Sudah Jelas Pemenangnya, Kenapa Pilpres Tetap Penting bagi Putin?
Mencapai target kemenangan dalam pilpres di negara seperti Rusia tampaknya mudah. Namun, sebenarnya tidak.
Pemilihan presiden Rusia memasuki hari kedua, Sabtu (16/3/2024). Presiden Vladimir Putin yang maju kembali tak diragukan lagi akan memenangi pertarungan dan berkuasa untuk periode kelima. Namun, mengapa pemilu ini penting untuk tetap digelar?
Pemungutan suara berakhir pada Minggu (17/3/2024) malam waktu Moskwa. Suara yang masuk akan langsung dihitung. Penyelenggara pemilu mengharapkan partisipasi pemilih yang besar, terbukti dengan beragam kampanye untuk menarik mereka datang ke tempat pemungutan suara.
Baca juga: Rakyat Rusia Memilih Presiden, untuk Apa?
Meski sudah jelas hasilnya, pemilu ini tetap signifikan bagi Putin untuk memperkuat legitimasi dan memperbarui kembali citranya sebagai simbol keamanan dan stabilitas. The New York Times edisi 14 Maret 2024 menyebutkan, citra itu sempat memudar saat perang di Ukraina berubah menjadi pukulan bagi Rusia karena mengakibatkan jumlah korban besar, mengoyak relasi dengan Barat, dan menuntun pada represi domestik yang lebih keras.
”Kremlin perlu menunjukkan dukungan populer yang besar, dan bahwa dukungan itu telah meningkat sejak dimulainya perang,” kata Nikolay Petrov, ahli politik Rusia pada German Institute for International and Security Affairs di Berlin, seperti dikutip New York Times.
Sebenarnya sejak Uni Soviet runtuh pada 1991, Rusia telah menggelar sejumlah pemilu. Kremlin mengandalkan aneka pengungkit sosial, geografis, dan teknis untuk menjamin kandidat yang didukungnya mendapat mayoritas mutlak.
Putin pun menikmati dukungan besar, tetapi Kremlin tetap berupaya menunjukkan Putin mendapat lebih dari 50 persen suara dalam pemilu. Itu artinya, untuk pemilu tahun ini, dia harus meraup setidaknya 56 juta suara.
Kremlin perlu menunjukkan dukungan populer yang besar dan bahwa dukungan itu telah meningkat sejak dimulainya perang.
Brian Michael Jenkins, penasihat senior untuk Presiden RAND, dalam laman lembaga itu menyebutkan, pada pemilihan presiden tahun 2000, Putin mendapatkan 53 persen suara. Tahun 2004, ia memperoleh 72 persen suara. Saat maju kembali pada pilpres berikutnya tahun 2012, Putin meraih 60 persen suara. Terakhir pada pilpres 2018, ia mengantongi 77 persen suara. Sebelum pemilu, lembaga survei di Rusia menempatkan tingkat persetujuan untuk Putin pada angka 80 persen.
Menurut Jenkins, pemilu di Rusia bukan sebuah kontes, melainkan afirmasi atau penegasan bagi otoritas Putin. Kemenangan dalam pilpres ini menunjukkan posisi Putin dalam komando total.
Dengan perang yang masih berlangsung di Ukraina dan memasuki tahun ketiga, pemilihan presiden kali ini menjadi kendaraan untuk menyampaikan sejumlah pesan. ”Pertama, Putin tetap berkuasa. Meski ada tantangan terhadap kepemimpinannya, seperti pemberontakan oleh Yevgeny Prigozhin atau aspirasi (oposisi) Alexei Navalny, Putin masih tetap paling berkuasa,” sebut Jenkins.
Pesan kedua, lanjutnya, adalah perang Ukraina akan terus berlangsung. Hal itu sudah terlihat saat Putin mengumumkan pencalonan diri kembali sebagai presiden. Pengumuman dikeluarkan menyusul upacara penghargaan medali tertinggi untuk kepahlawanan bagi para prajurit Rusia yang berperang di Ukraina.
Baca juga: Dunia Menunggu Langkah Putin Pascapilpres Rusia
Kala menyerahkan medali, seorang komandan pasukan di wilayah Donetsk yang dikuasai Rusia mengatakan ingin memilih dalam pemilu dan Putin sebagai presidennya. Dalam pidato kenegaraan pada 29 Februari, Putin juga menyatakan yakin akan memenangi perang di Ukraina.
”Ketiga, visi Putih lebih besar lagi—kultur perang global. Gambaran Putin soal perang global bukanlah tentang tank-tank Rusia yang menggelinding di Eropa Timur, apalagi nuklir. Berdasarkan visi Putin, Rusia tidak hanya membela diri sendiri, tetapi nilai-nilai konservatif tradisional melawan pretensi imperialis Barat,” papar Jenkins.
Bagian dari visi ini adalah penegasan kembali persekutuan semasa Perang Dingin. Jenkins berpendapat, persekutuan itu juga merefleksikan penyusunan kembali aliansi ekonomi, terutama sejak Barat menjatuhkan aneka sanksi terhadap Rusia pasca-invasi ke Ukraina.
