Produk Merek-merek Besar Dunia Bertumbangan di China
Dasar utama kejatuhan merek asing adalah perubahan paradigma bisnis di China. Mereka tak lagi jadi basis manufaktur.
General Motors asal AS pernah merajai pasar China dengan produk otomotifnya selama beberapa dekade. Penjualan di China mencapai 4 juta unit mobil pada 2017, melampaui penjualan GM di pasar AS. Namun, posisi itu telah memudar sejak 2017.
Pada 2023, penjualan GM bersama perusahaan afiliasinya di China tinggal sebanyak 2,1 juta unit, demikian diberitakan The Hong Kong Post, edisi 9 Maret 2024. Nasib serupa dialami Volkswagen (VW), yang sudah turun takhta pada 2023 sebagai penjual mobil terbesar di China.
Produk-produk nonotomotif merek ternama dunia lainnya juga bertumbangan. Lining dan Anta telah menggusur posisi pesaingnya, Nike dan Adidas. Dalam pasar telepon seluler, Huawei telah menggusur Apple. Produk pasta gigi Colgate atau Oral B tidak lagi merupakan produk premium dan pamornya di China kini digantikan produk Yunan Baiyao, perusahaan lokal.
Baca juga: China Ekspansi Pasar Mobil ke Afrika dan Timur Tengah
Haier, penghasil produk elekronik dan peralatan rumah tangga asal China, menjadi pesaing berat bagi Whirlpool, Electrolux, Philips. Untuk jenis minuman ringan, kini hanya Nestle yang masih berjaya, tetapi juga semakin dikejar pesaing lokal, seperti Adopt A Cow, Hisense, dan TCL asal China bahkan menyemarakkan produk televisi global.
Pasar China yang masih didominasi asing adalah produk perawatan kecantikan. Akan tetapi, untuk bisnis ini pun perusahaan kosmetik lokal seperti Colorkey dan Florasis mulai mengancam L’Oreal dan Estee Lauder.
Produk asing lainnya yang masih medominasi adalah produk barang mewah, seperti keluaran Louis Vuitton, Gucci, dan Chanel. Akan tetapi, untuk produk ini pun sudah ada pesaing dari China seperti Goldion, Chow Tai Fook, dan Tse Sui Luen.
Tentu, China tidak bisa menguasai semua produksi. Korporasi multinasional masih optimistis memandang pasar China. Akan tetapi, optimisme tidak lagi meluas seperti dulu. Kini pihak yang optimistis terbatas pada perusahaan-perusahaan cip asal AS.
Frank Meng, Ketua Qualcomm China, sangat antusias dengan pasar China. Meng mengatakan, di bidang industri komunikasi wireless sebagai andalan, Qualcomm berekspansi. Qualcomm terus melayani penjualan cip, suku cadang telepon pintar, komputer, perlengkapan elektronik otomotif mobil, dan produk terkait.
Penjualan merek-merek asing mandek karena tidak mengantisipasi peralihan pasar ke mobil baterai.
Hal serupa dinyatakan Presiden SAP Greater China (afiliasi Jerman) Huang Chenhong, Executive Vice-President Schneider Electric SE untuk wilayah China dan Asia Timur Yin Zheng, serta Ketua dan Manager Umum IBM Greater China Group Chen Xudong. Semua eksekutif ini menyatakan optimisme soal pasar China.
Meski demikian, optimisme ini juga bisa memudar kelak. Keberadaan Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC) dan perusahaan lokal China lainnya berpotensi menjadi ancaman bagi Nvidia dan perancang cip dunia lainnya.
Sangat khawatir
Tidak banyak lagi pihak asing yang optimistis. Tumbangnya penjualan produk merek-merek dunia di China bahkan mencuatkan kesan frustrasi. Kisah yang ada cukup mengkhawatirkan. Untuk kasus GM, perolehan keuntungan yang mencapai 2 miliar dollar AS pada 2018 telah turun menjadi 440 juta dollar AS saja pada 2023. CEO GM Paul Jacobson pada 2023 mengatakan, tantangan memang makin besar dalam penjualan otomotif di China.
Peralihan mesin otomotif dari bahan bakar ke baterai listrik merupakan pukulan terbesar. Istilah media Jerman, Deutsche Welle, sudah agak terlambat bagi asing mengejar China pada bidang ini. ”Penjualan merek-merek asing mandek karena tidak mengantisipasi peralihan pasar ke mobil baterai. Kini, merek asing bahkan kehilangan relevansi,” kata Bill Russo, mantan pemimpin Chrysler di China dan pendiri Automobility, seperti dikutip The Financial Times, 9 Januari 2024.
China adalah pionir utama dalam kendaraan listrik. Perusahaan BYD (Build Your Dream) ada di urutan terdepan. BYD telah mengalahkan Tesla dalam penjualan mobil bertenaga baterai. Keberadaan BYD dan perusahaan lokal China lainnya di bidang mobil listrik sangat menakutkan.
