Jalan Panjang Berliku Demokrasi Kuwait
Kurang dari empat tahun Kuwait sudah menggelar empat kali Pemilu. Kebuntuan Parlemen dan Pemerintah jadi masalah utama
Meski baru memberikan hak pilih dan dipilih bagi perempuan sejak tahun 2005, watak demokratis dan musyawarah sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Kuwait. Dalam informasi yang diberikan Kementerian Komunikasi Kuwait, disebutkan nama Kuwait diambil dari nama kota benteng di tepi pantai milik suku Bani Khalid yang disebut Kout.
Kota tersebut menjadi pusat perdagangan penting di Teluk Arab dan aliran Sungai Efrata—Sungai Tigris di Shat Al Arab yang menjadi pintu masuk keluar perdagangan ke Baghdad dan Kota Basra yang kini menjadi wilayah Irak.
Baca juga: Kuwait, Keterbukaan dan Tantangan Berdemokrasi
Dari kota perdagangan, masyarakat Kuwait berembuk dan sepakat memilih pemimpin, yakni Emir dari Keluarga Al Sabah pada tahun 1752. Keluarga Al Sabah yang menjadi Emir Kuwait berasal dari wilayah Najd—dataran tinggi—di tengah Jazirah Arab (kini wilayah Arab Saudi). Keluarga tersebut disebut sebagai Utub yang berintikan dari keluarga Al Sabah, Al Khalifa, dan Al Jalahmah. Mereka hijrah ke Kuwait dan bercampur dengan keluarga besar Bani Khalid. Ketika memilih Al Sabah sebagai Emir, warga sepakat mencapai kebaikan dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat.
Perikehidupan di masyarakat Kuwait terus meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat menjalankan prinsip kehidupan demokratis. Masyarakat Kuwait terbiasa terlibat dalam pengambilan kebijakan semisal dalam bidang perniagaan, seperti perdagangan dan kemaritiman.
Pakar Timur Tengah National University of Singapore (NUS), Clemens Chay, yang ditemui di sela Pemilu Kuwait tanggal 5 April 2024 mengatakan, sebelum ditemukan minyak dan gas, kekayaan Kuwait berasal dari perniagaan di pelabuhan dan sektor perikanan serta pencari mutiara.
Demokrasi formal
Hingga akhir Perang Dunia I pada tahun 1918, wilayah Jazirah Arab, termasuk Kuwait, adalah daerah kekuasaan Kesultanan Turki Usmani yang menjadi sekutu Triple Entente, yakni Kekaisaran Jerman dan Kekaisaran Austro-Hongaria. Setelah kalah dalam Perang Dunia I, wilayah Turki Usmani dibagi-bagi oleh pemenang perang, terutama Inggris dan Perancis.
Baca juga: Kehangatan ala Negeri Arab Teluk pada Bulan Perayaan Kuwait
Kuwait menjadi wilayah protektorat Inggris semasa itu. Praktik demokrasi formal di Kuwait mulai beberapa tahun seusai Perang Dunia I pada tahun 1921. Ketika itu dibentuk Dewan Syuro dipimpin Hamad Al Sager beranggotakan 12 orang.
Dewan Nasional hanya berusia singkat, yakni dua bulan. Meski demikian, itu menjadi cikal bakal organisasi demokrasi modern di Kuwait.
Beberapa tahun kemudian pada tahun 1931 dibentuk Dewan Kota dan Dewan Para Penasihat pada tahun 1936. Lembaga-lembaga tersebut menjadi cikal bakal parlemen Kuwait.
Hasil dari proses pelembagaan demokrasi pada tahun 1931 dan 1936, pada 1938 dilakukan pemilihan dewan secara demokratis dan dibuatnya Konstitusi Kuwait. Dewan Legislatif beranggotakan 14 orang yang dipimpin Sheikh Abdullah Al Salem.
Pada tahun yang sama ditemukan minyak untuk pertama kali di Lapangan Burgan. Kuwait memang diberkahi kekayaan minyak bumi (seperenam cadangan minyak dunia).
Dewan Legislatif kedua dibentuk tahun 1939 dengan 20 anggota. Dewan tersebut dipimpin Sheikh Abdullah Al Salem.
Pemilihan langsung
Memasuki dekade 1960-an, Kuwait pun merdeka berdaulat pada tahun 1961. Bersamaan itu, demokrasi Kuwait semakin kukuh bentuknya dengan disetujuinya pemilihan langsung dan pembentukan parlemen atau Dewan Nasional. Usulan tersebut kemudian disetujui Emir Sheikh Abdullah Al Salem Al Sabah.
Pemilu untuk memilih Dewan Nasional secara langsung digelar pada 23 November 1963. Ketika itu seluruh pria dewasa berhak memilih dan dipilih. Kuwait memasuki era monarki konstitusional.
Dewan Nasional tahun 1967 mengalami peristiwa bersejarah dengan mundurnya enam anggota parlemen. Dewan Nasional tahun 1981 mengalami perubahan daerah pemilihan dari 10 ke 25 daerah pemilihan.
