Pemimpin negara memandang penurunan populasi ancaman bagi perekonomian. Pakar kependudukan melihatnya sebagai peluang.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
Sejumlah negara mengungkapkan mereka tengah menghadapi ancaman serius. Bukan berupa serangan militer negara lain, melainkan semakin sedikitnya bayi yang dilahirkan penduduknya. Ancaman kian besar karena penduduk yang menua di negara itu semakin banyak.
Korea Selatan, Jepang, dan Singapura adalah negara-negara yang terkini menyampaikan laporan turunnya kembali tingkat kelahiran. Korsel mencatatkan rekor terendah angka kelahiran total (total fertility rate) pada 2023 menjadi 0,72. Artinya, seorang perempuan di Korsel melahirkan tak sampai 1 anak selama masa reproduksinya.
Penurunan terus terjadi selama empat tahun berturut-turut. Jika kondisi ini terus terjadi, diperkirakan penduduk Korsel berkurang setengah dari populasi saat ini dalam kurun 75 tahun mendatang.
Hal serupa terjadi di Jepang yang mengungkap rekor penurunan jumlah kelahiran ke titik terendah sejak Perang Dunia II (1939-1945). Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, jumlah bayi lahir pada 2023 turun sampai 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menteri Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi mengatakan, selama enam tahun ke depan, saat jumlah penduduk berusia muda mulai menurun dengan cepat, menjadi kesempatan terakhir bagi Jepang untuk membalikkan keadaan.
Goshi Hosono, anggota Partai Demokratik Liberal yang berkuasa di Jepang, menyebut rendahnya angka kelahiran sebagai ancaman nasional. ”Jika situasi tidak diatasi, perekonomian akan kehilangan vitalitas dan keamanan sosial sulit dikelola,” katanya.
Adapun Singapura untuk pertama kalinya dalam sejarah mencatatkan angka kelahiran total di bawah 1. Angka itu terus menurun, bersamaan dengan populasi yang kian menua. Meski demikian, masih ada harapan di negara itu karena menurut survei, generasi muda masih berniat menikah dan memiliki anak.
Dua sisi
Dana PBB untuk Aktivitas Kependudukan (UNFPA) dalam laporan State of World Population (SWP) 2023 bertajuk ”The Problem with Too Few” menyebutkan, secara global tingkat kesuburan menurun dari 5 kelahiran per perempuan pada 1950 menjadi 2,3 kelahiran per perempuan pada 2021. Ini mengindikasikan meningkatnya kontrol individu, khususnya perempuan, terhadap kehidupan reproduksinya.
Menurut laporan Time edisi 1 Maret 2024, hingga 1970-an, perempuan di negara-negara paling makmur di Asia, seperti Jepang, Korsel, dan China, rata-rata memiliki lebih dari lima anak. Tren ini jelas amat berbeda sekarang.
Selama 70 tahun terakhir, tingkat kesuburan menurun secara global dengan total penurunan hingga 50 persen. Di negara berperekonomian paling maju, angkanya tinggal 1,6 per anak per pasangan. Untuk menjaga populasi stabil tanpa imigrasi, diperlukan angka kelahiran total minimal 2,1.
Survei di negara-negara yang mengalami penurunan angka kelahiran menunjukkan hal senada. Banyak anak muda menolak menikah atau berkeluarga karena suramnya prospek lapangan kerja, naiknya biaya hidup yang lebih cepat dibandingkan kenaikan gaji, dan adanya kultur perusahaan yang tidak akomodatif jika kedua orangtua bekerja.
Jika situasi tidak diatasi, perekonomian akan kehilangan vitalitas dan keamanan sosial sulit dikelola.
Para pemimpin negara memandang penurunan populasi sebagai ancaman terbesar bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Sebaliknya, para pakar kependudukan melihat hal itu tidak melulu negatif. Mereka menyebutnya sebagai peluang untuk menciptakan sistem yang lebih baik agar bisa beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
”Berkurangnya penduduk, meski tak dikenal pada masa lalu, membawa keuntungan bagi abad ke-21, termasuk untuk perbaikan kesetaraan jender dan penghormatan atas pilihan perempuan,” kata Sarah Harper, Direktur Oxford Institute of Population Ageing, kepada Time.
Secara umum, angka kelahiran cenderung menurun saat sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi dan kelayakan hidup. Tatkala negara menjadi lebih makmur, biaya membesarkan anak meningkat. Perempuan pun semakin banyak yang mengambil bagian dalam menggerakkan perekonomian, peran yang di masa lalu lebih banyak dikerjakan pria.
Menurut Michael Herrmann, penasihat senior pada UNFPA, perempuan lantas harus menjaga keseimbangan tiga aspek saat memiliki anak: kehidupan keluarga dan pekerjaan, pendapatan dan biaya membesarkan anak, serta peluang dan kesetaraan jender. ”Jika sistem masyarakat tidak menjamin peluang yang setara bagi perempuan, mereka pun akan berpikir dua kali untuk punya anak,” ujarnya.
Maka, menurunnya tingkat kelahiran bisa dilihat sebagai kesempatan untuk memacu kemampuan teknologi, produktivitas angkatan kerja, dan mengelola kesehatan untuk mencapai angka harapan hidup lebih panjang.