Dunia Terbagi Dua dalam Mengawali Ramadhan 1445 H
Tak hanya di Indonesia, dunia mengawali Ramadhan 1445 Hijriah secara berbeda. Penyatuan kalender Islam perlu didorong.
Belum disepakatinya kriteria tunggal awal bulan dalam kalender hijriah membuat umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia mengawali Ramadhan 1445 H/2024 secara berbeda. Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan memulai Ramadhan pada Selasa (12/3/2024) dan sebagian besar negara Arab mengawali Ramadhan pada Senin(11/3/2024).
Negara-negara yang pemerintahnya menetapkan 1 Ramadhan pada Senin (11/3/2024), seperti dikutip dari data Pusat Astronomi Internasional (IAC), antara lain Arab Saudi, Mesir, Irak, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Dalam kelompok ini, ada Turki, Suriah, Sudan, Qatar, Kuwait, Palestina, Lebanon, Bahrain, Aljazair, Tunisia, dan Nigeria.
Sementara negara-negara yang memulai Ramadhan pada Selasa (12/3/2024) yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Iran. Negara Arab yang mengawali Ramadhan pada Selasa adalah Jordania, Oman, Libya, dan Maroko. Negara-negara Asia Selatan, seperti India, Pakistan, dan Bangladesh, juga menetapkan awal Ramadhan yang sama.
Dari akun X pengelola Haramain atau dua kota suci Mekkah dan Madinah menyebutkan, hilal sudah teramati di Arab Saudi pada Minggu (10/3/2024) petang sehingga Ramadhan akan dimulai pada hari Senin. Dengan demikian, shalat tarawih di Masjid Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah dilakukan pada Minggu malam.
Baca juga: Hilal Belum Terlihat, Awal Ramadhan 1445 H Ditetapkan 12 Maret 2024
Dikutip dari Arab News, ketetapan awal Ramadhan di Arab Saudi itu didasarkan pada teramatinya hilal di Hawtat Sudair, sekitar 140 kilometer utara Riyadh, ibu kota Arab Saudi, pada Minggu petang. Pengamatan dilakukan astronom dari Departemen Observatorium Astronomi, Universitas Majmaah, di Riyadh, yang dipimpin direkturnya langsung, Abdullah al-Khudairi.
”Perhitungan dan teknologi melengkapi proses pengamatan. Antara perhitungan astronomi dan pengamatan dengan mata telanjang, keduanya saling membutuhkan,” tuturnya. Dengan kesaksian itu, Mahkamah Agung Arab Saudi menetapkan 1 Ramadhan 1445 H/2024 jatuh pada Senin (11/3/2024).
Sementara di Mesir, Mufti Besar Mesir Shakil Allam, seperti dikutip dari media berbahasa Inggris, Egypt Today, mengumumkan bahwa Senin (11/3/2024) adalah hari pertama Ramadhan 1445. Putusan itu dikeluarkan setelah Darul Ifta, lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa agama atau semacam Majelis Ulama Indonesia, mengumumkan berhasil melihat hilal Ramadhan.
Di India, negara dengan umat Islam terbanyak ketiga di dunia sesudah Pakistan dan Indonesia, akan memulai Ramadhan pada Selasa (12/3/2024). Ketetapan ini umumnya juga akan diikuti negara-negara Asia Selatan lain, termasuk Bangladesh.
”Hilal syar’i”
Meski otoritas keagamaan di Arab Saudi dan Mesir telah menyatakan adanya kesaksian melihat hilal, jejaring pengamat hilal di negara-negara Arab yang tergabung dalam Proyek Pengamatan Hilal (ICOP) IAC melaporkan bahwa hilal pada Minggu petang tidak terlihat.
Baca juga: Sidang Isbat, Forum Musyawarah Penetapan Awal Ramadhan
Anggota ICOP Sami Al Harbi yang mengamati hilal dari Madinah mengatakan, hilal tidak teramati baik dengan mata telanjang, binokuler, teleskop, dan tidak terekam dalam peranti perekaman citra CCD (charge-coupled device). Saat itu, langit di Madinah berawan sebagian dan atmosfer terlihat samar.
Situasi serupa diperoleh anggota ICOP Abdullah Hamed yang mengamati hilal di kota Boulaq el Dakrour, Giza, Mesir. Kondisi langit di wilayah itu bersih, demikian pula kondisi atmosfernya. Namun, hilal tetap tidak teramati menggunakan mata telanjang ataupun alat bantu lainnya. Anggota ICOP lain di Uni Emirat Arab, Yaman, dan Palestina juga melaporkan hal serupa.
Ketidaktampakan hilal oleh para pengamat hilal dalam jejaring ICOP itu sesuai dengan prediksi yang dilakukan IAC. Sesuai kriteria Mohammed Odeh yang diacu IAC, salah satu syarat hilal agar teramati adalah elongasi atau jarak sudut Matahari dan Bulan minimal 6,4 derajat.
Perhitungan dan teknologi melengkapi proses pengamatan. Antara perhitungan astronomi dan pengamatan dengan mata telanjang, keduanya saling membutuhkan.
Dengan syarat itu, wilayah yang bisa menyaksikan hilal pada Minggu petang sesuai waktu setempat ada di Benua Amerika. Sementara di barat Asia, termasuk Asia Tenggara dan Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika, tidak akan bisa melihat hilal. Bahkan, di wilayah Asia Timur dan sebagian besar Australia, hilal dipastikan tidak bisa diamati karena Bulan masih di bawah ufuk.
