Mengganti Pembangkit Diesel dengan Nuklir, Menunggu Niat Kuat Pemerintah
Reaktor nuklir berskala kecil memiliki nilai kompetitif tinggi bila dibandingkan dengan pembangkit bertenaga diesel.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO, DARI SOCHI, RUSIA
·3 menit baca
Sochi, Kompas – Pasca Covid-19, dunia kembali berpacu untuk mendongkrak kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Target yang dicanangkan pun tidak main-main, yaitu setidaknya menyamai pertumbuhan sebelum pandemi melanda. Untuk menunjangnya, dibutuhkan pasokan energi yang tinggi.
Di sisi lain, dunia pun sepakat bahwa pemenuhan akan energi harus memperhatikan pula target global tentang nol emisi. Hal ini bukan perkara mudah lantaran untuk memacu kebutuhan energi pascapandemi, sejumlah negara – termasuk sejumlah negara maju – justru memacu pembangkit listrik tenaga uap (batu bara).
Kondisi itu memantik percepatan pengembangan sumber pasokan alternatif yang lebih ramah lingkungan, yaitu energi berbasis nuklir. Wacana itu menjadi benang merah Atomexpo 2024 yang digelar pada Senin (25/3/2024) hingga Selasa (26/3/2024) di Sochi, Rusia. Sejumlah lembaga di Indonesia, seperti Badana Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PT PLN, dan Kementerian ESDM mengirim sejumlah wakil dalam pertemuan tersebut.
Dalam kesempatan itu, BRIN yang diwakili oleh Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir, Topan Setiadipura turut mempresentasikan pengembangan kajian reaktor nuklir di Indonesia. Proyek yang dinamai PeLUIt-40 itu merupakan proyek pengembangan sistem produksi hidrogen nol emisi. “Target dari pengembangannya, di antaranya adalah de-dieselisasi serta kogenerasi produksi hidrogen sebesar 1.78 kton per tahun,” kata Topan dalam presentasi di depan ratusan peserta yang menghadiri seminar bertajuk Energy Track Generation IV: already a reality.
Ditemui seusai mengikuti seminar, Topan menjelaskan berbeda dari sejumlah negara yang kini tengah mengembangkan reaktor dengan kapasitas besar, BRIN justru mengajukan pengembangan reaktor kecil berdaya 10 megawatt. “Targetnya adalah untuk menggantikan pembangkit listrik bertenaga diesel yang berada di daerah-daerah terpencil,” kata Topan.
Sejauh ini kajian tentang pengembangan reaktor kecil modular itu masih terus dilakukan. Topan lebih lanjut menjelaskan, biaya yang pernah diajukan ke Bappenas untuk membangun sebuah reaktor kecil itu adalah Rp 2 triliun. Menurutnya dengan kapasitas ekonomi Indonesia saat ini, dan dirancang dibiayai lewat mekanisme tahun jamak (multi years), rancangan itu tidak membebani keuangan negara.
Dengan target menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel, nilai produksi reaktor kecil tersebut menurut Topan cukup kompetitif. Setidaknya harga jual per kwh listrik produksi reaktor yang dikembangkan BRIN mencapai 12 sen. Sementara itu, harga jual listrikk produksi pembangkit tenaga diesel mencapai 24 sen per kwh, bahkan lebih.
Di sisi lain, pengembangan reaktor generasi IV yang dikaji oleh BRIN memiliki tingkat keamanan tinggi. Bila terjadi insiden, reaktor tersebut memiliki mekanisme pengamanan yang mampu mengisolasi kerusakan serta memiliki mekanisme pendinginan alami. Tidak mengherankan bila di sejumlah negara, khususnya Rusia dan China, reaktor modular generasi IV ini terus dikembangkan.
Dalam konteks tersebut – merujuk sejumlah nara sumber lain dalam pameran itu – dukungan pemerintah menjadi faktor utama yang menentukan. Maxim Bystrov, Chairman of the board of NP Market Council association mengatakan, pengembangan energi nuklir memerlukan tiga faktor kunci. Ketiga faktor kunci tersebut adalah dukungan pemerintah, visibilitas ekonomi, dan entitas bisnis yang nantinya menyerap produk listrik (voluntary purchasing).
Dalam praktik pengembangan energi terbarukan di Vietnam, Hoang Nghiem dari Saigon Asset Management menegaskan hal serupa. Pemerintah Vietnam menurut Hoang memberi insentif pada pengembangan energi surya dan bayu.
Di Indonesia, yang memiliki sekitar 17.000 pulau, pengembangan reaktor nuklir kecil dengan kapasitas 10 Mw sangat terbuka. Secara ekonomi, fakta tersebut merupakan potensi luar biasa. Bila merujuk pernyataan Dirjen Rosatom, Alexey Likhachev bahwa pengembangan teknologi nuklir, termasuk reaktor kecil modular, adalah masa depan bersama, tentu Indonesia adalah bagian dari masa depan yang prospektif.
Saat ini tergantung pada pemerintah sejauh mana dan sebesar apa niat mewujudkan ketahanan energi nasional.