Kuwait, Keterbukaan dan Tantangan Berdemokrasi
Pemilihan umum untuk memilih anggota Majelis Nasional Kuwait sudah usai. Sejumlah politisi kawakan kembali mengisi kursi parlemen. Tantangannya adalah stabilitas politik.
Avenues, mal terbesar di Kuwait dan dunia, pada Rabu (7/6/2023) siang penuh dikunjungi warga. Pesta demokrasi—memilih anggota parlemen atau Majelis Nasional atau Majlis Al-Ummah—yang digelar sehari sebelumnya telah usai. Rabu pagi, warga telah mengetahui hasilnya.
Marzouq Al-Ghanim, mantan Ketua Majelis Nasional tahun 2020; Ahmed al-Saadoun, politisi oposisi veteran yang menjadi Ketua Majelis Nasional tahun 2022; serta Jenan Boushehri, satu-satunya politisi perempuan, ada di antara 50 anggota parlemen baru yang terpilih.
”Harapan kami, Kuwait makin maju. Mereka adalah orang-orang yang mapan dalam politik, pandai, berpengalaman, dan memiliki perhatian kepada anak-anak muda seperti kami,” kata Fauzia, warga Kuwait.
Baca juga: Pemilu Tunjukkan Kepeloporan Kuwait di Kawasan
Sebagaimana Fauzia, harapan itu tampaknya juga menjadi harapan warga Kuwait. Meskipun memiliki cadangan minyak terbanyak keenam di dunia, dan mapan dalam ekonomi, Kuwait membutuhkan stabilitas politik.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pemilu legislatif yang digelar Selasa (6/6) itu merupakan pemilu ketiga dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, Majelis Nasional hasil pemilu 2020 dibubarkan pada tahun 2022. Lantas pemilu yang digelar pada paruh akhir 2022 juga dibubarkan, dan Mahkamah Konstitusi memulihkan kembali parlemen hasil pemilu 2020. Namun pada April lalu, Emir Kuwait Sheikh Nawaf Al Ahmad Al Sabah meminta parlemen dibubarkan dan pemilu baru digelar lagi.
Situasi itu merupakan buah dari ”krisis politik” yang dipicu perseteruan antara parlemen dan eksekutif. Dampaknya, reformasi ekonomi – yang antara lain ditandai dengan upaya mendiversifikasi pendapatan nasional selain dari minyak tidak banyak bergerak. Perselisihan antara eksekutif dan legislatif dalam beberapa tahun terakhir juga dinilai telah menghambat reformasi fiskal, termasuk pengesahan undang-undang utang. Padahal, terobosan itu diperlukan agar memungkinkan Kuwait memanfaatkan pasar internasional dan mengatasi ketergantungan yang besar pada minyak.
Baca juga: Menyaksikan Pemilu Kuwait, Hajatan Demokrasi di Negeri Arab Teluk
Sebagaimana diberitakan kantor berita Reuters, pada minggu ini Dana Moneter Internasional (IMF) mendesak Kuwait agar segera mengesahkan undang-undang utang itu serta memberlakukan ”konsolidasi fiskal substansial”. Hal itu dibutuhkan untuk membalikkan proyeksi penurunan menjadi defisit fiskal dalam jangka menengah.
Di sisi lain, warga pun masih banyak berharap pemerintah akan terus berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan layanan umum lainnya.
Tantangan
Namun, bukan perkara mudah untuk mewujudkan itu. Lagi-lagi mendung ”perseteruan” antara eksekutif dan legislatif kembali membayangi. Sebanyak 29 dari 50 kursi parlemen kembali diisi politisi yang dinilai cenderung mengambil posisi oposisi.
Al-Ghanim, politisi berpengalaman yang juga populer di kalangan pemilih muda, diperkirakan kembali maju sebagai calon ketua parlemen. Ia akan bersaing dengan Al-Saadoun.
Marzouq Al-Ghanim merupakan penerus keluarga Al-Ghanim yang dikenal sebagai keluarga pebisnis terkemuka di negeri itu. Dari garis ibunya, Marzouq Al-Ghanim juga mewarisi kepiawaian berpolitik. Paman dari pihak ibunya adalah Ketua Majelis Nasional tahun 2008-2009, dan tahun 2009-2011, Jassem Al-Kharafi. Sosok Marzouq Al-Ghanim, dari keturunan keluarga yang kuat, dipandang mewakili komunitas bisnis negara itu. Al-Ghanim juga dikenal kritis terhadap Perdana Menteri Kuwait Sheikh Ahmad Nawaf Al Ahmad Al Sabah, putra Emir Kuwait Sheikh Nawaf Al Ahmad Al Sabah.
Banyaknya anggota parlemen terpilih—yang sebagian besar di antaranya anggota Majelis Nasional 2022—memicu kekhawatiran situasi politik Kuwait tidak akan banyak berubah.
