Ramadhan dalam Suka dan Duka
Masjidil Haram menyiapkan tiga imam untuk malam 27 Ramadhan. Menu buka bersama tidak boleh dipasok sembarangan
Negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara memutuskan Ramadhan tahun ini dimulai pada Senin (11/3/2024). Ramadhan disambut dengan kegembiraan dan duka di sebagian lokasi.
Keputusan Mahkamah Agung Arab Saudi soal awal Ramadhan diumumkan pada Minggu malam. Beberapa hari sebelumnya, MA dan sejumlah lembaga Arab Saudi menganjurkan warga melihat hilal pada Minggu sore. Anjuran itu disiarkan Saudi Press Agency (SPA) dan disiarkan ulang, antara lain, oleh Arab News.
Baca juga: Mencari Terang di Kelamnya Ramadhan
Sejumlah observatorium menyatakan tidak bisa melihat hilal karena mendung dan debu. Sementara observatorium di Universitas Al Majmah di Riyadh menyebut, hilal terlihat. ”Perhitungan astronomi dan pengamatan dengan mata telanjang, seperti mata manusia, keduanya saling membutuhkan,” kata direktur observatorium itu, Abdullah al-Khudairi.
Tidak semua tetangga Arab Saudi memulai Ramadhan pada Senin. Iran, Jordania, Maroko, dan Libya memulai Ramadhan pada Selasa. Indonesia tetangganya di Asia Tenggara juga mulai puasa pada Selasa.
Arab Saudi telah mengumumkan persiapan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selama Ramadhan. Pengelola dua masjid itu juga telah mengumumkan sejumlah nama imam untuk shalat Tarawih dan shalat Tahajud. Abdulrahmah al-Sudais, Maher al-Mu’aiqly, Abdullah al-Juhany, dan Bandar Baleelah diumumkan akan menjadi imam Masjidil Haram.
Khusus pada 26 Ramadhan, disiapkan tiga imam shalat Tarawih. Al-Juhany dan Baleelah mendapat giliran pertama. Sementara di giliran terakhir, Al-Sudais akan menjadi imam.
Baca juga: ”Tarhib Ramadhan” di Frankfurt dan Angin Perubahan di Jerman
Penugasan tiga imam itu mengingat malam 27 Ramadhan dianggap malam terpenting selama Ramadhan. Bagi banyak Muslim, malam 27 Ramadhan merupakan kesempatan beribadah dengan pahala terbaik.
Buka bersama
Alasan ingin mendapat pahala juga membuat banyak orang ingin menyediakan makan untuk buka di kedua masjid tersebut. Agar semua terkendali, pengelola memutuskan membuat aplikasi. Tidak bisa lagi sembarang membawa makanan, lalu membagikannya di masjid.
Para calon penyedia makanan buka harus mendaftar lewat aplikasi. Di aplikasi itu, mereka bisa memilih waktu, lokasi, dan menu untuk disajikan.
Ramadhan adalah saat persatuan, rahmat, dan berkah, dan saya ingin memanfaatkannya sebaik mungkin.
Menu hanya boleh disajikan lembaga yang sudah mendapatkan persetujuan dari Badan Pemeriksa Obat dan Makanan Arab Saudi. Hal itu untuk memastikan keamanan pangan yang disajikan di masjid. Tidak ada lagi menu buka puasa dimasak sendiri lalu diantar ke masjid.
Lihat juga: Semarak Menyambut Ramadhan dari Berbagai Belahan Dunia
Pengelola memperkirakan, total akan tersedia 8,5 juta paket buka puasa di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Selain itu, disiapkan juga 45 juta kemasan air zamzam.
Tidak hanya makanan, massa juga tentu diatur. Aparat memutuskan mengosongkan lantai pertama Masjidil Haram bagi jamaah biasa pada sore sampai dini hari. Pada waktu itu, lantai pertama khusus untuk jamaah umrah dan sebagian petugas.
Dengan demikian, jamaah biasa tidak bisa mendekati Kabah selama malam-malam Ramadhan. Padahal, bagi banyak Muslim, shalat sedekat mungkin dengan Kabah merupakan kesempatan terbaik.