Tiga besar Detroit, markas utama otomotif AS, yakni Ford, Stellantis, dan General Motors, sedang keder. CEO Stellantis Carlos Tavares menjuluki penetrasi otomotif China dengan sebutan ”serangan China”. Tavares menambahkan, perusahaan otomotif juga tidak bisa menyaingi produk China dari sisi harga. Tesla yang terdepan sekalipun kewalahan.
Otomotif Jepang sudah lebih dulu merasakan pukulan. Mitsubishi memutuskan mundur dari pasar China. Suzuki sudah mundur pada 2018 dan fokus ke Afrika dan India. Jeep afiliasi Stellantis telah menutup pabriknya di China dan kini posisinya digantikan BAIC, perusahaan China.
Sentimen lokal
Jika Barat mendengungkan isu decoupling dan derisking tentang relasi ekonomi dengan China, hal lain yang sesungguhnya sedang terjadi adalah tergusurnya merek-merek asal Eropa dan AS. Selama beberapa dekade, merek Barat sangat diuntungkan dengan pasar China yang menggiurkan. Tergusurnya merek asing merupakan hal yang memprihatinkan di tengah meningkatnya jumlah kelas menengah China, yang kini sudah mencapai 500 juta jiwa.
Ada pernyataan dari GM bahwa konsumen China bias dan lebih mengarah ke merek-merek lokal dengan tawaran harga lebih murah. Hal serupa dituliskan Bloomberg dan dinyatakan Nikko Asset Management.
Eng Teck Tan, Senior Portfolio Manager dari Nikko, menuliskan pada 3 Juni 2021, bahwa sikap Barat yang menyudutkan China turut mengalihkan perhatian konsumen China ke merek-merek lokal untuk hampir semua produk. Ada semacam balas dendam konsumen China karena negaranya terus diserang dan disudutkan.
Ada fakta nyata tentang sentimen lokal ini. Harian China Daily, 17 Agustus 2022, menuliskan, ”Sekarang generasi muda China ingin produk yang merefleksikan kultur mereka ketimbang warisan asing yang dianggap sebagai simbol eksklusifisme seperti di masa lalu.” Sentimen lokal ini membuat merek-merek asing turut memberikan sentuhan lokal dalam produk-produk terbarunya. Burberry dan Louis Vuitton kini menawarkan produk dengan nuansa lokal.
Akan tetapi, ada faktor lain di luar sentimen lokal. Dasar utama kejatuhan merek asing adalah perubahan paradigma bisnis di China. Negara ini tidak lagi menjadi basis manufaktur global semata. Sejak 1978, China telah menjadi basis utama produksi global untuk tujuan pasar dunia. Situasi berbalik, kini China tidak lagi menjadi pasar bagi produk-produk merek dunia.
Saat China menjadi pasar bagi merek asing, sementara produksinya tetap dilakukan di China itu sendiri, mendadak ada perubahan orientasi pengusaha China. Melihat untung besar yang diraih merek asing di pasar China, pelaku lokal terhenyak.
Baca juga: China Mencari Jalan Baru Pertumbuhan Ekonomi
Muncul kesadaran tinggi dipicu pertanyaan mendasar. Mengapa produk-produk merek asing laris, padahal pekerjanya adalah buruh China dan produk itu dibuat di China? Mengapa pelaku lokal tidak memakai saja merek-merek lokal China? Demikian pemikiran yang berkembang.
Maka, sejak pertengahan 2010-an, menurut Qiao Ma, Manajer Portfolio pada Cooper Investors Asian Equities Fund, perusahaan-perusahaan lokal di China antusias menjual produk dengan merek China. Hal ini dipadu dengan preferensi konsumen terhadap sentuhan lokal.
Ada argumentasi kuat di balik keberanian perusahaan China dalam menawarkan merek lokal. Ini didasarkan pada teori experience curve (kurva pengalaman). Ketika berperan sebagai basis manufaktur global, perusahaan-perusahaan pemasok di China sudah terbiasa dengan asas quality control yang ketat demi kelanggengan kualitas produk, termasuk pemasaran dan jaringan pasokannya yang juga terjamin.
Jaminan kualitas saat China berperan sebagai pemasok global membuat China menjadi andalan sebagai basis produksi global, kata Qu Hong, CEO Burson Cohn & Wolfe untuk wilayah China. Tradisi kontrol kualitas yang telah didiktekan asing membuat China dengan sendirinya berani memunculkan jenama sendiri karena sudah punya pengalaman kuat.
Selama beberapa dekade, para pekerja di China sudah terbiasa menjadi karyawan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang terkenal dengan kulitas produk dan keandalan manajemennya. ”Selama empat dekade terakhir, korporasi-korporasi multinational telah melatih generasi insnyiur otomotif China. Kini banyak dari generasi tersebut bekerja pada perusahaan lokal yang sangat mampu bersaing,” demikian dituliskan The New York Times, 14 April 2023.
