Kunjungan Asia Prabowo Mengena dan Sarat Muatan Geopolitis (Bagian 2-Habis)
Dari kunjungan Prabowo, Xi Jinping melihat Indonesia sebagai hal penting dari sisi strategi dan bersifat jangka panjang.
Kunjungan Prabowo ke China dan Jepang sangat mengena, terutama dari sisi ekonomi. Hanya saja, relasi dengan dua negara ini tidak akan pernah murni tentang manfaat ekonomi semata. Relasi dengan kekuatan besar, terutama China, tetap mengandung kerawanan.
Ada naluri hukum rimba yang dimiliki kekuatan geopolitik. Namun, relasi tidak bisa dihentikan. Hal terpenting adalah mengelola relasi agar negara-negara tidak terjebak pada hukum rimba kekuatan geopolitik.
Dari sisi ekonomi, relasi dunia sangat dekat dengan China. Seperti dinyatakan Aaditya Mattoo, Kepala Ekonom di Bank Dunia untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, China berperan sebagai pasar, sumber investasi Asia. Ekonom Bank Pembangunan Asia, Albert Park, juga menegaskan decoupling dengan China, motor perekonomian global, tidak memiliki dasar kuat.
Tentang bentuk relasi, Prabowo telah menekankan ingin dekat dengan China, tetapi tidak akan menjadi blok China. Sikap Indonesia ini jelas berbeda dengan Jepang, Australia, dan Filipina.
Baca juga: Kunjungan Asia Prabowo Mengena dan Sarat Muatan Geopolitis (Bagian 1)
Akan tetapi, muncul pertanyaan, bagaimana hubungan dengan basis ekonomi ini ke depan? Apakah sikap non-aliansi akan langgeng atau akan dipaksa atau terpaksa berpihak?
Persoalannya, tidak ada yang bisa menebak masa depan. Orang sekaliber Henry Kissinger menyadari kesulitan tentang proyeksi masa depan. Pakar geopolitik dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, juga menyatakan, proyeksi ke depan sulit karena niat negara-negara dalam konteks relasi internasional tidak bisa diketahui secara persis.
Sejarah imperialisme
Beberapa sudut pandang menunjukkan relasi dengan China tidak sederhana. China adalah negara komunis, yang paling menakutkan Barat. Meski dasar relasi adalah ekonomi, potensi sensor-sensor, kebebasan berekspresi menjadi satu hal yang dikhawatirkan, apalagi jika relasi ekonomi berujung menjadi jeratan, lewat coercive action, seperti kata mantan Wapres AS Mike Pence.
Apalagi sekarang ini, dengan perkembangan dunia siber, kehidupan semua orang mudah terpantau.
Pandangan lain mengatakan, relasi dengan China tidak semata-mata terkait ideologi. Ekspansi ideologi bukan hal yang paling mengancam. Fakta sejarah tentang kekuatan imperial adalah dia bisa berubah menjadi agresif. Pertikaian-pertikaian di antara kekuatan geopolitik masa lalu bukan karena ideologi, melainkan sikap agresif. Maka Eropa dengan akar sama-sama Kristen tetap saja berperang.
Penulis Niall Ferguson berkata, sejarah kekuatan imperialis itu nyata dan China bukan kekecualian. Memang tidak selamanya keberadaan kekuatan imperial itu menyebabkan kekacauan, tetapi kisah kekacauan tetap ada karena sikap agresif. Ini secara empiris muncul sewaktu-waktu.
”Dinasti Qing pernah merebut sejumlah wilayah Uni Soviet. Jadi, tidak murni bahwa China luput dari imperialisme. Waspadalah!” Demikian peringatan Ferguson saat berbicara dengan John Anderson, mantan Wakil Perdana Australia.
Baca juga: China dan AS Jadi Sumber Kekhawatiran Warga ASEAN
Ferguson menambahkan, kehadiran China sekarang dalam berhadapan dengan AS sangat berbeda dengan ketika AS berhadapan dengan Uni Soviet. Agresi lewat perang bukan lagi hal utama. Meski China tidak memperlihatkan petualangan politik nyata di banyak negara, China dipandang akan bisa merangsek lewat perdagangan dan investasi.
Ferguson melihat, program Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiatives (BRI) adalah cara China memasuki dunia. Ia menyatakan, China tidak akan memakai kekuatan pasar secara murni dan berpotensi mendikte secara ekonomi. Itulah salah satu pandangan yang relatif menakutkan, yang dominan datang dari Barat.
Ironisnya, menurut Ferguson, khususnya tentang Australia, ada keterlenaan akibat sikap parokial dalam menghadapi China. Potensi terjebak, jika tidak diantisipasi sejak sekarang, akan bisa membuat penyesalan di kemudian hari.