Baca juga: Putra Mahkota Kuwait Tentukan Perimbangan Kekuatan Arab Teluk
Akan tetapi, situasi bisa pula menjadi lebih positif kali ini. Sejumlah pengamat menilai, munculnya nama-nama baru di parlemen memungkinkan relasi antara eksekutif dan legislatif lebih positif. Mereka umumnya berasal dari tokoh-tokoh independen yang tidak terikat dengan keluarga-keluarga terkemuka Kuwait. Mereka dinilai dapat mendorong keseimbangan antara eksekutif dan legislatif yang memungkinkan reformasi fiskal dapat diwujudkan. Setidaknya ada 12 anggota baru dalam parlemen yang terpilih.
Dania Thafer, direktur eksekutif Forum Internasional Teluk, mengatakan, anggota parlemen baru memiliki potensi untuk mengayunkan suara pada isu-isu tertentu. Sementara itu, tokoh Gerakan Progresif Kuwait, Ahmad Al-Deyain mengatakan, dari mereka yang terpilih, wajah parlemen cenderung lebih reformis. Menurut dia, mayoritas anggota parlemen baru adalah politisi perseorangan yang relatif tidak akan oposan apabila menilai eksekutif terbukti mengambil kebijakan reformis.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kuwait, Mohammad al-Rumaihi, mengatakan, pemilihan ketua dan komposisi pemerintah akan menentukan bagaimana parlemen nantinya akan berdinamika. ”Itu bisa berjalan dua arah, baik kerja sama—dan ini bagus untuk Kuwait—atau bentrokan, dan kita akan mulai lagi, menggelar pemilu lagi,” kata Rumaihi.
Satu-satunya perempuan, anggota parlemen terpilih, Jenan Boushehri, kepada kantor berita AFP mengatakan, dia berharap dapat membangun stabilitas dan bergerak maju dalam beragam isu, baik politik maupun ekonomi.
”Pihak berwenang di Kuwait harus bekerja sama untuk menciptakan stabilitas politik. Kurangnya kerja sama di antara pihak berwenang akan tecermin secara negatif secara internal dan eksternal,” kata Abdul Wahid Khalfan, analis politik Kuwait kepada Al Jazeera.
Demokratisasi
Meskipun diwarnai krisis politik dalam beberapa tahun terakhir, Kuwait merupakan pelopor dalam demokratisasi di kawasan Teluk. Kuwait yang dipimpin seorang emir membentuk parlemen sejak tahun 1962 dan perempuan boleh menggunakan hak pilihnya sejak tahun 2005. Bahkan perempuan pun dapat maju sebagai kandidat dan dipilih menjadi anggota Majelis Nasional.
Baca juga: Kehangatan ala Negeri Arab Teluk pada Bulan Perayaan Kuwait
Para kandidat adalah calon perseorangan karena partai politik—merujuk konstitusi negara itu—tidak diizinkan. Peran Majelis Nasional cukup vital dalam dinamika politik lokal. Merujuk Freedom House, lembaga nirlaba yang bergerak dalam isu demokrasi, HAM, dan kebebasan politik, Majelis Nasional Kuwait memiliki wewenang mengesahkan dan memblokir undang- undang. Menurut lembaga yang berbasis di Washington DC, AS, itu, Majelis Nasional juga berhak menanyai menteri—yang sebagian berasal dari keluarga Al-Sabah—serta mengajukan mosi tidak percaya.
Di antara para raksasa Teluk, Kuwait adalah satu-satunya negara yang memiliki parlemen yang dipilih secara demokratis.
Indonesia
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Indonesia Bagus Hendraning Kobarsih mengatakan, secara politik, pemilu di Kuwait tidak secara langsung akan berpengaruh pada Asia Tenggara atau Indonesia. Akan tetapi, stabilitas yang terbangun dapat berdampak cukup signifikan pada relasi ekonomi antarkedua negara, Indonesia-Kuwait.
Banyaknya pekerja migran asal Indonesia di Kuwait—saat ini tercatat lebih kurang 7.000 orang—memerlukan dukungan diplomasi.
Melihat sosok demokrasi di Kuwait, Bagus optimistis dengan sikap terbuka Kuwait. ”Dengan kesabaran dan sikap telaten, komunikasi itu akan membuahkan hasil positif,” kata Bagus. Merujuk pada relasi erat antara Indonesia dan Uni Emirat Arab di era Presiden Joko Widodo dan Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, sejatinya kedekatan itu dapat dibangun.
Sejumlah potensi kerja sama, termasuk dalam sektor energi antara Kuwait dan Indonesia, dapat dikembangkan. Demokratisasi di Kuwait, menurut Bagus, dapat membuka ruang lebih luas untuk mengeksplorasi kerja sama itu. Stabilitas, menurut dia, akan berdampak positif pada arus investasi antarkedua negara.
(AP/AFP/Reuters)