Kunjungan Asia Prabowo Mengena dan Sarat Muatan Geopolitis (Bagian 1)
Tawaran-tawaran kerja sama dari China dan Jepang bukan tanpa makna. Ada pesan tersirat dari kedua negara itu.
Asia kini adalah kawasan paling rawan ketegangan. Hal ini akibat memudarnya kekuatan unipolar Amerika Serikat menjadi bipolar seiring dengan kebangkitan China. Berubah pula status quo Asia dari dominasi AS dan sekutunya menjadi ”halaman belakang” China. Inilah titik awal ketegangan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Terjadi pula perebutan pengaruh hingga pembentukan aliansi oleh AS atau China, entah itu terbuka atau tersembunyi. Kemulusan status geopolitik pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan negara penguasa geopolitik itu sendiri. Akan tetapi, kemulusan juga bisa didukung keberadaan aliansi yang digalang China dan AS, dua kekuatan geopolitik paling menonjol.
Baca juga: China dan Jepang Sambut Prabowo sebagai Presiden Terpilih
Dalam konteks itu, kunjungan Prabowo Subianto ke China dan Jepang dengan sendirinya sarat unsur geopolitis terkait penggalangan aliansi. Asumsinya, Prabowo mewakili Indonesia sebagai pemenang Pemilu Presiden 2024.
Di sisi lain, kunjungan Prabowo yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan ke China dan Jepang menggambarkan bahwa relasi internasional Indonesia tetap penting untuk dikelola. Faktor eksternalitas amat berpengaruh pada kemajuan Indonesia. Kunjungan ke China dan Jepang juga merefleksikan keberadaan dua kekuatan penting di kawasan dan sangat layak didekati.
Namun, dua kekuatan geopolitik yang dimaksud bukan China versus Jepang, melainkan China versus AS via Jepang. Analisis Jennifer M Lind dari Rockefeller Center menyimpulkan, Jepang adalah buck catcher dari AS, yang berperan sebagai buck passer. Artinya, misi hegemoni AS di Asia dilakukan lewat Jepang, si buck catcher. Hal itu tertulis dalam artikel Lind berjudul ”Pacifism or Passing the Buck? Testing Theories of Japanese Security Policy” pada 2004 yang diterbitkan The MIT Press.
Netralitas versus bujukan
Maka, tak pelak lagi kunjungan Prabowo mengandung unsur geopolitis tingkat tinggi terkait isu penggalangan aliansi. Meski demikian, dasar misi Prabowo sudah jelas. Ia mengatakan ingin dekat dengan China dan juga Jepang (AS), tetapi harus kukuh menjadi diri sendiri, tidak berpihak.
Namun, kalimat-kalimat sambutan pemimpin China dan Jepang sarat ”bujuk rayu” serta berisikan tawaran-tawaran. Hal ini mengingatkan sejarah soal tawaran bantuan uang berjumlah besar dalam rangka pembentukan aliansi dan sejenisnya (The Tragedy of the Great Power Politics, 2001, karya John Mearsheimer).
China selalu melihat relasi dengan Indonesia sebagai hal penting dari sisi strategi dan berjangka panjang.
Kalimat-kalimat sambutan Presiden China Xi Jinping, dalam pertemuan dengan Prabowo pada 2 April di Beijing, juga memperlihatkan muatan geopolitik. Sambutan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Tokyo pada 3 April berbeda dengan muatan-muatan dalam sambutan Xi. Maklum, Jepang adalah kekuatan geopolitik yang ”bertobat”, tetapi sejarah tak melupakan kekejaman masa silamnya.
Hal yang tersirat dari kunjungan Prabowo ke China dan Jepang adalah keinginan China dan Jepang—mewakili AS—agar Indonesia ”masuk” ke kubu masing-masing. Walau demikian, tidak ada pemaksaan eksplisit bagi Indonesia untuk memilih salah satu dari dua negara itu.
Ingin torehkan sejarah
Sambutan Xi tampak biasa. Ia menyatakan makna pentingnya Indonesia dan China berkeinginan kuat dekat dengan Indonesia. Tentu Prabowo sepakat dengan Xi untuk mengembangkan relasi yang lebih dekat dan memperdalam kerja sama, termasuk pengurangan kemiskinan.
Xi menyambut kemajuan hubungan bilateral RI-China yang telah berlangsung selama ini, termasuk pembangunan jaringan kereta Jakarta-Bandung. Ia menyebut jaringan kereta itu sebagai simbol kualitas kerja sama dua negara. ”China selalu melihat relasi dengan Indonesia sebagai hal penting dari sisi strategi dan berjangka panjang. Dan, China bersedia melakoni kelanjutan relasi bilateral yang bersejarah dengan Indonesia,” kata Xi.
Xi menambahkan, hubungan bilateral RI-China memasuki tahap pembangunan komunitas dengan masa depan yang saling berbagi, shared future. Untuk itu, kata Xi, China bersedia memperdalam kerja sama strategis di segala bidang dan memberi manfaat bagi warga dua negara, sekaligus berkontribusi bagi perdamaian serta stabilitas di kawasan dan seluruh dunia.
Baca juga: Prabowo Disambut Hangat di China
Xi mengatakan, hasil baik dari relasi bilateral didasarkan pada kepatuhan kedua negara terhadap kemerdekaan strategis, sikap saling percaya didukung bantuan-bantuan, kerja sama untuk saling menguntungkan, serta penegakan keadilan dan kesetaraan.
