Ekonomi AS Kecanduan Uang Mudah (1)
Dengan uang mudah dan murah, perbankan mengucurkan kredit secara serampangan.
Sejak zaman Allan Greenspan menjabat Ketua Dewan Gubernur Federal Reserve, Amerika Serikat mencanangkan kebijakan uang mudah. Ekonomi yang sulit tumbuh secara organik jadi penyebab guyuran uang.
Pada Selasa (26/3/2024), bank investasi ING dan media The Financial Timesmenaksir produk domestik bruto (PDB) AS 2024 akan tumbuh di kisaran dua persen. Sementara lembaga konsultansi Ernst&Young pada 22 Maret 2024 menaksir PDB AS akan tumbuh 2,3 persen pada 2024.
Baca juga: Krisis New York Community Bancorp, Sinyal Rapuhnya Sektor Keuangan AS
Otoritas moneter dan ekonomi AS selalu membanggakan pertumbuhan yang dianggap terbaik di antara kelompok negara maju. Padahal, kondisi itu tidak lepas dari peran uang mudah. Istilah itu mengacu guyuran uang dari bank sentral dengan suku bunga rendah atau pasokan uang baru.
Selepas era Greenspan, kebijakan itu dilanjutkan para Gubernur Federal Reserve, mulai dari Ben Bernanke, Janet Yellen, hingga Jerome Powell. Kini muncul istilah, ekonomi AS kecanduan uang mudah.
Memang, para pejabat AS tidak menyinggung peran uang mudah di balik pertumbuhan itu. Hal yang jelas, jika uang mudah itu ditarik, resesi akut parah segera mendera perekonomian AS. Para ekonom dan pelaku pasar sangat paham situasi ekonomi AS yang kecanduan uang murah ini.
Kucuran uang mudah meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan neraca aset sentral AS atau The Fed memperlihatkan pasokan uang yang meningkat lewat pembelian surat-surat berharga pemerintah dan swasta. Uang mudah ini menjadi andalan utama AS dalam menghidupkan perekonomiannya.
Baca juga: Membendung Perekonomian China Mirip Merusak Periuk Sendiri (Bagian 2-Habis)
Ekonomi AS tidak tumbuh organik lewat investasi, konsumsi, dan pengeluaran pemerintah. Laporan The Financial Times dan ING sama-sama menyinggung soal pertumbuhan yang tidak bersumber dari investasi, konsumsi, dan belanja pemerintah tersebut.
Pemudaran ekonomi
Dalam artikel Why the West is losing out to the rest, Niall Ferguson yang merupakan sejarawan pada Stanford University menjelaskan soal pemudaran ekonomi AS dan Barat. Asia menggantikan Barat sebagai lokasi pertumbuhan global. Dulu, riset, inovasi, aturan hukum hingga etos kerja menjadi khas Barat dan melejitkan perekonomian Barat. Kini, semua itu beralih ke Asia.
Dimulai dengan Jepang, lalu Asia lainnya, kini China semakin membuat ekonomi Barat kehilangan fondasi dalam globalisasi. Faktor demografi Asia yang lebih muda turut menjadi penyebab. Pertumbuhan ekonomi Barat secara faktual sulit melampaui aras tiga persen per tahun.
Memang, ada pengecualian untuk AS. Dengan dunia yang terasuki dollarisasi puluhan tahun, Washington dapat terus mencetak uang dollar AS. Tidak terlalu banyak tekanan inflasi walau dollar AS terus dicetak. Sebab, mata uang itu dipakai sebagai alat tukar internasional. Bahkan, Fed memasok dana ke beberapa negara yang kekurangan dollar AS.
Baca juga: Produk Merek-merek Besar Dunia Bertumbangan di China
Seharusnya, penambahan uang baru disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal itu untuk mencegah penambahan uang memicu inflasi.
Khusus AS, pertumbuhan ekonomi global jadi bantalan pencetakan dollar AS. Ini sebuah hak istimewa hasil kekuatan geopolitik AS. Inggris dan beberapa negara lain tidak punya keistimewaan itu. AS bisa mengimpor aneka hal karena bisa mencetak dollar baru dan memakainya sebagai alat pembayaran.
Dulu, Fed tidak terlalu agresif mencetak dollar AS. Fed hanya mematok suku bunga rendah yang hanya berlaku untuk pinjaman Fed ke bank-bank. Belakangan, Fed melanggar ketentuan itu.
