Perahu Rohingya Terus Berdatangan, Pemerintah Perlu Susun Penanganan Pengungsi
Perahu-perahu pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Indonesia. Pemerintah perlu menyusun rencana penanganan mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dinilai perlu segera menyusun rencana penanganan pengungsi sampai ke level daerah. Tiadanya peraturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri membuat pemerintah tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat saling lempar ketika kasus kedatangan pengungsi Rohingya di wilayah Indonesia terus berulang.
Wakil Indonesia di Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum mengatakan, Kamis (21/3/2024), Indonesia kini satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi tujuan pengungsi Rohingya. Mereka tidak lagi bisa berlindung ke Malaysia dan Thailand.
Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Indonesia semakin sering menjadi tujuan pengungsian warga Rohingya yang datang dengan perahu-perahu. Krisis pengungsi Rohingya menjadi isu kawasan setelah hampir satu juta warga Rohingya pada 2017 meninggalkan Negara Bagian Rakhine akibat aksi kekerasan militer Myanmar.
Sebagian besar dari mereka kini menghuni kamp pengungsi di Bangladesh. Namun, tak sedikit dari mereka tidak tahan dengan kondisi di kamp-kamp pengungsian di negara itu dan memilih perjalanan sangat berisiko melalui laut. Mereka secara bergelombang naik perahu dan mencari tempat pengungsian lain di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kabar terbaru, Rabu (20/3/2024), kapal pengangkut pengungsi Rohingya tenggelam di perairan Aceh Barat. Kapal itu mengangkut 142 pengungsi Rohingya, kelompok etnis asal Myanmar. Peristiwa ini terungkap berkat laporan nelayan yang menyelamatkan enam korban.
Baca juga: Kapal Rohingya Terbalik di Laut Aceh, Puluhan Pengungsi Belum Ditemukan
Hingga Kamis (21/3/2024) malam, total 75 orang telah diselamatkan oleh nelayan dan Basarnas. Sekretaris Lembaga Panglima Laot/Lembaga Adat Laut Kabupaten Aceh Barat Nanda, dihubungi dari Banda Aceh, mengatakan, nelayan Aceh Barat berusaha menolong dengan mengevakuasi pengungsi itu ke kapal, tetapi karena kapasitas kapal nelayan kecil, hanya beberapa orang yang bisa diangkut.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Nuke Pudjiastuti, menyatakan, tenggelamnya kapal pengungsi Rohingya di Aceh amat memprihatinkan. Pemerintah dinilai perlu segera menyusun rencana penanganan pengungsi sampai ke level daerah.
”Sayangnya, di lapangan masih terjadi lempar-lemparan tanggung jawab antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Ini disebabkan tidak adanya peraturan turunan dari Perpres No 125/2016,” kata Nuke yang meneliti bidang migrasi internasional.
Sayangnya, di lapangan masih terjadi lempar-lemparan tanggung jawab antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
Menurut dia, Indonesia tidak bisa menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Meskipun Indonesia bukan negara penanda tangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, Pasal 28 Huruf g Undang-Undang Dasar 1945 mengakui hak untuk mencari suaka bagi semua orang. Kewajiban melindungi pengungsi juga ditegaskan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Sekretaris Panglima Lembaga Adat Laut Aceh Azwir Nazar mengatakan, hukum adat mengharuskan nelayan Aceh untuk menolong orang yang terkena musibah di laut tanpa pandang bulu apa pun warna kulitnya dan apa pun agamanya. Kewajiban untuk mengutamakan nyawa manusia itu tegas dan jelas.
”Tak hanya menolong di laut lalu selesai, adat juga mengharuskan kami membawa orang yang terkena musibah itu ke kampung dan merawatnya selama tiga hari. Kami wajib memberi makan dan membantu hal lain jika diperlukan,” kata Azwir saat dihubungi dari Jakarta.
Baca juga: Tragedi Rohingya di Dekat Kita
Namun, belakangan banyak nelayan Aceh mengeluh karena mereka tidak bisa melaut selama berminggu-minggu setelah menolong pengungsi Rohingya. Hal ini tidak terlepas dari proses pelaporan penemuan pengungsi ke pihak berwenang amat berbelit dan memakan waktu panjang.
