Membendung Perekonomian China Mirip Merusak Periuk Sendiri (Bagian 2-Habis)
Kesalahan utama AS dalam membendung China ialah premis seakan perekonomian hanya berkembang karena peran satu negara/AS.
Sudah terlambat membendung China secara militer. Kekuatan militer China merupakan buah dari pembangunan ekonomi sejak 1978. Adalah salah AS sejak awal karena mendukung pembangunan ekonomi dengan keyakinan China akan berubah menjadi demokratis jika semakin maju. Dengan keyakinan itu AS turut mendorong China masuk ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
Hanya saja, tetap bisa diperdebatkan apakah kemajuan ekonomi China terjadi karena dukungan AS atau karena visi Deng Xiaoping yang pada 1978 memulai reformasi ekonomi.
Meski demikian, AS tetap mencoba membendung China secara ekonomi. Sejak Donald Trump menjabat sebagai presiden pada 2016, AS sangat gencar menghambat impor China lewat pengenaan tarif, yang juga dibalas China. Di bawah Presiden Joe Biden, AS mencoba menghambat aliran produk cip terbaru AS agar tidak masuk ke China.
Baca juga: Ambisi Semikonduktor AS Terhambat Faktor Internal
”Tekanan ekonomi dari Washington sangat satu arah dan malah lebih keras,” kata Joshua Meltzer dari Brookings Institution, seperti dikutip kantor berita Agence France Presse (AFP), 25 Februari 2024. Tekanan diterapkan mulai dari perdagangan, investasi, dan produk cip.
Pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, dalam berbagai simposium berkali-kali mengatakan, tampaknya sudah susah membendung China secara ekonomi, sumber kebangkitan militernya. Alasannya, China hingga tingkat tertentu menjalankan perekonomian berdasarkan mekanisme pasar. Mekanisme ini memiliki tangan tersembunyi (invisible hand, mengutip istilah Adam Smith) yang mendorong gairah kapitalis dunia untuk terus-menerus menaikkan kemakmuran, baik bagi dirinya maupun di negara yang menjadi lokasi investasinya.
Kesalahan utama AS dalam membendung China adalah premis seakan perekonomian itu hanya berkembang karena peran satu negara, yakni AS. Perekonomian negara mana pun di dunia ini tidak tergantung pada kegiatan ekspor-impor semata. Perekonomian satu negara dan kemajuannya juga tergantung pada peran konsumsi warga, investasi swasta dan konsumsi, serta investasi pemerintahan.
Baca juga: Membendung Militer China, Langkah yang Mustahil (Bagian 1)
Perkembangan ekonomi satu negara juga tergantung pada riset dan inovasi di mana China adalah kampiun global dalam hal ini. Jika sistem perekonomian dijalankan lewat mekanisme pasar, apalagi jika diiringi dengan sistem pasar relatif terbuka, asas homo economicus akan mengundang kapitalis dari mana saja untuk datang.
Hingga sekarang, China tetap mengandalkan mekanisme pasar dengan sentuhan komando negara. Para investor global, termasuk AS, tidak melepas kesempatan menggiurkan dari pasar China. Korporasi global juga tidak mau meluputkan peran China sebagai basis jaringan produksi murah.
Baca juga: China Cerdik Mengelola Perekonomiannya dan Masih Jadi Mesin Pertumbuhan Global
Maka, ketika Trump gencar menghambat perdagangan dengan China, ekonom Joseph Stiglitz mengatakan, Trump sungguh tidak paham makna dan pentingnya globalisasi. Ulah Trump hanya akan mengganggu jaringan produksi dan pemasaran global, termasuk mengganggu bisnis korporasi global asal AS.
Ketika Trump gencar menghambat perdagangan dengan China, ekonom Joseph Stiglitz mengatakan, Trump sungguh tidak paham makna dan pentingnya globalisasi.
Tidak heran, saat Pemerintah AS gencar menekan China secara ekonomi, kelompok terdepan yang menolak hal itu adalah korporasi AS. Tekanan AS sama saja dengan menekan perolehan laba korporasi AS.
Kolaborasi global
Kesulitan dalam membendung China terletak pada karakter produksi global sekarang ini, yang tidak lagi dikuasai secara tunggal oleh negara mana pun. Kolaborasi internasional adalah hal penting dalam jaringan produksi global, termasuk produk cip, yang dicoba dihambat AS agar tidak masuk ke pasar China.
