Darurat Kekeringan di Vietnam, Ribuan Orang Menjadi Korban
Kekeringan dan intrusi air laut membuat sawah di delta Mekong kering. Warga kesulitan air tawar untuk hidup sehari-hari.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
HO CHI MINH, SABTU — Ribuan orang dan petani di sejumlah wilayah di delta Sungai Mekong, Vietnam, menjadi korban kekeringan. Kekeringan akibat gelombang panas ini diperparah instrusi air laut.
Pemerintah Provinsi Tien Giang menyatakan status darurat kekeringan tersebut pada Sabtu (6/4/2024). Kekeringan yang diperparah oleh intrusi air laut (salinisasi) yang sangat tinggi ini membuat sumber air tawar semakin langka. Kekeringan dan salinisasi terjadi setelah kawasan Tien Giang dilanda gelombang panas selama beberapa pekan.
Akibatnya, ribuan orang di provinsi yang berjarak sekitar 60 kilometer (km) di bagian selatan pusat bisnis kota Ho Chi Minh itu kesulitan air bersih untuk konsumsi dan pertanian. Dampak terparah dialami Distrik Tan Phu Don yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
Daerah ini mempunyai garis pantai sepanjang 12 km. Intrusi air laut terjadi karena mengeringnya saluran air tawar membuat air laut masuk ke jaringan air tawar hingga ke arah hulu Sungai Tien. Sungai besar itu salah satu sumber air tawar utama Distrik Tan Phu Don.
Menurut laporan Kantor Berita Vietnam, VNA, badan-badan terkait telah diminta untuk mengangkut air bersih ke kolam dan waduk di Distrik Tan Phu Don. Langkah ini dilakukan untuk menjaga pasokan air bersih bagi masyarakat.
Delta Mekong menghadapi intrusi air asin setiap tahun. Namun, pada musim kemarau tahun ini, kondisi lebih parah karena cuaca lebih panas dan permukaan air laut naik lebih tinggi. Cuaca yang lebih panas dan naiknya permukaan air laut yang lebih tinggi itu dipicu oleh perubahan iklim.
Menurut penelitian yang diterbitkan bulan lalu, delta Sungai Mekong di Vietnam menghadapi kerugian panen sebesar hampir 3 miliar dollar AS per tahun karena semakin banyak air asin yang merembes ke lahan subur.
Kondisi ini merupakan ancaman bagi masyarakat Vietnam. Sebab, selama ini delta Sungai Mekong menyediakan makanan dan mata pencarian bagi puluhan juta orang di sepanjang alirannya.
Sungguh sia-sia meninggalkan sawah kosong seperti ini karena kami tidak punya air bersih. Saya harus beralih ke beternak sapi.
Penelitian Institut Ilmu Sumber Daya Air di bawah Kementerian Lingkungan Hidup Vietnam menunjukkan, sekitar 80.000 hektar lahan padi dan buah-buahan berpotensi terkena dampak salinisasi Sungai Mekong tersebut. Pada 2016, Vietnam mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun. Saat itu, 160.000 hektar lahan terkena dampak salinisasi.
Berharap hujan
Selain melanda Provinsi Tien Giang, kekeringan dan salinasi juga melanda provinsi tetangganya, Ben Tre. Sawah-sawah yang biasanya basah dan subur sekarang mengering hingga tanahnya retak.
Selama ini, provinsi yang juga berada di delta Sungai Mekong itu merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Vietnam. Namun, selama beberapa tahun terakhir, Provinsi Ben Tre selalu mengalami kekeringan dan salinasi parah pada tiap musim kemarau.
Akibat kekeringan itu, pada 2020-2023, provinsi itu diperkirakan menderita kerugian sekitar 472 juta dollar AS setiap tahun. Salah satunya karena hasil panen yang turun.
Para petani di Ben Tre tak mampu berbuat banyak. Setiap hari, petani Nguyen Hoai Thuong (31) hanya bisa berdoa agar hujan turun di kebunnya. Doa ini sia-sia. Gelombang panas selama sebulan terakhir telah membuat lahan di kampung halaman yang berjarak sekitar 130 km dari Ho Chi Minh itu kering.
Jaringan air tawar di sana berubah asin sehingga tak bisa digunakan untuk bercocok tanam. ”Sungguh sia-sia meninggalkan sawah kosong seperti ini karena kami tidak punya air bersih. Saya harus beralih ke beternak sapi,” kata Thuong.
Akibat kondisi itu, Thuong terpaksa mengurangi penanaman padi dari tiga kali menjadi hanya dua kali setahun. Tanpa hujan, keluarganya tidak memiliki air bersih. Untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, mereka bahkan kesulitan. Bulan lalu, ia terpaksa membeli air dari tetangganya seharga 500.000 dong (Rp 318.000).
Ayah Thuong harus memompa air dari mobil tangki ke dalam tangki penyimpanan keluarga yang berkapasitas 1.000 liter. Air yang dibeli keluarga Thuong itu hanya cukup untuk keperluan rumah tangga, mulai dari minum, memasak, hingga mandi.
Tak ada sisa air untuk bercocok tanam. ”Kami tidak memiliki sumber air tawar di bawah tanah untuk digunakan, sementara air permukaannya asin,” katanya.
Sementara tetangganya, Nguyen Van Hung, justru beruntung karena ia memiliki sumber air bersih bawah tanah yang berlimpah. Air tawar itu ia jual kepada tetangganya yang kekeringan sehingga memberi penghasilan tambahan. ”Saat terjadi kekeringan dan intrusi garam, saya menjual air bersih kepada tetangga. Namun, sejujurnya saya tidak senang dengan kekeringan ini,” kata Hung. (AFP)