Semarak Menyambut Idul Fitri, dari Hena di Mesir hingga Ketupat di Malaysia
Persiapan menyambut Idul Fitri sudah terasa di banyak negara. Semua ingin bergembira pada hari raya.
Bulan Ramadhan mendekati akhir. Umat Islam di seluruh dunia akan mengucapkan selamat tinggal pada bulan suci itu dan merayakan hari raya Idul Fitri. Berdasarkan perhitungan astronomi, seperti dilansir Al Jazeera, bulan Ramadhan untuk wilayah Arab Saudi dan kawasan sekitarnya diperkirakan berakhir Selasa (9/4/2024) dan Idul Fitri kemungkinan jatuh pada Rabu (10/4/2024).
Seperti telah diberitakan, Mahkamah Agung Arab Saudi mengeluarkan seruan kepada warganya: siapa saja yang berhasil melihat bulan sabit muda atau hilal dengan mata telanjang, atau memakai bantuan teleskop pada Senin (8/4/2024) sore hingga petang, diminta segera melapor ke pengadilan terdekat. Melihat hilal adalah salah satu cara menetapkan akhir Ramadhan sekaligus menandai awal Syawal atau hari raya Idul Fitri.
Baca juga: Arab Saudi Keluarkan Seruan Melihat Hilal untuk Tetapkan Idul Fitri
Jika hilal terlihat hari Senin, Idul Fitri jatuh pada Selasa (9/4/2024). Namun, jika tak terlihat, puasa Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari dan Idul Fitri jatuh pada Rabu (10/4/2024). Arab Saudi menetapkan awal Ramadhan pada 11 Maret 2024.
Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama akan menggelar sidang isbat penentuan Idul Fitri pada Selasa (9/4/2024). Kemenag RI menetapkan awal Ramadhan pada 12 Maret 2024. Adapun Muhammadiyah, dengan metode hisab hakiki wujudul hilal, telah menetapkan Idul Fitri jatuh pada Rabu (10/4/2024).
Pada hari Idul Fitri, umat Islam akan berbondong-bondong menuju masjid atau lapangan untuk menunaikan shalat Id dua rakaat. Setelah itu berkumpul dengan keluarga dan kerabat. Tidak lupa bersalaman dengan tetangga kanan dan kiri.
Dan, yang paling dinanti adalah menyantap berbagai hidangan yang telah tersedia di meja makan, terutama makanan yang memang dibuat hanya pada hari raya seperti ini. Tak ketinggalan juga baju baru. Semua bergembira saat hari raya Idul Fitri.
Tradisinya, Idul Fitri dirayakan selama dua atau tiga hari di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Selain ada kesamaan dalam beberapa hal, tradisi perayaan Idul Fitri atau Lebaran di negara-negara itu bervariasi.
Arab Saudi
Sejak sepekan terakhir, pasar tradisional Al-Owais di Riyadh semakin semarak. Banyak warga menyerbu toko-toko makanan dan pakaian. Madawi al-Blushi, warga, menuturkan, selain belanja barang-barang kebutuhan dapur, ia juga ingin membeli baju atau mainan hingga camilan manis dan segar untuk disantap pada hari raya.
”Saya mencari thobe (pakaian untuk laki-laki Muslim di Arab) terlebih dulu. Kemudian barang-barang lain untuk anak-anak, seperti mainan dan permen,” katanya, seperti dikutip dari laman Arab News.
Sudah jadi bagian dari tradisi Idul Fitri untuk memiliki pakaian baru dan bagus. Idul Fitri adalah saat perayaan bagi kami, dan salah satu bagiannya adalah berdandan dan merayakannya.
Pasar Al-Owais adalah salah satu dari sekian banyak lokasi di Riyadh yang menjadi lokasi perburuan pakaian tradisional warga Arab Saudi. Ada juga toko khusus furnitur bagi warga setempat yang ingin mengganti peralatan usang rumah tangga mereka.