Sisi optimisme
Pandangan dominasi Barat yang sarat ketakutan bukan satu-satunya yang berkembang. Mearsheimer tidak menepis unsur agresi China dan potensi perang. Akan tetapi, di sisi lain ia melihat China sebagai negara yang memiliki pandangan dengan akar realisme.
Artinya, relasi China dengan negara-negara lain bisa berujung dengan kolaborasi atau perang, tergantung perajutan relasi dari waktu ke waktu. China yang bangkit secara ekonomi, kata Mearsheimer, memiliki persepsi bahwa kebangkitan bisa diraih tanpa agresi. Ini sisi positif.
Hal serupa telah dinyatakan Profesor Yan Xuetong dari Tsinghua University. China memiliki akar konfusianisme tentang relasi internasional, bahwa relasi baik adalah fondasi kelanggengan dan keharmonisan relasi.
Baca juga: China Menepis Ketakutan Dunia, tetapi Ada Kerentanan (Bagian 2)
Jika perang terjadi, falsafah konfusianisme tetap menekankan etika. Filsuf China, Konfusius dan Mencius, tidak membahas secara dalam aksi militer untuk perang karena konsisten dengan keyakinan bahwa etika pemerintahan adalah hal yang melanggengkan, bukan perang. Pandangan ini tertuang dalam artikel ”Military ethics of Xunzi: Confucianism confronts war” pada 2 November 2016, oleh Yi-Ming Yu, dari National Defense University, Taipei, Taiwan.
Akan tetapi, filsuf China lainnya, Xunzi, memodifikasi pandangan Konfusius dan Mencius yang antiperang. Xunzi mengatakan, perang tidak kontradiktif dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Xunzi tidak yakin dengan moto, ”mereka yang baik tidak akan memiliki musuh”. Sebab, akan ada saja manusia yang bias, pengacau nilai-nilai kemanusiaan.
Eirik Lang Harris dari Department of Religion & Philosophy, Hong Kong Baptist University, Kowloon Tong, Hong Kong, 3 Juni 2019, menguatkan falsafah perang Xunzi. Xunzi tidak menjamin keamanan negara, seberapa taktis pun negara itu memelihara norma-norma. Perang tetap diperlukan karena norma-norma tidak terjamin akan dipegang semua pihak.
Maka pihak yang mengacau dan melakukan hal-hal jahat harus dicegah, jika perlu termasuk lewat perang. Akan tetapi, Xunzi menegaskan, perang jangan digunakan untuk kepentingan pribadi agar kegiatan normal masyarakat tidak terganggu. Ia mendukung perang sebagai penegak tatanan sosial. Ia menyerukan bahwa etika tetap menjadi dasar untuk perang.
Tidak ekspansif
Akan tetapi, bagaimana menjaga etika ini dengan karakter kekuatan geopolitik yang memiliki naluri hukum rimba? Profesor geopolitik dari Fudan University, Zhang Weiwei, menyatakan bahwa China yang komunis tetap mempertahankan ideologinya. Sistem ini paling pas dengan China yang memiliki 1,4 miliar penduduk. Akan tetapi, menurut Zhang, China tidak akan mengekspor ideologi. Negara itu hanya memperlihatkan sistem dan ideologi alternatif.
Baca juga: Kurikulum Xi Jinping dan Kontrol Ideologi China
Ideologi Barat, kata Zhang, juga tidak sempurna. Sama seperti komunisme yang tidak sempurna, tetapi tetap jadi basis bagi China. Ia katakan, komunisme juga berevolusi dengan reformasi demi reformasi. Tujuannya agar ideologi semakin pas dengan keinginan rakyat China. Zhang menekankan sisi baik komunisme, tetapi juga menegaskan bahwa dunia lain juga punya sisi dan sistemnya tersendiri.
Tak banyak pihak Barat yang berterima dengan pandangan Yan dari sisi harmoni internasional dan Zhang dari sisi ideologi. Isu Xinjiang, hak asasi manusia lainnya di China, tetap digaungkan Barat. Sisi komunisme yang otoritarian juga terus digaungkan. Hingga Zhang merespons bahwa serupa saja dengan asas demokrasi Barat itu, banyak sekali cacatnya.
Memahami ketakutan
Meski China sulit dipercaya, kalimat-kalimat dalam sambutan Presiden Xi Jinping saat bertemu Prabowo menunjukkan akar realisme dalam hubungan internasional. ”China memahami makna balance of power,” kata Mearsheimer. Artinya, ada pertimbangan bagi China setiap melakukan tindakan, di samping naluri hukum rimba yang melekat pada setiap kekuatan geopolitik.
