. Ia ke China atas undangan Wang.
Lavrov mengatakan, kesepakatan kerja sama keamanan itu sesuai saran dari Presiden Rusia Vladimir Putin yang memberi perhatian pada penguatan keamanan Eurasia. Lavrov mengatakan, China dan Rusia setuju untuk memulai dialog dengan melibatkan orang-orang yang berpikiran sama tentang isu tersebut.
“Saat ini sudah ada kerja sama keamanan Euro-Atlantik atau yang dikenal sebagai NATO, ada juga OSCE. Namun struktur tersebut tidak termasuk dalam daftar struktur relevan yang memungkinkan dilakukannya perundingan yang berarti juga kesepakatan akan sesuatu berdasarkan keseimbangan kepentingan,” kata Lavrov.
Sementara itu, Wang menegaskan, China dan Rusia menentang “hegemonisme” dan “lingkaran kecil” mana pun yang melibatkan konfrontasi blok. “NATO tidak seharusnya memperluas jangkauannya ke tanah air kita,” tambahnya.
Amerika Serikat selama ini menganggap China sebagai pesaing terbesarnya dan menganggap Rusia sebagai ancaman terbesarnya. Presiden AS Joe Biden berpendapat, abad ini akan ditentukan oleh persaingan eksistensial antara negara-negara demokrasi dan otokrasi.
Di sisi Rusia dan China, Presiden Putin dan Presiden Xi Jinping memiliki pandangan yang luas tentang dunia. Keduanya memandang Barat sebagai pihak yang dekaden dan mengalami kemunduran. China menentang supremasi AS dalam segala hal, mulai dari komputasi kuantum dan biologi sintetik, hingga spionase dan kekuatan militer yang kuat.
Dalam pertemuan dengan Lavrov, Wang berjanji, China akan mendukung pembangunan Rusia yang stabil di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin. “Beijing dan Moskwa akan terus memperkuat kerja sama strategis di panggung dunia dan saling memberikan dukungan kuat,” kata Wang, seperti disiarkan kantor berita RIA Novosti.
“Di bawah kepemimpinan kuat Presiden Putin, rakyat Rusia akan memiliki masa depan cerah,” ujarnya. Lavrov pun menyampaikan terima kasih atas dukungan China kepada Presiden Putin yang baru saja terpilih kembali.
Dalam keterangan kepada media, Wang mengatakan kedua pihak juga membahas konflik di Ukraina dan Gaza. "Sebagai kekuatan perdamaian dan stabilitas, China akan tetap memainkan peran konstruktif di panggung internasional dan tidak akan pernah menambah minyak ke dalam konflik," katanya.
Negara-negara Barat terus mendesak China menggunakan pengaruhnya terhadap Rusia guna mewujudkan perdamaian di Ukraina. Para pejabat AS baru-baru ini memperingatkan Beijing agar tidak memberikan bantuan tidak langsung kepada Rusia.
Lavrov setelah melakukan pertemuan dengan Wang pada Selasa pagi, pada Selasa sore waktu China dilaporkan akan melakukan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping. Menurut media pemerintah China, pertemuan itu sebelumnya dirahasiakan.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen yang mengakhiri kunjungannya ke China pada Senin kemarin, mengatakan dia telah memperingatkan para pejabat tentang konsekuensi mendukung pengadaan militer Rusia. (AFP/REUTERS)