Pilpres Rusia, Putin Melenggang Tanpa Oposisi
Tanpa perlawanan dari oposisi dan capres yang disetujui Kremlin, Putin akan berkuasa hingga 2030.
MOSKWA, MINGGU — Presiden Rusia Vladimir Putin dipastikan kembali berkuasa setidaknya hingga tahun 2030 karena tidak ada oposisi atau lawan kuat yang akan menghadangnya dalam pemilu pada 15-17 Maret. Sejak berkuasa sebagai presiden atau perdana menteri pada 1999, Putin dituding telah menghilangkan segala bentuk oposisi dan perbedaan pendapat.
Semua lawan atau pengkritik Putin di dalam negeri telah tewas, diasingkan, atau dipenjara. Pengkritik yang paling gigih dalam 10 tahun terakhir, Alexei Navalny, meninggal di dalam penjara Arktik pada 16 Februari 2024.
Baca juga: Rusia Alokasikan 40 Persen Anggaran Nasional untuk Perang
Dengan memenangi pemilu tahun ini, Putin (71) akan berkuasa lebih lama dari pemimpin Rusia mana pun sejak Catherine yang Agung yang berkuasa pada abad ke-18. Untuk saat ini, dia sudah menjadi pemimpin Kremlin yang paling lama menjabat sejak diktator Soviet, Josef Stalin. Meski Putin dicap sebagai paria di Barat, Kremlin meyakini pemilu tahun ini akan menunjukkan rakyat Rusia tetap bersatu mendukung Putin dan perang di Ukraina.
Dukungan terhadap Putin diperkirakan menguat karena dalam beberapa bulan terakhir pasukan Rusia unggul di Ukraina. ”Putin tidak punya saingan saat ini. Tidak ada seorang pun yang bisa bersaing dengannya,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, Minggu (10/3/2024).
Peskov menegaskan, Kremlin menyelenggarakan pemilu yang dibutuhkan rakyat dan tidak akan menoleransi kritik apa pun terhadap demokrasi Rusia. ”Demokrasi kami adalah yang terbaik,” ujarnya.
Baca juga: Putin Undang Negara-negara untuk Jalin Kerja Sama Pertahanan dengan Rusia
Meski pilpres mendatang bernuansa seremonial, Kremlin serius menggarap proses pemilu di negara berpenduduk sekitar 146 juta jiwa itu. Kremlin sudah mengerahkan sumber daya untuk kampanye guna membangkitkan antusiasme terhadap Putin.
Putin juga sudah tur keliling negara. Ia direkam sedang duduk di kokpit pesawat dan menerbangkan pesawat pengebom nuklir supersonik. Dia seakan mau menunjukkan kredibilitasnya sebagai pemimpin yang tangguh.
”Pemilu ini sangat penting bagi Kremlin. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan rakyat Rusia mendukung serangan militer Putin,” kata Nikolai Petrov dari Chatham House kepada kantor berita AFP.
Hasil pilpres 2018 menunjukkan, sebesar 77,5 persen suara mendukung Putin. Kremlin ingin lebih meningkatkan dukungan itu. Meski tidak ada persaingan nyata, pemilu tahun ini ramai dengan tuduhan mengenai adanya penimbunan surat suara, penipuan, dan pemungutan suara paksa.
Putin tidak punya saingan saat ini. Tidak ada seorang pun yang bisa bersaing dengannya.
Putin memang tidak akan berhadapan dengan oposisi, tetapi tetap ada tiga kandidat presiden sebagai ”pesaing yang disetujui Kremlin”. Mereka ditunjuk semata-mata untuk memberikan kesan ada persaingan. Kremlin juga mengizinkan kandidat liberal untuk mencalonkan diri dalam pilpres yang dinilai para analis sebagai ”demokrasi terkelola” di Rusia.
Para kandidat presiden yang diajukan partai-partai pendukung Kremlin adalah Nikolai Kharitonov dari Partai Komunis, Leonid Slutsky dari Partai Demokrat Liberal yang nasionalis, dan Vladislav Davankov dari Partai Rakyat Baru. Kharitonov pernah melawan Putin pada 2004 dan berada di urutan kedua.