China tidak mengusung asas hegemoni liberal, seperti AS, yang tidak bersedia melihat nilai-nilai dari pihak lain.
Akar realisme China terlihat dari isi sambutan Presiden Xi Jinping saat bertemu Prabowo. Xi secara implisit melihat dunia yang memiliki ketakutan terhadap China. Dengan momentum kunjungan Prabowo, Xi mengatakan, ia melihat Indonesia sebagai hal penting dari sisi strategi dan bersifat jangka panjang. ”China bersedia melakoni kelanjutan relasi bilateral yang bersejarah dengan Indonesia,” kata Xi.
Xi menekankan pembangunan komunitas RI-China dengan masa depan yang saling berbagai, shared future. Disebutkan pula, China bersedia memperdalam kerja sama strategis di segala bidang, yang berkontribusi bagi perdamaian, stabilitas di kawasan dan seluruh dunia.
Xi menyisipkan pesan bahwa relasi yang baik didasarkan pada kepatuhan terhadap kemerdekaan strategis, sikap saling percaya, kerja sama yang saling menguntungkan, serta penegakan keadilan dan kesetaraan.
Xi juga menyerukan agar China dan Indonesia kiranya bisa bekerja sama dengan tulus di masa depan. Ia ingin melihat relasi RI-China sebagai contoh kerja sama, model pembangunan bersama, dan menjadi pionir dalam kerja sama Selatan-Selatan.
Inilah sisi optimisme bahwa China ingin menegaskan kerja sama yang langgeng. Relasi baik dan berjangka panjang tidak akan terwujud jika sebuah kekuatan geopolitik menekankan sikap agresif dan sepihak.
Saling koreksi
Akan tetapi, sulit bagi Barat terutama Gedung Putih menerima pesan China, yang tetap dianggap sebagai janji-janji manis yang bertujuan menyergap. Saat berbicara pada TED Conference, April 2019, mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani, berpesan. Intinya Mahbubani berkata, ketahuilah bahwa di dunia ini ada berbagai sudut pandang dan bukan hanya sudut pandang demokrasi liberal ala Barat. Mahbubani mengimbau, hendaklah Barat bersedia berdaptasi, tidak hanya mendikte negara-negara lain.
Pada 24 Maret 2024, Presiden World Bank Group, Ajay Banga, dalam China Development Forum bertutur betapa prestasi China sangat luar biasa. Dari kemiskinan akut, China mengangkat derajatnya dari status negara pariah menjadi negara dengan hasil pembangunan yang membuat dunia terperangah. China mengikis kemiskinan, memasok investasi ke seluruh dunia, bahkan menjadi donatur besar bagi Bank Dunia.
Tidak mungkin China meraih prestasi besar jika semua yang dilakukan negara itu hanya hal-hal buruk. Dengan Barat, tampaknya pasti menghadapi banyak kesulitan dengan kemunculan China. Produk-produk berkualitas berharga relatif murah bermunculan dari China. Produk seperti ini menguntungkan dunia yang diwarnai ketimpangan pendapatan. Kapitalisme Barat telah pula menorehkan ketamakan yang nyata.
Dalam sebuah diskusi pada 2017, yang diselenggarakan The Nexsus Institute yang juga dihadiri Zhang Weiwei, laksamana berbintang empat asal AS, William Fallon, turut berbicara. Setelah pensiun, Fallon berperan sebagai penasihat pada Center for International Studies (MIT). Fallon melihat diskusi terkait China terlalu kaku, serang-menyerang, tidak siap saling mendengarkan.
Fallon mengatakan, hal yang dia pikirkan tentang sistem China adalah aturan negara, bukan aspirasi warga, hal yang berbeda dengan falsafah Barat. Sebaliknya, ia juga menekankan ideologi Barat, dengan apatisme relatif warganya termasuk minat rendah saat mencoblos pada pemilu, perlu juga mengoreksi diri. Fallon mengatakan, jika ingin pihak lain melihat hal baik, Barat perlu memperbaiki diri, terutama pemimpin dan para elitenya.
Fallo menyarankan juga, dengan pihak lain, Barat tidak perlu enggan berdiskusi. Hal ini cocok dengan ruang negosiasi yang juga selalu diberikan oleh China, dengan dasar win-win solution, bukan dengan sikap Barat yang mendikte dan posisi superior. Jika ini dilakukan, ada optimisme dengan kebangkitan China. (REUTERS/AP/AFP)
Simon Saragih, Wartawan Kompas 1989-2023