Keputusan itu bagian dari menjaga kelancaran pergerakan orang di dalam masjid. Selama Ramadhan, biasanya ada lonjakan jamaah umrah. Lonjakan itu tentu menggembirakan banyak orang.
Baca juga: Dunia Terbagi Dua dalam Mengawali Ramadhan 1445 H
Warga biasa di Mekkah, seperti Khalif Mufti, juga mau shalat di Masjidil Haram. ”Saya bersemangat ikut shalat malam berjamaah dan buka puasa bersama karena keduanya menyatukan kita sebagai sebuah keluarga dan komunitas yang lebih besar. Ramadhan adalah saat persatuan, rahmat, dan berkah, dan saya ingin memanfaatkannya sebaik mungkin,” katanya.
Sementara warga Jeddah, Fatimah Muthannah, gembira menyambut Ramadhan. ”Hati saya dipenuhi dengan kegembiraan menjelang bulan suci yang sudah sangat dekat,” katanya.
Perbanyak sedekah
Di Karachi, keluarga Tanveer ul Haq Thanvi memastikan harus menaikkan paket buka bersama. Dari 10.000 paket, tahun ini paket buka bersama mencapai 15.000 paket per hari. Paket itu akan dibagikan di masjid yang dikelola keluarga Thanvi di salah satu kota besar Pakistan itu.
Para sukarelawan juga menyiapkan ruangan untuk menampung ribuan orang selama buka puasa. Tidak kalah penting, menyediakan air untuk minum dan wudhu.
Thanvi mengatakan, Ramadhan membuat banyak orang lebih ingin berbagi. Sayangnya, tidak semua orang mampu berbagi. Malahan, banyak orang membutuhkan aneka hal.
Baca juga: Seharian Tahan Lapar-Haus, Hindari ”Balas Dendam” Saat Berbuka Puasa
Kesulitan juga dirasakan di Mesir. Kini, 30 persen penduduk Mesir miskin. Sebagian kelas menengah juga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Seorang PNS di Kairo, Abdel-Kareem Salah, mengaku hidupnya berat. Untuk Ramadhan ini, ia tidak yakin punya cukup uang untuk membeli jajanan dan kudapan buka puasa. ”Kami hanya membeli kebutuhan saja. Bagi kami dan banyak orang seperti kami, daging telah menjadi barang mewah,” ujarnya.
Kesulitan juga dirasakan di Suriah. Seorang warga Damaskus, Umm Khaled, berharap mendapat sedekah untuk makan dan baju bagi cucunya yang yatim. Lebih dari separuh gajinya habis untuk sewa tempat tinggal.
”Segala sesuatunya berubah selama bulan kebaikan. Setiap tahun saya menerima sumbangan makanan dan pakaian yang menghangatkan hati anak-anak putraku yatim piatu,” ujarnya.
Rasa bersalah
Di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, komunitas Muslim menyambut Ramadhan. Di Nashville, AS, Ahmad Ayoub (20) menyambut Ramadhan dengan kegetiran soal Palestina. Ayoub merupakan warga AS keturunan Palestina.
Baca juga: Anak-anak Palestina Berharap Ramadhan yang Ceria
Di Ramadhan ini, ia bisa makan saat buka puasa. ”Masih ada bibi, paman, dan sepupu kami di Palestina terpaksa terus kelaparan. Pasti akan ada rasa bersalah mengetahui bahwa saya memiliki makanan lengkap di depan saya,” ujarnya.
Keprihatinan juga dirasakan Sonia Uddin, warga AS keturunan Pakistan. Warga California itu mengaku merasakan Ramadhan sembari prihatin dengan perkembangan di Gaza.
”Ramadhan biasanya menjadi saat ketika saya berpaling dari dunia luar dan fokus pada hubungan saya dengan Tuhan. Akan tetapi, hal itu bukanlah pilihan bagi saya. Saya perlu melanjutkan aktivisme saya sehingga mereka yang tidak mempunyai suara dapat didengar,” ujarnya. (AP/AFP)