Baca juga: China Siasati Larangan Pembelian Semikonduktor AI
Dalam produksi cip, kolaborasi ini sangat jelas. Korporasi AS masih paling andal dengan perancangan cip walau hal itu juga dilakoni negara lain. ASML, perusahaan Belanda, andal dalam litografi, alat cetak cip. Taiwan berperan sebagai foundry, lokasi produksi hampir 90 persen cip global. China juga mendalami semua ini, tetapi hal terpenting: China adalah pasar terbesar dibandingkan dengan negara mana pun di dunia sebagai pasar untuk produk cip.
Penelusuran kantor berita Reuters memperlihatkan, pembendungan aliran produk cip AS ke China nyatanya tidak berhasil menghambat cip buatan AS memasuki pasar China. Pada 15 Januari 2024, Reuters menuliskan badan-badan militer, universitas, dan laboratorium riset milik negara China tetap bisa membeli cip buatan Nvidia meski ada larangan. Sejumlah badan di China telah menekan kontrak pembelian cip buatan Nvidia sebelum larangan diterapkan, termasuk cip untuk keperluan graphics processing units (GPUs).
The Financial Times, 9 November 2023, juga menuliskan, Nvidia mengembangkan cip baru khusus untuk keperluan China. Cara ini menjadi kiat untuk mengatasi larangan ekspor cip asal AS ke China. Nvidia telah mempersiapkan langkah alternatif ini setelah AS di bawah pemerintahan Biden melarang ekspor cip ke China.
Baca juga: Cara China Lolos dari Perang Cip dengan AS
Laporan Reuters, 14 Desember 2023, menuliskan, perusahaan perancang cip milik China, Brite Semiconductor, tetap bisa menjual cip buatan AS kepada enam perusahaan yang memasok cip untuk keperluan militer China. Sebagian saham Brite Semiconductor dimiliki korporasi China, Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC) masuk dalam daftar sanksi AS sehingga tidak bisa memiliki relasi bisnis dengan AS.
Akan tetapi, lewat Brite Semiconductor, China tetap bisa membeli produk AS yang didukung Synopsys dan Cadence Design. Brite Semiconductor bahkan mendapatkan dukungan dana investasi dari lembaga keuangan AS, Wells Fargo. Sulit bagi korporasi AS melepas potensi bisnis dengan China karena pasarnya yang besar.
Rugi sendiri
Graham Allison, pakar politik dari Universitas Harvard, dalam wawancara dengan media China, Global Times, mengatakan, membendung China secara ekonomi telah menyebabkan kerugian lebih besar bagi AS. Sengketa dengan China, apalagi hingga terlibat perang fisik, merupakan hal yang tidak masuk akal. Kolaborasi bilateral hanya merupakan pilihan untuk kemakmuran bersama. Debat di Kongres AS tentang China yang dikesankan mengancam dan harus ditekan merupakan isu yang meragukan manfaatnya walau tetap terus dicuatkan.
Kishore Mahbubani mengatakan dalam wawancara dengan Global Times bahwa pembendungan China secara ekonomi malah bisa memukul tali-temali ekonomi dan tidak menguntungkan siapa pun. Membendung China secara ekonomi serupa dengan menghilangkan sumber rezeki warga dunia. Hal ini malah akan membuat mitra AS berpotensi semakin menjauh jika AS bersikukuh membendung China.
Seperti diberitakan CNBC, 26 Februari 2024, ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Albert Park mengatakan bahwa upaya memutus relasi ekonomi dengan China adalah tindakan berlebihan dan merugikan. Setiap penurunan satu persen pertumbuhan ekonomi China akan menurunkan 0,3 persen pertumbuhan dunia. Ini disebabkan kontribusi China pada pertumbuhan tergolong besar sekitar 18 persen terhadap produksi domestik bruto (PDB) global.
Dalam beberapa tahun terakhir, China merupakan mitra dagang terbesar bagi 120 negara. Pada 2023, untuk pertama kali dalam tujuh tahun terakhir, ekspor China menurun ke beberapa negara. Akan tetapi, China tetap saja menjadi mitra dagang utama dunia.
Untuk tujuan pasar AS, ekspor China menurun dan Meksiko menjadi mitra dagang terpenting bagi AS. Akan tetapi, kenaikan ekspor Meksiko ke AS adalah juga berkat ekspor perusahaan-perusahaan afiliasi China yang memindahkan pabrik ke Meksiko. China jadi bagian terpenting dalam mata rantai produksi dan pasokan global.
Baca juga: Era Keajaiban China Diperkirakan Berakhir, Bagaimana Nasib RI?
