Lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya membanjiri Aceh. Saat perhatian tertuju ke Gaza, ada tragedi kemanusiaan di dekat kita.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Gelombang pengungsi Rohingya di Aceh sepekan terakhir ini menjadi salah satu kedatangan terbesar sejak mereka menjadi korban dalam kekerasan militer Myanmar pada Agustus 2017. Mereka mendarat di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara.
Seperti diberitakan, para pengungsi Rohingya itu datang secara bergelombang dalam beberapa kapal sejak Selasa dan Rabu (14-15/11/2023), lalu Kamis dan Minggu. Jumlah mereka, termasuk yang ditolak di Aceh Utara, 1.082 orang.
Kedatangan pengungsi sebanyak itu tidak hanya membuat aparat kewalahan, tetapi juga sudah menimbulkan konflik sosial. Di Aceh Utara, warga setempat menolak 249 pengungsi Rohingya yang datang pada Kamis. Setelah kebutuhan logistik mereka dibantu, kapal mereka didorong ke tengah laut dan pengungsi Rohingya dipaksa naik lagi ke kapal.
Inilah salah satu episode tragedi kemanusiaan paling memilukan yang dialami pengungsi Rohingya. Saat perhatian di Tanah Air akhir-akhir ini tersedot pada penderitaan warga Palestina di Gaza akibat gempuran Israel, tragedi pengungsi Rohingya tak kalah menyentak relung kemanusiaan kita.
Jika warga Palestina belum punya negara merdeka, status warga Rohingya tak diakui oleh negara mana pun. Mereka adalah warga tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Jika warga Palestina belum punya negara merdeka, status warga Rohingya tak diakui oleh negara mana pun. Mereka adalah warga tanpa status kewarganegaraan (stateless) .
Para pengungsi Rohingya itu terusir dari kampung halaman di Myanmar, negeri yang tak mengakui status kewarganegaraan mereka, lalu terdampar dan hidup terlunta-lunta di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Upaya mengadu peruntungan di negara lain pun tak bersambut, seolah tak ada tanah di bumi ini yang mau menerima kehadiran mereka.
Rakyat Aceh selama ini dikenal bersimpati dan menolong pengungsi Rohingya yang datang. Namun, setelah sekian lama, muncul persoalan. Sebagian mereka, menurut pejabat desa di Aceh Utara, meninggalkan tempat-tempat penampungan. Ada dugaan, seperti kasus yang diungkap kepolisian di Aceh Timur, Senin (20/1/2023), ada tindak pidana perdagangan orang.
Persoalan krisis Rohingya sangat kompleks. Myanmar, negara tempat mereka dulu tinggal sebelum mengungsi ke Bangladesh, masih dilanda konflik bersenjata pascakudeta militer 2021. ASEAN, termasuk setelah hampir setahun diketuai Indonesia, tak berdaya menyelesaikannya.
Repatriasi warga Rohingnya, formula yang ditetapkan ASEAN, pun tak bisa dijalankan. Bangladesh, dengan menampung lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya, kewalahan. Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi bulan lalu menyebut, tahun ini baru terpenuhi 40 persen dana bantuan untuk Rohingya, anjlok tajam dari tahun-tahun sebelumnya saat tersedia 60-70 persen dana bantuan bagi Rohingya.
Belum ada titik terang, bagaimana krisis Rohingya akan dituntaskan. Namun, atas nama kemanusiaan, tidak seharusnya pengungsi Rohingya disia-siakan.