”Harapan kami pemerintah bisa langsung ambil alih penanganan setelah pengungsi Rohingya dibawa nelayan ke darat. Nelayan tidak bisa cari makan kalau selama berminggu-minggu harus berada di darat untuk mengurus pengungsi,” ujar Azwir.
Selain itu, insiden pemindahan paksa pengungsi Rohingya oleh ratusan mahasiswa di Banda Aceh pada akhir 2023 juga memancing perdebatan warga. Narasi kebencian terhadap Rohingya berkembang secara masif di media sosial.
”Saat ini nelayan dilanda dilema. Kalau menolong pengungsi Rohingya nanti dituduh macam-macam, tetapi kalau tidak menolong sama saja membunuh hati nurani,” ucap Azwir.
Nuke menilai, dilema penanganan pengungsi Rohingya di Aceh seharusnya tidak akan terjadi jika ada peraturan turunan yang jelas dari Perpres No 125/2016. Jangan sampai nelayan merasa takut untuk menolong orang Rohingya dan jangan sampai pemerintah merasa gamang untuk membantu penanganan pengungsi.
”Kita tidak bisa tetap (membiarkan masalah Rohingya di Aceh) begini-begini saja,” ucap Nuke.
Akar masalah
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal mengatakan, situasi di Myanmar yang menjadi akar masalah pengungsi Rohingya harus diselesaikan. Negara-negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 juga perlu mengambil peran sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang telah mereka sepakati.
Terdapat sekitar 1.600 orang Rohingya di Aceh per 10 Desember 2023. Mereka tersebar di Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe (Kompas.id, 10/12/2024),
Yuyun menyebut Indonesia saat ini satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi tujuan pengungsi Rohingya. ”Jangan sampai Indonesia menutup perbatasan, apalagi memukul mundur kapal pengungsi Rohingya, seperti yang dilakukan negara-negara lain. Itu sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang selama ini kita terapkan,” katanya.
Pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh berasal dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, salah satunya adalah Cox’s Bashar. Kondisi di Cox’s Bashar semakin tidak memungkinkan para pengungsi Rohingya untuk hidup. Sebagian dari mereka berduyun-duyun datang ke Aceh dengan naik kapal.
Baca juga: Rohingya dan Komitmen Indonesia Lindungi Pengungsi Dunia
”Situasi ini akhirnya dimanfaatkan sindikat perdagangan orang dan penyelundup manusia untuk memancing di air keruh. Mereka mencari keuntungan ekonomi dengan memberangkatkan pengungsi Rohingya ke Aceh,” ujarnya.
Nuke menilai, Indonesia dan Australia sebagai Co-Chair Bali Process seharusnya bisa mengambil peran vital terhadap upaya penyelesaian masalah di Cox’s Bashar. Bali Process adalah forum kerja sama internasional untuk mengatasi perdagangan orang. Anggotanya ada 48 negara, salah satunya adalah Bangladesh.
Ia menambahkan, Indonesia punya pengaruh sangat besar di ASEAN. Semestinya Indonesia bisa mendorong agar persoalan pengungsi masuk dalam pembicaraan di AICHR. ”AICHR seharusnya bisa bicara soal Rohingya sebagai sebuah lembaga untuk memengaruhi kebijakan ASEAN agar akar masalah di Myanmar bisa diselesaikan,” ucap Nuke.
Persoalan krisis Rohingya sangat kompleks. Myanmar, negara tempat mereka dulu tinggal sebelum mengungsi ke Bangladesh, masih dilanda konflik bersenjata pascakudeta militer 2021. Sudah hampir tujuh tahun ASEAN tak berdaya menyelesaikannya. Begitu pun organisasi-organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahkan badan-badan pengungsi.
Repatriasi warga Rohingnya, formula yang ditetapkan ASEAN, pun tak bisa dijalankan karena tiadanya jaminan keamanan dari otoritas di Myanmar. Belum sempat repatriasi dijalankan, Myanmar—lokasi asal krisis Rohingya mencuat—saat ini dilanda kekacauan. Sementara Bangladesh, dengan menampung lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya, sudah kewalahan.