Blushi mengatakan, dirinya bersama keluarga datang ke pasar itu seusai shalat Tarawih. Di Arab Saudi, pasar-pasar secara umum justru semakin ramai pada malam hari. Semakin malam, semakin tambah ramai.
Baca juga: Mencari Terang di Kelamnya Ramadhan
Blushi menuturkan, penampilan terbaik di hari raya adalah salah satu hal penting bagi dirinya dan keluarganya. ”Sudah jadi bagian dari tradisi Idul Fitri untuk memiliki pakaian baru dan bagus. Idul Fitri adalah saat perayaan bagi kami, dan salah satu bagiannya adalah berdandan dan merayakannya,” katanya.
Suasana pasar yang meriah menjadi salah satu daya tarik pasar tradisional. Al-Jowhra bin Khalid, salah satu pembeli, mengatakan, yang paling dirindukannya ketika berbelanja di pasar tradisional adalah interaksi antara pedagang dan pembeli. ”Ada rasa yang berbeda ketika berada di tengah keramaian pasar. Ini emosi yang muncul menjelang Idul Fitri. Keramaian dan saling menyapa. Hal ini adalah tradisi kami,” katanya.
Baca juga: Masjidil Haram hingga Masjid Al Azhar Sambut Jemaah Itikaf Malam ”Lailatul Qadar”
Jowhra menyebutkan, dirinya membeli banyak tas kecil yang akan diisi dengan permen atau penganan tradisional Arab Saudi. Nantinya, tas-tas kecil itu akan dibagikan putra-putrinya kepada anak-anak tetangga di sekitar rumah. ”Ini cara bagus bagi anak-anak untuk merayakan Idul Fitri. Berbagi kebahagiaan dengan yang lain,” ujarnya.
Malaysia
Di Malaysia, umat Islam juga memiliki tradisi mirip dengan di Indonesia, yakni mudik atau pulang kampung ke daerah asal atau tanah kelahiran untuk berkumpul dengan orangtua, kerabat, handai tolan, dan mungkin teman masa kecil. Kegiatannya pun hampir mirip dengan yang terjadi di Indonesia.
Selain mengunjungi makam kerabat, ada tradisi buka pintu (open house)juga. Membuka pintu lebar-lebar bagi kerabat, tetangga, dan teman masa kecil untuk saling berkunjung ke kediaman masing-masing sambil menikmati hidangan tradisional yang sudah disiapkan.
Baca juga: ”Buka Pintu” sebagai Padanan ”Open House”
Warga Malaysia juga mengenal sejumlah penganan tradisional yang juga dinikmati di Indonesia, seperti ketupat rendang atau masakan lainnya yang mengandung banyak rempah dan santan. Selain itu, ada juga tradisi bagi orang yang lebih tua untuk memberikan bingkisan kepada anak-anak dan tamu yang berkunjung ke rumah mereka.
Mesir
Tradisi senada dilakukan masyarakat di Timur Tengah. Di Mesir, seusai melaksanakan shalat Idul Fitri, saling berkunjung adalah hal utama yang dilakukan warga sebelum menyantap penganan di rumah masing-masing.
Di saat itulah anak-anak berusia di bawah 10 tahun mendapatkan kegembiraan ketika mereka menerima hadiah uang tunai dari orang-orang terdekatnya. Tradisi ini dikenal sebagai eidiya.
Baca juga: Antre Berjam-jam demi Sumbangan Makanan untuk Berbuka
Sementara itu, untuk kaum perempuan, tua dan muda, ada sebuah tradisi untuk membubuhkan hena di tangan kanan dan kiri mereka sebagai tanda sukacita menyambut Idul Fitri. Tradisi ini sudah dikenal selama lebih dari 5.000 tahun di wilayah Afrika, Asia Tengah, dan Timur Tengah.