Adanya kesaksian melihat hilal yang diterima otoritas keagamaan itu kemungkinkan adalah hilal syar’i, yaitu hilal yang sah secara syariat atau hukum agama untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam penentuan awal bulan hijriah. Kesaksian hilal syar’i itu diambil dari pengamat yang tepercaya atau diyakini tidak berbohong.
Baca juga: Ramadhan 2024: Awal Berbeda, Akhir Bersama
Sesuai ketentuan agama, metode penetapan awal bulan hijriah berdasarkan kesaksian seseorang itu dimungkinkan. Metode ini juga memiliki landasan hukum yang kuat secara agama. Namun, sistem yang bertumpu pada kredibilitas dan kemampuan seseorang ini sering berbenturan dengan pengamatan ”hilal astronomis” yang dilakukan astronom modern.
Hilal astronomis yang diakui astronomi modern adalah hilal terverifikasi yang didukung oleh data hisab atau perhitungan yang akurat, memiliki bukti citra atau rekaman piranti elektronik sehingga bisa dicek kebenarannya, serta terkonfirmasi oleh astronom lain. Model hilal ini tidak lagi bertumpu pada kemampuan seseorang, tetapi harus bisa diverifikasi oleh astronom lain.
Di Indonesia, perdebatan hilal syar’i itu banyak terjadi saat Indonesia masih menggunakan kriteria lama Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (Mabims). Kriteria lama Mabims itu mensyaratkan hilal bisa diamati jika tingginya minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur Bulan sedikitnya 8 jam.
Meski demikian, hilal syar’i yang diamati pengamat hilal tradisional itu tak bisa dinyatakan salah karena hingga kini belum ada riset atau studi yang bisa membuktikan bahwa yang diamati pengamat hilal tradisional itu salah. Sampai saat ini, apa yang dikesani pengamat hilal tradisional itu sebagai hilal belum bisa dipastikan apakah itu benar-benar hilal atau obyek lain yang diyakini sebagai hilal.
Sementara pandangan astronom modern menyikapi hilal syar’i itu terbelah. Sebagian astronom menilai apa yang dikesani oleh pengamat tradisional itu sebagai kesalahan dalam menentukan obyek yang disangka hilal.
Namun, sejumlah astronom modern lain bersikap lebih hati-hati karena bisa jadi mata memiliki kejelian berbeda dalam mengamati benda langit di sekitar ufuk dibanding pengamatan menggunakan alat bantu modern.
Karena dianggap tidak sesuai dengan bukti observasi astronomi modern itulah, kriteria lama Mabims akhirnya digantikan dengan kriteria baru Mabims. Kriteria baru Mabims ini menggunakan syarat posisi hilal lebih besar dan lebih tinggi dari kriteria lama, yaitu elongasi minimal 6,4 derajat dan tinggi hilal minimal 3 derajat.
Butuh bertahun-tahun untuk memperkenalkan kriteria baru Mabims ini baik kepada menteri-menteri agama Mabims maupun ormas Islam. Namun, akhirnya penggunaan kriteria baru Mabims itu disepakati Mabims pada tahun 2021 dan mulai digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal Ramadhan pada 2022.
Meski demikian, sesuai prinsip dasar sains, kriteria baru Mabims tidaklah bersifat tertutup. Jika ada kesaksian melihat hilal pada posisi lebih rendah dari kriteria baru Mabims, termasuk hilal syar’i, bisa saja diterima sepanjang didukung oleh bukti-bukti pengamatan yang akurat dan terkonfirmasi oleh astronom lain.
Hormati
Meski berbeda sikap dalam menentukan awal bulan dalam kalender hijriah akibat kriteria awal bulan yang tidak sama atau jenis hilal tidak sama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, seperti ditulis Kompas.id, Minggu (10/3/2024), berharap kepada semua pihak untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Ramadhan 1445/2024 ini umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, akan memulainya secara berbeda. Namun, kemungkinan akhir Ramadhan yang menjadi tanda datangnya Idul Fitri akan sama. Kondisi ini berkebalikan dengan kondisi Ramadhan 1444/2023, yaitu awal Ramadhan bersama, tetapi Idul Fitrinya berbeda.
Sepanjang pantauan Kompas, perbedaan awal Ramadhan tidak akan memberi dampak besar dibandingkan dengan perbedaan Idul Fitri.
Oleh karena itu, situasi sosial ke masyarakat menyambut Ramadhan tahun ini lebih damai dan tenang dibandingkan dengan Ramadhan tahun lalu, khususnya saat mendekati akhir Ramadhan. Idul Fitri sebagai perayaan sosial lebih memberi tekanan pada psikologis masyarakat dibandingkan dengan Ramadhan yang lebih dominan nuansa peribadatannya dan lebih personal.
Meski demikian, upaya penyatuan kalender Islam global yang dimulai dari adanya kesatuan kriteria awal bulan hijriah tunggal di Indonesia perlu terus didorong. Perbedaan memang lumrah dan juga rahmat, tetapi kesatuan kalender Islam akan lebih memberikan manfaat untuk kesejahteraan dan persatuan umat.