Barat juga dinilai mengganggu proses pemilihan presiden Rusia kali ini. Kantor berita Rusia, TASS, pada Sabtu melaporkan, negara-negara Barat menyerang sumber daya pemilihan presiden Rusia yang diadakan secara daring. Duta Besar Rusia untuk Amerika Serikat Anatoly Anotov mengatakan, para peretas menyerang sistem pemungutan suara daring dengan bantuan negara-negara Barat. “Apakah itu sesuai ungkapan ideal seperti apa demokrasi Barat dan yang diikuti mayoritas global?” sebut Antonov melalui kanal Telegram.
Ketua Komisi Pemilu Pusat Rusia Ella Pamfilova mengatakan, sistem pemilihan Rusia mengalami serangan peretas yang bertujuan mengganggu pemilihan presiden.
Thomas Graham, peneliti pada Council on Foreign Relation, dalam tulisan di laman lembaga itu edisi 7 Maret 2024, menyebutkan, mencapai target kemenangan dalam pemilihan presiden di negara seperti Rusia tampaknya mudah. Namun, sebenarnya tidak. Tantangannya adalah merayu para pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara dan memberikan suaranya. Ini penting untuk menunjukkan dukungan mereka bagi Putin dan berbagai kebijakannya.
The Moscow Times, Kamis (14/3/2024), menyebutkan, banyak acara bebas dan gratis yang diadakan hingga 17 Maret seperti wahana bianglala di Omsk, Siberia; undian berhadiah ponsel Apple Iphone 15 dan alat menata rambut untuk warga Altai; roti gulung dan bubur gratis selama tiga hari untuk wilayah Tomsk; serta undian 20 sepeda motor, 45 apartemen, 2.000 ponsel cerdas buatan China, dan 100 mobil produksi Moskvich bagi warga wilayah Sverdlovsk.
Sejak tahun lalu, menurut Graham, Kremlin telah mempersiapkan pemilu ini. Mereka memberi tugas kepada kepala pemerintahan lokal di 98 wilayah, distrik, republik, dan kota-kota federal untuk memastikan partisipasi pemilih yang tinggi. ”Jika semua berjalan sesuai rencana, seperti pada pemilu sebelumnya, pemilu kali ini akan menegaskan dukungan penuh bagi Putin di mata kalangan elite dan menunjukkan kemampuan elite memobilisasi rakyat demi tujuan negara,” papar Graham.
Baca juga: Pilpres Rusia, Putin Melenggang Tanpa Oposisi
Ia menegaskan pendapat para pakar bahwa kesatuan nasional di belakang Putin akan memberikan dia legitimasi lebih jauh kala berhadapan dengan Ukraina dan Barat. Dukungan itu bahkan perlu ditunjukkan di empat wilayah Ukraina yang telah direbut Rusia selama invasi, yakni di Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaphorizhia.
Mantan diplomat Rusia, Boris Bondarev, kepada harian Al Jazeera, Sabtu, mengatakan, Putin ingin menang telak dalam pemilu ini karena akan memberinya mandat untuk melanjutkan semua kebijakannya, termasuk perang di Ukraina.
Kemenangan telak akan membuktikan rakyat Rusia sepenuhnya mendukung perang itu dan memungkinkannya mengambil tindakan yang tidak populer, termasuk ”operasi militer gelombang kedua”. Putin kemungkinan akan mengumpulkan pasukan lagi untuk menerobos pertahanan Ukraina dan merebut Kharkov, Odesa, bahkan mungkin Kyiv. ”Kremlin sadar mayoritas rakyat Rusia tidak antusias dengan perang,” ujarnya.
Para pemilih Putin, kata Bondarev, memilih bukan karena mereka mendukung semua kebijakannya, melainkan karena bagi mereka, Putin adalah simbol stabilitas dan satu-satunya harapan situasi akan membaik. Masih sulit bagi sebagian rakyat untuk bisa mengaitkan presiden dan kebijakannya dengan memburuknya situasi di Rusia.
Baca juga: Pemilihan Presiden Rusia yang Pasti Dimenangi Putin
”Mereka cenderung mengasosiasikan standar dan keadaan hidup mereka secara langsung dengan pemerintah setempat, paling banyak dengan para gubernur. Putin secara pribadi selalu berada di atas angin,” kata Bondarev.
Karena sudah jelas Putin akan menang, segala kebijakannya dipastikan berlanjut. Peneliti senior pada Institut Studi Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial China, Zhang Hong, mengatakan, konfrontasi antara Rusia dan Barat juga akan terus berlanjut.
Rusia akan terus memfokuskan perhatian ke belahan dunia bagian Timur karena Barat dianggap tak bersahabat. Rusia bahkan menyadari meningkatnya ketegangan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara.
Kalaupun, misalnya, tercapai gencatan senjata Rusia-Ukraina, tidak mungkin Barat akan mencabut sanksi terhadap Rusia dalam waktu singkat. Karena itu, Rusia masih perlu mencari lebih banyak pasar untuk mendukung pembangunan ekonomi yang stabil.
Senada dengan Zhang, Wang Xiaoquan, pakar dari Institut Studi Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah di Akademi Ilmu Sosial China, mengatakan, Rusia memperkuat hubungan dengan negara lain, seperti China, India, dan negara-negara Islam, untuk memperkuat rantai pasokan. Dengan mengalihkan perhatian ke Timur, kata Wang, Rusia akan memengaruhi pola energi, keuangan, dan geoekonomi dunia.