Pada 1987-2006, kala AS lesu akibat kalah saing dari Jepang, AS terus mempertahankan suku bunga rendah. Tujuannya mendorong orang menginvestasikan dananya, bukan ditabung di bank.
Baca juga: Suku Bunga Fed Bertahan hingga 2025, Efeknya Relatif Netral
Di awal penerapan suku bunga rendah, tidak ada persoalan. Masalah muncul kala bankir berubah menjadi spekulan. Dengan uang mudah dan murah, mereka mengucurkan kredit secara serampangan. Sebagian kredit tidak diberikan sesuai prinsip kehati-hatian.
Muncul pula pelaku pasar modal, seperti Michael Milken. Ia dikenal sebagai Raja Obligasi Sampah. Ia fokus bertransaksi obligasi yang nyaris tidak dilirik pasar. Obligasi sampah, antara lain, marak karena banyak perusahaan menerbitkan surat utang.
Padahal, tidak jelas fondasi bisnis untuk menopang penerbitan itu. Sebagian perusahaan, seperti Enron, memalsukan laporan keuangan demi mendongkrak harga obligasi.
Bank juga keranjingan menjual obligasi yang tidak jelas penopangnya itu. Para pegawai dan pejabat bank dikucuri bonus besar-besaran jika berhasil menjual obligasi. Tidak peduli obligasi itu sampah bahkan bodong.
Baca juga: Mengapa Super Konglomerat Dunia Ramai-ramai Jual Saham
Kebijakan uang mudah menghasilkan pula lembaga investasi besar, seperti BlackRock, atau investor besar seperti Ray Dalio dan Jeremy Grantham. Aset mereka menggunung dari hasil memutar-mutar obligasi dan aneka instrumen. Semua dimungkinkan iklim uang mudah.
Bahkan, Grantham sekali pun gerah dengan kondisi itu. Ia menyebut, komunitas keuangan AS sebagai ”pengisap darah” karena kebijakan Fed.
Lobi Kongres
Di balik itu, ada lobi masif ke Kongres. Hal itu memungkinkan posisi lembaga keuangan itu seperti inti dari segala kegiatan ekonomi. Bahwa lembaga keuangan adalah hal terpenting sepanjang masa. Jika tidak diberikan uang mudah, ekonomi akan hancur.
Kongres AS sebenarnya pernah mempertanyakan kebijakan uang mudah yang diterapkan Greenspan. Jawaban Greenspan: tidak mengira akan ada kecerobohan pada industri perbankan. Ia juga tidak mengira akan bermunculan para penipu di sektor keuangan.
Greenspan mengatakan, kendali diri seharusnya ada pada setiap pelaku di sektor keuangan. Dengan demikian, pelaku pasar sehingga tidak melakukan tindakan tak terpuji dan penyebab kebangkrutan karena tumpukan utang tanpa keberadaan aset yang jelas.
Baca juga: Membendung Militer China, Langkah yang Mustahil (Bagian 1)
Di sisi lain, ia juga menyebut nasi sudah jadi bubur. Hal buruk telanjur terjadi dan upaya mengatasinya sudah terlambat.
Kongres juga mencecarnya karena mendorong deregulasi keuangan. Kucuran uang ke pasar tidak disertai pengetatan pengawasan. Bahkan, malah ada pelonggaran.
Soal ini, Greenspan berkilah, sistem perbankan seharusnya punya orang yang paling tahu cara menjalankan risiko itu. Pengetahuannya termasuk menghindari risiko bisnis. Sayangnya, kondisi itu tidak terjadi.
Meski beragam skandal terus terjadi, Greenspan tidak mau mengubah uang mudah dan meningkatkan pengawasan. Puncaknya, krisis 2008. Salah satu raksasa industri keuangan, Lehman Brothers, ambruk. Bank investasi itu memborong terlalu banyak obligasi sampah. Bank dan investor berani membeli obligasi sampah karena uang mudah didapat.
Presiden AS Barack Obama heran dengan fakta itu. Ia juga heran berbagai bank yang bangkrut ternyata memberi bonus besar-besaran kepada pejabatnya. Bank-bank yang kecanduan uang mudah itu menghancurkan perekonomian AS. (AFP/REUTERS)
Simon Saragih, Wartawan Kompas 1989-2023