Aspek lain yang mencuat dari niat AS untuk membendung ekonomi China adalah AS telah mengkhianati sendiri asas laissez faire. AS sedang tidak aktif dalam keanggotaan WTO, yang mengatur rezim perdagangan global. Akankah dunia mau menuruti ritme AS dengan risiko akan turut jadi korban berupa kerugian ekonomi?
Benua Afrika, dengan arus investasi dan perdagangan yang meningkat dengan China, apakah akan mau menuruti arus AS? Maka, Allison mengatakan, kolaborasi merupakan hal penting untuk keamanan dunia, baik untuk kepentingan ekonomi global.
Tidak agresif
Pandangan lain menyebutkan, untuk apa juga AS perlu amat membendung China, sebab China tidak seagresif Uni Soviet dalam penyebaran ideologi dan juga tidak seagresif kekuatan global tradisional dalam mencaplok wilayah. Kecuali untuk urusan Taiwan dan Laut China Selatan, serta Diaoyu (Senkaku), China tidak tergolong agresif.
Menurut Kenneth Hammond, pakar China dan profesor sejarah dari New Mexico State University, AS, seperti dikutip The Japan Times, Presiden Perancis Emmanuel Macron ada pada posisi tersebut. Bahwa China seiring dengan berjalannya waktu, sejauh ini tidak terlihat agresif. China hanya menjaga dirinya agar tidak diinvasi.
Joseph Nye, profesor emeritus Universitas Harvard, menyatakan, China bukan negara yang sulit dijangkau, tidak seperti Soviet yang melupakan relasi ekonomi. Relasi AS-China adalah relasi penting dan banyak kebaikan yang akan didapatkan.
Adu sistem
Satu pandangan lain menyebutkan, China tidak perlu dibendung. Alasannya, China memiliki sistem yang flaw, tak sempurna, terutama karena kediktatorannya. Sama seperti sistem Uni Soviet yang dulu juga flaw dan telah menjatuhkannya, seperti itu juga China akan jatuh dengan sendirinya.
Akan tetapi, mengharapkan China jatuh sendiri karena AS menilai sistem China tidak sempurna juga masih bisa diperdebatkan. Wang Huning, teknokrat yang diandalkan Xi Jinping, menuliskan buku America Against America.
Ia menuliskan, kapitalisme dan ketamakan tak terkontrol telah menyebabkan AS memiliki dualisme sosial dan ekonomi. Kaum kaya makin kaya dan kaum terpinggir tetap terpinggirkan. Hal ini dilengkapi dengan liberalisasi ekonomi, yang mendorong aksi-aksi spekulasi dan berperan menyebabkan kejatuhan ekonomi AS pada 2008.
Zhang Weiwei, pakar China lainnya dari Fudan University dan pernah menjadi asisten pribadi Deng Xiaoping, menyatakan, AS dan China memiliki sistem yang berbeda. Demokrasi ala AS bukan fondasi yang pas bagi China.
Zhang tidak mengatakan bahwa sistem sosialisme China sebagai yang paling sempurna di dunia, bahkan pernah melakukan banyak kesalahan. Akan tetapi, dengan Partai Komunis yang tahun demi tahun memperbaiki diri dan sistemnya, tetap merupakan jawaban terbaik sebagai fondasi China.
Menurut Zhang, jika sistem AS berpikir soal kemenangan pemilu, sistem China berpikir soal masa depan negara. Jika sistem di AS melahirkan politisi, sistem China melahirkan politisi bersikap negarawan. China tidak melihat sistemnya sebagai akar kegagalan di masa depan.
Akan tetapi, intinya, segala opsi AS untuk membendung China tidak memiliki akar kuat. Ada kritikan lain terhadap argumentasi dasar AS di balik pembendungan China. Ada persepsi bahwa AS merupakan negara yang paling diperlukan dunia.
”AS bisa mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya negara yang sangat diperlukan (menunjukkan bahwa negara-negara lain dapat diabaikan),” kata John Mueller. Sebaliknya, mengapa harus ditolak saat China memproklamasikan dirinya sebagai sebuah kesempatan bagi kemakmuran global.
Polemik tentang pembendungan AS terhadap China menunjukkan dasar pembendungan tidak memiliki dasar kuat. Hal ini akan membuat Asia, yang tidak memiliki pikiran seburuk pikiran AS terhadap China, bisa lega sedikit karena potensi perang amat kecil dan memang tidak berguna. (AFP/AP/REUTERS)
Simon Saragih, wartawan Kompas 1989-2023