Para pekerja China tidak hanya terlatih di bidang otomotif, tetapi juga dalam berbagai jenis produksi. China tidak lagi sekadar menggusur merek pakaian asing seperti Esprit atau Old Navy. China bahkan mampu memproduksi pesawat jenis C-919 buatan Comac yang jadi pesaing potensial Airbus dan Boeing.
Pasar global
Ucapan para eksekutif korporasi internasional bahwa situasi pasar China telah berubah, sangat mengena. Perubahan terjadi karena pelaku lokal telah mampu menggantikan asing, bahkan lebih gencar mengenali konsumennya. Dalam menawarkan merek lokal, pengusaha China belajar gigih.
Sebuah studi yang didalami The University of Nottingham di Ningbo, China, memperlihatkan sukses pengusaha China didasarkan pada perhatian mereka yang mendetail. Mereka memperhatikan hal-hal terkecil, belajar dari kesalahan agar tidak terulang. Pengusaha China adalah ”pelajar gila”. Mereka membaca buku teks, mendengar mentor bisnis. Mereka bertanya kepada pihak yang gagal, juga gigih meniru pesaing kuat dan siap meniru praktrik terbaik bisnis.
Kegigihan merupakan akar dari kemunculan merek lokal, hingga warga lokal melihat peralihan merek-merek asing ke merek lokal. ”Sebelum 2016, saya tidak pernah terlalu berpikir tentang produk-produk bermerek China asli,” kata Clyde Chen (26), warga China yang pernah belajar dan bekerja lama di Inggris.
”Akan tetapi, kini pemahaman saya tentang eksistensi merek-merek China telah berubah total. Media sosial juga membuat warga lebih mudah menemukan produk lokal yang berkualitas bagus, termasuk dengan rancangan bagus,” katanya.
He Jing, pakar hukum pada Aniie Law Firm pada 14 Januari 2020, kepada televisi CGTN, mengatakan, China bahkan tidak lagi sekadar meniru produk asing. Kini semakin banyak hak kekayaan intelektual yang tercipta di China berkat inovasi. Dengan kata lain, pengembangan produk sesuai selera konsumen lewat inovasi menjadi khas China.
Baca juga: Simalakama Robot-robot China
Efek lanjutan dari semua ini adalah produk dengan merek China tidak lagi hanya berorientasi pasar domestik. Perusahaan dengan merek China juga telah meniru Jepang dan Korea Selatan yang telah lebih dulu melaju dengan produk merek sendiri menuju pasar internasional. Jika Korsel punya Samsung sebagai contoh, China punya Huawei. China kini memiliki banyak produk yang telah go global.
Jika dulu konsumen China memilih merek asing ketimbang merek lokal dengan alasan jaminan kualitas lebih rendah, sekarang hal itu sudah berubah. Ini bukan semata-mata karena sentimen lokal, melainkan pengusahanya juga menawarkan produk berkulitas dengan harga lebih murah.
Ambisi kuat
Kemudian muncul tuduhan asing bahwa Pemerintah China telah bertindak tidak adil dengan subdisi dan preferensi ke perusahaan-perusahaan lokal sehingga membuat pelaku lokal mampu go global. Tidak ada negara yang tidak berniat mengembangkan industri domestik. Bedanya dengan China, niat itu dikembangkan terus dan semakin kencang di era Presiden Xi Jinping.
China sejak lama telah berambisi menjadi pelaku global. Ini terstruktur dan tertanam kuat di benak pemimpin tinggi hingga pemerintahan lokal. Contoh paling nyata adalah perusahaan mobil bertenaga baterai. Kemunculannya adalah pemikiran lama bahwa perusahaan lokal akan sulit menyaingi otomotif dunia jika tidak melakukan terobosan. Maka, sejak 2001 sudah dicanangkan program untuk menciptakan mobil unik, yang kini benar-benar mencengangkan, yakni mobil bertenaga listrik.
Lebih dari itu, China, sebagai negara dengan nuansa kuat di bidang digitalisasi, mendorong digitalisasi dalam setiap produknya sebisa mungkin. Ada sentuhan digitalisasi modern yang luput dilakukan pesaing-pesaing global.
Menambah pamor produk China adalah harganya yang murah. China mampu membuat produk berharga murah karena faktor economic of scale. Skala produksi massal dengan pasar besar dan bertumbuh memungkinkan biaya produk menjadi lebih murah.
China belum puas. Presiden Xi terus menyerukan inovasi agar didalami di setiap bidang. Hal lain, korporasi China diminta agar semakin percaya diri menjual produknya, termasuk dengan memakai tenaga kehumasan untuk memperkenalkan lebih luas merek China ke pasar global. (AP/AFP/REUTERS)