Rakyat Rusia Memilih Presiden, untuk Apa?
Warga memilih Putin bukan karena mengidolakan dia, melainkan karena tidak ada pilihan lain.
MOSKWA, JUMAT — Pemilih Rusia mulai memberikan suara dalam pemilihan presiden yang berlangsung tiga hari. Kandidat petahana, Presiden Vladimir Putin, dipastikan menang pemilu lagi dan memperpanjang kekuasaannya setidaknya enam tahun lagi. Putin memegang kendali penuh atas sistem politik dan tidak ada kandidat presiden yang bisa menang menghadapinya.
Para pemilih memberikan suaranya mulai Jumat (15/3/2024) hingga Minggu (17/3/2024) di sekitar 100.000 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 11 wilayah Rusia dan wilayah Ukraina yang dianeksasi. TPS yang pertama dibuka di wilayah paling timur Rusia, yakni Chukotka dan Kamchatka, pada pukul 08.00 waktu setempat.
Baca juga: Dunia Menunggu Langkah Putin Pascapilpres Rusia
Kantor berita Rusia, TASS, menyebutkan, ada empat kandidat presiden, yakni Putin, Vladislav Davankov dari Partai Rakyat Baru, Leonid Slutsky (Partai Demokratik Liberal Rusia), dan Nikolay Kharitonov (Partai Komunis Federasi Rusia).
Kelompok oposisi mengajak siapa saja yang tidak suka terhadap Putin atau menentang perang Ukraina untuk hadir di TPS pada hari terakhir pemilu sebagai bentuk protes.
”Kita harus menunjukkan kita ada dan jumlahnya banyak. Kita orang-orang yang benar-benar ada, nyata, hidup, dan menentang Putin. Setelah itu terserah Anda. Bisa memilih kandidat mana pun, kecuali Putin. Atau bisa juga merusak surat suaranya,” kata istri Yulia Navalnaya, istri mendiang tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny.
Pemilu kali ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sebenarnya. Rakyat dan pemerintah semakin jauh.
Para pengamat pesimistis pemilu akan berlangsung bebas dan adil karena proses pemantauan independen sangat dibatasi. Selain itu, para pemilih juga tidak mempunyai banyak pilihan kandidat. Hanya kandidat terdaftar atau badan penasihat yang didukung negara yang dapat menugaskan pemantau ke TPS. Ini mengurangi kemungkinan adanya pengawas independen.
”Pemilu di Rusia ini sebenarnya tipuan belaka. Kremlin sudah mengatur siapa yang bisa ikut pemungutan suara. Kremlin juga mengontrol cara mereka berkampanye. Setiap aspek pemungutan suara dan proses penghitungan suara tidak bisa dikontrol rakyat,” kata Direktur Ketahanan Demokratis pada Pusat Analisis Kebijakan Eropa di Washington, Amerika Serikat, Sam Greene.
Para analis dan tokoh oposisi menilai, dalam banyak hal, Ukraina menjadi jantung dari pemilu ini. Putin memang tidak akan kalah dalam pemilu ini. Namun, ia bisa kalah jika kalah dalam perang di Ukraina.
Putin dinilai hendak memanfaatkan kemenangan pada pemilu kali ini sebagai bukti bahwa perang dan penanganannya mendapat dukungan. Sementara oposisi berharap bisa menggunakan pemilu ini untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap perang Ukraina dan Kremlin.
Baca juga: Pilpres Rusia, Putin Melenggang Tanpa Oposisi
Analis politik Abbas Gallyamov, yang pernah menjadi penulis pidato Putin, mengatakan, Kremlin membungkam siapa saja yang hendak melawan Putin dengan melarang dua politisi yang hendak ikut mencalonkan diri.
Keduanya dijegal karena membawa agenda antiperang dan mendapat dukungan meski tidak banyak. Karena alasan ini, para pemilih menjadi kehilangan pilihan kandidat presiden dan pilihan agenda politik lain selain perang.
Kelompok pemantau independen Rusia yang terkenal, Golos, dalam laporannya minggu ini menyebutkan, pihak berwenang telah melakukan segalanya untuk membuat masyarakat tidak menyadari fakta pemilu yang sebenarnya. Kampanye menjelang pemungutan suara dinilai sebagai yang paling hambar, praktis, dan tidak mencolok sejak tahun 2000.