Ada tradisi di Mesir bagi kaum perempuan untuk membubuhkan hena di tangan kanan dan kiri mereka sebagai tanda sukacita menyambut Idul Fitri.
Kini, tradisi itu telah dikenal tidak sebatas di kalangan negara-negara Muslim, tapi juga sudah dikenal di negara-negara Barat.
Sejumlah desain baru muncul di tahun ini. Dulu desain hena tergolong berat karena penggunaannya meliputi seluruh telapak tangan dan sebaliknya. Kini muncul desain yang minimalis yang hanya mungkin meliputi seperempat bagian telapak tangan atau punggung tangan. Desain tumbuhan, berupa bunga, adalah yang paling umum. Akan tetapi, desain kaligrafi Arab yang lebih sederhana juga mulai marak digunakan.
Pakistan
Di Pakistan, tradisi Idul Fitri dirayakan oleh perempuan di negara itu dengan mengenakan gelang penuh hiasan warna-warni. Sepekan menjelang Idul Fitri, toko-toko di pasar-pasar dipenuhi dengan dagangan gelang berwarna-warni. Para perempuan di negara itu berburu gelang untuk dikenakan di hari Lebaran.
Gelang-gelang tersebut biasanya dijual per lusin pada harga sekitar 150 rupee (setara Rp 8.500) hingga 1.000 rupee (Rp 57.000) jika ada hiasan batu-batuan dan sutra.
”Apa pun baju yang sedang tren, saat kami menghadiri acara atau memakai baju apa pun, rasanya kurang lengkap jika tidak mengenakan gelang,” ucap Talat Zahid (42), warga setempat.
”Sekalipun Anda tidak memakai perhiasan, tetapi jika mengenakan gelang, penampilan Anda akan terlihat sempurna,” lanjutnya.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, tempat warga minoritas Muslim berasal dari latar belakang beragam, umat Islam mengikuti shalat Id dan menghadiri perayaan yang menampilkan aktivitas-aktivitas hiburan bagi anak-anak dan keluarga. Aktivitas itu, antara lain, merias wajah dengan cat atau merangkai balon.
Jalur Gaza
Berbeda dari kebanyakan warga Muslim di berbagai belahan dunia, warga Palestina di Gaza belum mendapat kepastian apakah mereka akan merayakan Idul Fitri tanpa desingan peluru atau jet tempur melintas di atas rumah atau tempat pengungsian mereka. Sejumlah negara tengah mencoba mendorong terjadinya jeda pertempuran pada hari raya nanti.
Bila pada Ramadhan sebelumya warga Palestina di Gaza ataupun di Tepi Barat menyambut bulan suci umat Islam dengan riang gembira, kali ini jauh berbeda. Warga Palestina di Jerusalem, tidak jauh dari Masjidil Aqsa—tempat suci ketiga bagi umat Islam—tidak mau memperlihatkan kegembiraan yang berlebihan selama bulan Ramadhan sebagai solidaritas atas situasi saudara-saudara mereka di Gaza.
Baca juga: Ramadhan dalam Suka dan Duka
”Perayaan tahun ini muram karena situasi yang menimpa saudara kami di Gaza. Semua yang masuk ke mulut terasa pahit. Sangat menyakitkan apa yang terjadi dengan saudara dan keluarga kami di Gaza,” kata Sabah (54), warga Jerusalem.
Situasi berbeda antara Tepi Barat dan Gaza. Jika warga Tepi Barat bisa melaksanakan shalat di masjid-masjid yang masih utuh, warga Palestina di Gaza harus melaksanakan shalat di samping reruntuhan bangunan masjid yang sudah rusak atau bahkan di pengungsian.
Sameeha al-Qadi (55) mengaku sedih melihat Ramadhan di Jerusalem. Kota suci ini tampak kehilangan aura dan cahayanya. Dia mengaku semakin lebih sedih melihat situasi yang dialami saudara-saudaranya di Gaza. (AP/AFP)