Mereka disebut ”kandidat basa-basi” karena selama ini mendukung semua kebijakan Kremlin, termasuk perang di Ukraina. Pada pemilu sebelumnya, kandidat-kandidat seperti itu tidak mungkin memperoleh cukup suara untuk bisa menantang Putin. Pada pemilu 2018, Partai Komunis ada di urutan kedua dengan perolehan suara hanya 11,8 persen.
Boris Nadezhdin, politisi liberal yang menjadikan seruan mengakhiri perang sebagai tema utama kampanyenya, mendapat dukungan luar biasa. Namun, dia dilarang mencalonkan diri karena pengawas pemilu menyatakan dia tidak cukup mendapat dukungan dari rakyat yang harus dikumpulkan melalui tanda tangan. Banyak dari tanda tangan pendukungnya yang dianggap tidak sah.
Baca juga: Putin versus Prigozhin
Karena tidak adanya alternatif pilihan kandidat lain selain Putin, kelompok oposisi yang terpecah dan melemah melihat pemilu ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap Putin dan perang. Sesaat sebelum kematiannya, Navalny mendesak para pemilih untuk hadir di tempat pemungutan suara.
”Putin menganggap pemilu ini sebagai referendum untuk menyetujui tindakannya. Referendum persetujuan perang. Mari kita hancurkan rencananya dan pastikan pada 17 Maret tidak ada yang percaya pada hasil pemilu. Ini supaya seluruh rakyat Rusia bisa melihat dan memahami keinginan mayoritas rakyat adalah Putin harus pergi,” kata Navalny dari balik jeruji besi kala itu.
Tiga hari
Pada tahun ini, untuk pertama kalinya dalam pemilihan presiden, pemungutan suara dibuka selama tiga hari, bukan sehari. Rusia pernah menggunakan pemungutan suara selama beberapa hari saat referendum pada 2020 mengenai reformasi konstitusi yang diatur oleh Putin agar memungkinkannya mencalonkan diri untuk dua periode lagi.
Pemungutan suara juga akan dilakukan di empat wilayah Ukraina yang diklaim Rusia pada 2022 dan Semenanjung Crimea yang direbut pada 2014. Komisi Pemilu Rusia menyebutkan, terdapat 112,3 juta pemilih di Rusia dan Ukraina serta 1,9 juta pemilih di luar negeri. Tahun ini juga pertama kalinya Rusia akan menerapkan pemungutan suara secara daring untuk pemilihan presiden.
Baca juga: Alexei Navalny, Harapan Reformasi Rusia Itu Telah Pergi
Para pengamat independen mengkritik perpanjangan pemungutan suara selama beberapa hari dan pemungutan suara secara daring. Praktik itu dikhawatirkan justru semakin membuat pemilu tidak transparan.
Pada 2021, kelompok oposisi pernah menyatakan pemungutan suara digital dalam pemilihan parlemen menunjukkan tanda-tanda manipulasi. Para aktivis melaporkan praktik-praktik seperti pemungutan suara secara paksa. Rekaman video di media sosial yang menunjukkan praktik pengisian kotak suara.
Selain sisi keunggulan Rusia di Ukraina, dukungan untuk Putin kemungkinan juga meningkat karena perekonomian yang mulai tumbuh setelah Putin merayu India dan China untuk meningkatkan ekspor energi. Setelah menyusut pada 2022 akibat aneka sanksi Barat, perekonomian Rusia mulai tumbuh tahun lalu meski inflasi tinggi, mata uang rubel melemah, dan belanja pertahanan meningkat drastis.
Meski demikian, menurut Francis Scarr, wartawan BBC Monitoring, Kremlin lihai dan canggih menyebarkan propaganda. ”Ada pihak-pihak yang terus terang berbohong terus. Kebenaran yang ada dibesar-besarkan secara berlebihan,” ujarnya.
Baca juga: Jalan Bergelombang bagi Navalny
Misalnya, masalah tingkat pengangguran di Rusia yang berada pada titik terendah. Tidak dijelaskan bahwa hal ini disebabkan puluhan ribu warga Rusia yang dikirim ke medan pertempuran di Ukraina atau meninggalkan Rusia. Sebenarnya banyak warga Rusia yang mengetahui hal ini, tetapi terbuai oleh gagasan ”Rusia makmur”.
(Reuters/AFP/AP)