Terakhir sebelum Perang Teluk—serbuan Irak ke Kuwait—Dewan Nasional tahun 1985 dibubarkan Emir Sheikh Jaber Al Ahmad Al Sabah pada Juli 1986 karena krisis Bursa Saham yang mengguncang ekonomi Kuwait.
Lompatan sejarah di Dunia Arab terjadi ketika pada tahun 2005, Emir Kuwait memberikan hak perempuan memilih dan dipilih dalam pemilu. Langkah tersebut juga diikuti dengan menempatkan Massouma Al Mubarak sebagai menteri perempuan pertama dalam kabinet Kuwait sebagai Menteri Perencanaan dan Pembangunan Sistem Administrasi.
Baca juga: Indonesia-Kuwait, Investasi Sektor Energi Jadi Incaran
Emir Kuwait pun membentuk tiga lembaga penting, yakni lembaga eksekutif (pemerintah dan Dewan Menteri), lembaga legislatif (Dewan Nasional atau parlemen dengan 50 anggota), dan lembaga yudikatif (Dewan Mahkamah Agung).
Parlemen dibubarkan
Meski menjalankan demokrasi, ada keunikan sistem di Kuwait, yakni tidak adanya partai politik. Selain itu, kerap terjadi kebuntuan antara parlemen dan kabinet. Akibatnya, Emir Kuwait pun membubarkan parlemen Kuwait.
Pembubaran parlemen pertama kali terjadi pada tahun 1996. Majelis Nasional atau Parlemen 2006 dibubarkan pada tahun 2008.
Selanjutnya Majelis Nasional hasil pemilu tahun 2008 dibubarkan pada tahun 2009. Pemicunya, tidak ada kerja sama antara kabinet dan parlemen Kuwait. Lantas parlemen hasil pemilu tahun 2009 kembali dibubarkan pada tahun 2011. Begitu pula pada pemilu tahun 2012 yang hasilnya dibubarkan setahun kemudian atas perintah Mahkamah Konstitusi Kuwait.
Majelis Nasional yang terpilih pada tahun 2013 nyaris saja merampungkan periode masa tugas mereka. Namun lagi-lagi setelah tiga tahun berjalan, pada Oktober 2016, mereka dibubarkan karena dinilai tidak mampu bekerja sama dengan kabinet atau badan eksekutif Kuwait.
Selanjutnya dilakukan pemilu ke 17 Kuwait menghasilkan parlemen tahun 2016. Parlemen ini dibubarkan Agustus tahun 2020 karena persoalan politik. Pemilu pun digelar 5 Desember 2020 menghasilkan Majelis Nasional baru. Parlemen ini dibubarkan dua kali karena berbagai kontroversi dan eskalasi antara parlemen dan kabinet serta upaya memperbaiki situasi politik Kuwait.
Pembubaran kedua terjadi pada Mei 2023 karena Mahkamah Konstitusi menyatakan hasil pemilu tahun 2022 tidak sah. Mahkamah Konstitusi lantas mengaktifkan kembali parlemen tahun 2020.
Pemilu kemudian kembali digelar pada 6 Juni 2023. Parlemen ini tak berusia lama, dan dibubarkan pada 15 Februari 2024. Pemilu kembali digelar di Kuwait pada 4 April 2024 diikuti 830.000 warga.
Clemens Chay menjelaskan, berbagai faktor membuat pelik demokrasi Kuwait karena berulang kali parlemen dibubarkan. Faktor klan yang menjadi oposisi melawan Emir, adanya gerakan politik, seperti Ikhwanul Muslimin yang merongrong pemerintah, dan keberadaan imigran gelap yang mengganggu keseimbangan politik Kuwait menjadi tantangan bagi Emir dan rakyat Kuwait.
”Imigran gelap dari Saudi, Suriah, dan Irak diam-diam merembes masuk. Mereka jadi basis dukungan suara dan politik kelompok yang sering bertentangan dengan Emir Al Sabah. Salah satu tokoh oposisi yang bersuara kasar terhadap keluarga Kerajaan sehingga parlemen dibubarkan berasal dari kelompok suku yang memiliki jaringan dukungan imigran itu,” kata Chay.
Belum lagi isu suksesi Emir Kuwait yang calonnya harus mendapat persetujuan parlemen menambah pelik dinamika politik Kuwait.
Di sisi lain, pengamat asal Amerika Serikat, Kristin Smith Diwan dari Institut Negara Arab Teluk yang berbasis di Washington DC, mengatakan, pemilu Kuwait menjadi contoh bagi sesama negara Arab. ”Hak bagi perempuan dan keberadaan perempuan di parlemen adalah bukti tekad Kuwait untuk selalu bergerak ke arah lebih baik. Kali ini ada perempuan yang terpilih, dia Janan Bushahri, mantan menteri di kabinet yang memang berprestasi,” kata Smith.
Terlepas dari berulangnya parlemen dibubarkan, negara dengan mata uang terkuat di dunia ini membuktikan bahwa tradisi Arab dan Islam bisa sejalan dengan demokrasi.