Bayi Semakin Sedikit, Pabrik Popok di Jepang Bidik Pasar Lansia
Akibat angka kelahiran terus menurun, perusahaan popok bayi di Jepang banting setir membuat popok untuk lansia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Jumlah bayi di Jepang semakin sedikit akibat angka kelahiran tersebut terus menurun dan menyentuh titik terendah pada 2023. Krisis kependudukan itu antara lain tecermin ketika popok lansia lebih laku daripada popok bayi.
Oji Holdings bakal berhenti membuat popok bayi mulai September 2024. Ke depan, perusahaan spesialis pembuat produk berbahan kertas itu akan fokus memproduksi alat-alat kebersihan untuk orang lanjut usia.
Produk baru itu akan dipasarkan ke rumah jompo dan fasilitas serupa. ”Permintaan masyarakat untuk popok bayi semakin menurun akibat sejumlah faktor, termasuk penurunan angka kelahiran,” kata juru bicara Oji Holdings, Rabu (27/3/2024), dilansir dari laporan BBC.
Angka produksi popok bayi Oji Nepia, anak perusahaan Oji Holdings, saat ini adalah 400 juta popok per tahun. Angka itu terus menurun setelah perusahaannya mencapai puncak kejayaannya dengan memproduksi 700 juta popok per tahun.
Di Jepang, penjualan popok bayi sejak lama sudah kalah dengan popok dewasa. Pada 2011, produsen popok bayi terbesar di Jepang, Unicharm, menyatakan lebih banyak menjual popok dewasa daripada popok bayi.
Menurut juru bicara Oji Holdings, perusahaan akan tetap menjual popok bayi di Jepang untuk menghabiskan stok. Untuk pemasaran popok bayi ke depan, mereka berencana melebarkan sayap ke Indonesia dan Malaysia yang pasarnya dinilai masih tumbuh.
Pasar popok untuk orang dewasa di Jepang terus tumbuh dari tahun ke tahun. Kini, nilainya mencapai 2 miliar dollar AS. Tren itu sejalan dengan populasi negara itu yang semakin menua.
Krisis kependudukan
Angka kelahiran Jepang menyentuh titik terendah pada 2023, yakni 758.631 kelahiran. Anak usia di bawah 15 tahun hanya 12 persen dari populasi pada 2022. Kini, hampir 30 persen penduduk Jepang adalah warga dengan kelompok umur di atas 60 tahun.
Pada Juni 2023, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyebut persoalan rendahnya angka kelahiran itu sebagai krisis eksistensial. Agar warga Jepang termotivasi memiliki anak, ia menjanjikan bantuan keuangan, akses penitipan anak yang lebih mudah, dan lebih banyak cuti orangtua.
Mengutip The Guardian, perempuan di Jepang rata-rata melahirkan 1.3 anak sepanjang hidupnya. Padahal, untuk mempertahankan jumlah populasi di suatu negara, satu perempuan harus melahirkan 2,1 anak.
Jumlah perkawinan di Jepang pada 2023 sebanyak 489.281 pasangan. Angka di bawah setengah juta pasangan ini merupakan yang pertama kalinya terjadi di negara itu dalam 90 tahun. Populasi Jepang yang saat ini sekitar 125 juta jiwa diperkirakan akan turun sekitar 30 persen dengan menjadi 87 juta pada 2070 (Kompas.id, 28/2/2024).
China dan Korea Selatan juga menghadapi persoalan rendahnya angka kelahiran. Seperti Jepang, berbagai insentif telah ditawarkan Pemerintah China dan Korsel untuk mendorong lebih banyak orang berani menikah. Namun, efek yang diharapkan belum terjadi.
Survei di sejumlah negara yang mengalami penurunan angka kelahiran menunjukkan banyak anak muda menolak menikah atau berkeluarga. Alasannya, sulit mendapat pekerjaan dan biaya hidup yang naik lebih cepat dibandingkan kenaikan gaji. Selain itu, budaya kerja tidak akomodatif jika kedua orangtua bekerja.