Penganggur Berlimpah, Gen Z Lelah dan Gerah pada Pameran Kemewahan di Media Sosial
Khalayak merasa pemengaruh media sosial tidak hidup di dunia mayoritas orang. Ada gerakan ”de-influencing”.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Pamer kemewahan menjadi bagian tidak terpisahkan dari media sosial. Fakta ada jutaan penganggur di antara mereka membuat generasi Z lelah dan gerah dengan pameran itu. Produsen perlu menimbang ulang strategi pemasaran mereka. Apalagi, ada gerakan de-influencing.
Dalam laporan Yahoo News pada Sabtu (16/3/2024), 53 persen generasi Z kini memilih mengonsumsi sesuatu berdasarkan rekomendasi orang biasa. Sementara 43 persen generasi Z atau Gen Z menganggap kekuatan pemengaruh (influencer) sudah berkurang pada Gen z.
”Dulu saya suka mereka. Lalu, saya sadar betapa tidak realistisnya setiap hari hanya ke pusat kebugaran atau membeli berbagai hal mahal. Saya sadar, kebanyakan orang di sekitar saya kesulitan untuk hidup sederhana sekalipun,” kata Emma (16) kepada majalah Vogue.
Majalah gaya hidup itu melaporkan, pada 2022, sebanyak 28 persen pengguna Tiktok mengaku membeli karena terpengaruh oleh para pemilik akun besar di pelantar itu. Sekarang, semakin sedikit orang membeli barang-barang yang dipromosikan para pemengaruh itu.
Padahal, menurut Goldman Sach, banyak produsen dan pemilik merek mengeluarkan 21 miliar dollar AS untuk membayar pemengaruh pada 2023. Para pemilik jenama dan produsen yakin, pemasaran dengan menggunakan pemengaruh media sosial masih penting.
Betapa tidak realistisnya setiap hari hanya ke pusat kebugaran atau membeli berbagai hal mahal. Saya sadar, kebanyakan orang di sekitar saya kesulitan untuk hidup sederhana sekalipun.
Dalam jajak pendapat lain, hingga 87 persen pengguna media sosial AS membeli sesuatu berdasarkan tinjauan di media sosial. Materi tinjauan bisa jadi dari pemengaruh atau orang biasa.
Pesiar mewah
Meski demikian, fenomena pada awal Maret 2024 dapat menjadi perhatian terkait cara pemasaran itu. Salah satu perusahaan komestik Amerika Serikat membayar 30 pemengaruh untuk jalan-jalan. Para pemengaruh itu mengunggah video mereka dalam jet pribadi, penginapan mewah, dan aneka hal mahal lain.
Tentu saja, jenama dan produk komestik sponsor berulang kali ditampilkan dalam video-video itu. Sebab, demikianlah cara kerja pemasaran dengan memanfaatkan pemengaruh.
Ternyata, komentar di video-video itu malah menunjukkan kemarahan. ”Mereka berleha-leha, kita susah payah bekerja”. ”Berhenti menonton para pemengaruh”. Demikian sebagian komentar video itu. Akun-akun pengomentar rata-rata milik Gen Z dan milenial muda.
Intinya, orang-orang merasa diperas agar para pemengaruh itu bisa hidup mewah. Para pemengaruh mempromosikan barang-barang mahal. Padahal, orang-orang sedang kesulitan, antara lain akibat inflasi tinggi di AS dan sejumlah negara.
Kemarahan itu diungkap saat puluhan juta orang di AS kesulitan akibat lonjakan inflasi. Mengacu pada data Organisasi Buruh Internasional (ILO), 5,3 persen angkatan kerja global 2024 menganggur.
Di China, setidaknya 13 juta generasi muda jadi penganggur. Sebagian amat frustrasi karena tidak kunjung diterima kerja meski sudah mengirimkan ratusan lamaran. Di sejumlah negara lain, fenomena itu juga terjadi.
Mereka yang sudah bekerja pun senantiasa merasa terancam. Sejumlah perusahaan terus memecat pekerja karena berbagai alasan. Perusahaan rintisan, tempat kerja impian banyak Gen Z dan milenial, paling kerap memecat pekerja.
Fakta itu membuat cara pemasaran dengan memanfaatkan pemengaruh menjadi tidak relevan. Para pemengaruh menyajikan gaya hidup mewah. Sementara kebanyakan pengguna media sosial hidup susah payah.
Pengajar komunikasi pada Boston College, Michael Serazio, menyebut bahwa khalayak merasa diabaikan dengan cara pemasaran yang melibatkan pemengaruh. ”Orang biasa atau konsumen yang kecewa juga bisa memengaruhi pola konsumsi lewat tinjauan mereka. Sebab, tinjauan mereka dianggap lebih berkaitan dengan kebanyakan orang,” ujarnya.
Orang biasa membuat tinjauan berdasarkan pengalaman. Pemengaruh membuat tinjauan atau sekadar unggahan yang mencantumkan jenama karena dibayar.
Video dan aneka unggahan pemengaruh di media sosial bisa jadi cepat tersebar dan dilihat banyak orang. Walakin, tidak berarti penyebaran itu berdampak baik untuk penjualan.
Khalayak malah merasa pemengaruh itu tidak hidup di dunia yang sama dengan kebanyakan orang. ”Sulit merasa terhubung dengan orang-orang yang mudah ke sana sini dengan penuh kemewahan, sementara kita hidup susah payah setiap hari,” ujar Serazio.
Kemarahan orang-orang tidak hanya ditunjukkan lewat komentar di unggahan pada pemengaruh. Sebagian juga membuat unggahan yang mengajak orang berpikir ulang sebelum membeli aneka hal yang dipromisikan pemengaruh. Fenomena itu dikenal sebagai de-influencing.
Analis media sosial pada Ruby Media Group, Kris Ruby, menyebut fenomena itu memberi pendapat tandingan atas aneka promosi dan dukungan di media sosial. ”Sebenarnya sama-sama memengaruhi khalayak untuk melakukan sesuatu,” ujarnya kepada CNN. (AFP/REUTERS)