Baca juga: Putin Kembali Ancam Gunakan Senjata Nuklir
Kampanye Putin juga dilakukan terselubung dalam kegiatan kepresidenan. Kandidat presiden yang lain pun pasif. Media pemerintah mendedikasikan jam tayang untuk pemilu yang lebih sedikit dibandingkan tahun 2018 ketika Putin terakhir kali terpilih.
”Pemilu kali ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sebenarnya. Rakyat dan pemerintah semakin jauh,” sebut Golos dalam laporannya.
Buat apa?
Banyak warga Rusia yang mengaku memilih Putin hanya karena alasan tidak ada pilihan lain. Kandidat lain yang ada sudah disetujui Kremlin dan tidak banyak mendapatkan dukungan masyarakat.
Laman BBC News, 31 Januari 2024, menyebutkan, warga memilih Putin bukan karena mengidolakan dia, melainkan semata karena tidak ada pilihan lain. Selain itu, sebagian masyarakat juga menginginkan ada perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi tidak perlu harus mengganti presiden.
”Saya banyak berharap pada pemilu ini, berharap perang berakhir dan situasi ekonomi membaik. Saya menghormati Putin dan kalau bukan Putin, apa ada orang lain yang bisa memperbaiki negeri ini. Menurut saya, tidak ada. Mungkin suatu saat nanti akan ada, tapi masih lama karena Putin akan berkuasa dalam waktu lama,” kata Lidiya, pensiunan asal Moskwa.
Baca juga: Bendera Swedia di Markas NATO dan Tekad Eropa Hadang Ambisi Putin
Perang Ukraina dan kerugian militer Rusia yang signifikan tampaknya bahkan tidak membuat rakyat kecewa pada presiden dan panglima militer Rusia. Sebagian warga Rusia percaya mereka harus mendukung pemimpin pada saat perang tanpa mempertanyakan motif dan konsekuensinya. Ada pula sebagian warga yang menerima saja narasi resmi atau realitas alternatif bahwa Barat-lah yang memulai perang, bukan Rusia.
Meski mendapat banyak dukungan, Putin tetap menghadapi tantangan besar, yakni dukungan warga terhadap oposisi. Dukungan pada Putin bisa memudar jika jumlah korban perang di Ukraina bertambah banyak, tindakan keras terhadap perbedaan pendapat meningkat, dan kesulitan ekonomi semakin parah.
Pakar politik pada Institut Jerman untuk Isu Internasional dan Keamanan di Berlin, Nikolay Petrov, kepada harian The New York Times, Kamis, mengatakan, pemilu ini penting bagi Kremlin untuk menunjukkan rakyat mendukung Kremlin. Dukungan itu naik terus sejak awal perang yang berkobar sejak Februari 2022.
Guru Besar Cornell University Bryn Rosenfeld, yang mempelajari politik pasca-komunis, menjelaskan, pemilu di Rusia tidak sepenting apa yang akan terjadi setelahnya. Putin sering menunda-nunda langkah-langkah yang tidak populer sampai setelah pemilu.
Mungkin tindakan paling tidak populer yang dapat dilakukannya dalam negeri adalah memerintahkan mobilisasi militer kedua untuk berperang di Ukraina. Invasi pertama yang dilakukan pada September 2022 memicu protes dan banyak warga Rusia yang menghindari panggilan untuk ikut berperang.
Baca juga: Navalny dan Relasi Rusia-AS
Penasihat senior di lembaga pemikir RAND Corporation, Brian Michael Jenkins, kepada kantor berita The Associated Press, mengatakan, para pemimpin Rusia kini berbicara tentang mengonsolidasikan seluruh rakyat Rusia untuk mendukung kebutuhan sektor pertahanan dan keamanan.
Ini menunjukkan Kremlin sedang mempersiapkan perang yang akan berlangsung lama. Untuk itu, segala sumber daya harus dimobilisasi. Dengan kata lain, rakyat Rusia harus diorganisasi untuk menjalani perang abadi. (AP)