Xi juga menyerukan agar China dan Indonesia sebagai dua negara berkembang yang sedang menggeliat bisa bekerja sama dengan tulus di masa depan dan membuat relasi RI-China sebagai contoh kerja sama yang saling menguntungkan. Xi ingin relasi dan kerja sama RI-China sebagai model pembangunan bersama dan menjadi pionir dalam kerja sama Selatan-Selatan.
Xi menyatakan niat untuk berbagi pengalaman pada Indonesia tentang pengelolaan pemerintahan, pengukuhan aliansi pembangunan strategis, dan terus memperdalam kerja sama bidang kemaritiman.
Bukan tanpa makna
Tawaran-tawaran kerja sama dan bantuan China mencuat. Kalimat-kalimat bujuk rayu sangat jelas dalam pesan-pesan Xi. Ini mengingatkan pola perekrutan aliansi secara tersirat.
Pesan-pesan bagus Xi bukan tanpa makna. Kerja sama kemaritiman yang dimaksudkan Xi tak pelak lagi mengingatkan keberadaan Laut China Selatan yang juga menjadi kepentingan Indonesia. Pesan Xi memunculkan isu kemaritiman, sekaligus merujuk pada kolaborasi di wilayah yang sedang tidak jelas batas-batasnya.
Ada penekanan implisit soal kerja sama, bukan kedaulatan di wilayah dengan perbatasan yang belum jelas di Laut China Selatan itu. Inilah salah satu pesan geopolitik penting China, perlambang kekuatan geopolitik regional memiliki naluri hegemoni. Ini mengindikasikan pesan tentang Filipina yang bersikukuh menuntut kedaulatan di Laut China Selatan dan ”ditekan” balik. Ini sinyal tersirat dengan sendirinya untuk Indonesia, bagaimana menyikapi isu serupa di depan.
Amati juga tawaran Xi tentang niat berbagi pengalaman soal pengelolaan pemerintahan. Ini sebuah poin penting, yang bagi Indonesia harus jelas sejak awal. Tawaran yang baik, tetapi kelak bisa ”terpeleset” dan memasuki koridor sistem pemerintahan dan ideologi.
Isyarat dari Jepang
Maka, muatan geopolitis dari pernyataan Xi lebih besar dari pernyataan Kishida. PM Jepang, sebagaimana dikutip The Japan Times, 4 April, menyatakan, kunjungan Prabowo merupakan hal yang memberi semangat.
Kishida berharap RI-Jepang terus memperdalam kolaborasi bilateral dan menjadi pendorong bagi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Pesan Kishida tentang Indo-Pasifik ini memiliki arti penting di tengah mencuatnya ketakutan Barat akan potensi otoritarianisme.
Baca juga: Kepada Prabowo, PM Jepang Sampaikan Ingin Perdalam Kerja Sama Keamanan
Tentu pernyataan Kishida ini mengisyaratkan faktor China yang semakin ”mendikte” di kawasan, seperti dituliskan The Japan Times. Kishida juga menyatakan, ia melihat kunjungan Prabowo sebagai ”perangai berorientasi Jepang”. Mungkin hal yang dimaksudkan dengan perangai itu merujuk pada misi RI yang dianggap lebih berorientasi pada poros Jepang. Ini dicuatkan The Japan Times dalam artikelnya.
Pesan Kishida soal ”perangai” ini juga menjadi faktor pengingat penting. Netralitas RI agar tidak tergoyahkan. Jepang diragukan sebagai kekuatan pasifis dengan peran sebagai buck catcher, simbol perwakilan AS.
Sama seperti China, untuk merangsang RI, Kishida menyatakan ingin meningkatkan kerja sama menjadi mitra bilateral dengan cakupan menyeluruh, strategis, dan nilai-nilai dasar serta prinsip yang sama. Ia menambahkan, Jepang berniat kuat mendukung Indonesia dalam segala bidang, termasuk pembangunan infrastruktur dan energi.
Jepang tentu turut menyuarakan kerja sama di bidang pertahanan, terlihat dari pertemuan Prabowo dengan mitranya Menteri Pertahanan Jepang Minoru Kihara. Dalam pertemuan itu, keduanya mendiskusikan kerja sama keamanan bilateral dan multilateral, termasuk pelatihan-pelatihan. ”Kami sepakat bekerja sama di banyak bidang,” kata Kihara.
The Japan Times menyebut hal itu sebagai sinyal pendalaman pertahanan lewat pendidikan, pelatihan, dan peningkatan kemampuan pertahanan. Tema pertahanan dalam kunjungan ke Jepang sekaligus mengingatkan posisi Jepang mewakili AS, yang ingin membendung kekuatan China lewat aliansi Asia. Kandungan dalam pesan ini tentu jika bisa, dalam aliansi itu termasuk Indonesia. Isu ini menjadi poin penting untuk ditelaah.
Berbeda dengan China, Jepang tidak membahas isu kemaritiman. Baik RI maupun ASEAN tidak memiliki nuansa tentang masalah kedaulatan di wilayah kelautan. Jepang murni mengingatkan kerja sama pertahanan dan bidang lain. (REUTERS/AP/AFP)
(Bersambung)
Simon Saragih, wartawan Kompas 1989-2023