Pajaki Konglomerat untuk Atasi Perubahan Iklim
Setidaknya 2.500 orang punya kekayaan paling sedikit Rp 15 triliun. Pajak minimum mereka diusulkan Rp 300 miliar.
SAO PAULO, JUMAT — Pemerintah anggota G20 akhirnya sepakat menjajaki peluang penerapan pajak minimum para konglomerat. Pajak global itu menyasar orang-orang dengan kekayaan setidaknya senilai Rp 15 triliun. Hasil pajak antara lain bisa dipakai untuk mendanai mitigasi dampak perubahan iklim.
Kesepakatan informal itu tercapai dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral anggota G20. Pertemuan itu berakhir pada Kamis (29/2/2024) sore di Sao Paulo, Brasil, atau Jumat dini hari WIB. Kesepakatan disebut informal karena isu itu tidak dimasukkan dalam pernyataan akhir pertemuan.
Baca juga: Pajak ”Crazy Rich”: Saatnya Berkontribusi secara Proporsional
Menkeu Brasil Fernando Haddad menyebut, pajak global akan mengatasi penghindaran pajak para konglomerat. Menkeu Perancis Bruno Le Maire mendukung usulan Brasil ini dan berkomitmen akan menjadi yang terdepan.
Pajak khusus untuk orang superkaya ini nanti akan sangat sulit dihindari. Tidak seperti pajak penghasilan dan pajak warisan atau harta benda.
Sasaran kebijakan itu adalah orang-orang dengan kekayaan sedikitnya 1 miliar dollar AS atau setara Rp 15 triliun. Mengacu pada berbagai data, seperti dari Bloomberg dan Forbes, setidaknya ada 2.500 orang dengan kekayaan paling sedikit Rp 15 triliun itu. Sebagian malah punya kekayaan lebih dari Rp 15.000 triliun atau Rp 15 kuadriliun.
Haddad mengatakan, konglomerat perlu dipastikan membayar pajak secara adil. Dana pajak mereka, antara lain, untuk mengurangi kesenjangan. ”Kita bisa dapat pendapatan tambahan yang sangat besar hanya dengan tarif pajak yang sedikit lebih tinggi bagi orang-orang superkaya,” ujarnya.
Kepala Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa Achim Steiner menilai, Brasil bisa disebut sukses sebagai ketua bergilir G20. Sebab, Brasil menjadikan kesenjangan dan pajak minimum konglomerat sebagai target. Isu itu akan dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi G20.
Baca juga: Orang Amerika Makin Kaya dan Dermawan, tapi…
Dalam diplomasi, lazim ada pengambilan keputusan berjenjang. Dimulai dari pejabat teknis, pembahasan dan penyepakatan berbagai isu akan berjenjang sampai ke tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan.
Kita bisa mendapatkan setengah dari jumlah itu hanya dengan pajak minimum para miliarder.
Dalam pertemuan menkeu dan gubernur bank sentral G20, Brasil belum sepenuhnya mencapai kemenangan diplomatik. Sebab, isu yang sudah disepakati tetap tidak masuk pernyataan akhir.
Dalam pernyataan selepas pertemuan, antara lain, dimasukkan pendapat Pemantau Pajak Uni Eropa. Menurut lembaga kajian di Perancis itu, pajak konglomerat berbeda dari pajak penghasilan pada umumnya. Kini, orang-orang superkaya mudah menghindari pajak penghasilan dan pajak warisan.
Tarif minimum
Ekonom Perancis, Gabriel Zucman, merekomendasikan tarif minimum 2 persen per tahun. Dengan kata lain, setiap orang superkaya direkomendasikan membayar pajak sedikitnya 20 juta dollar AS atau Rp 300 miliar.
Baca juga: Orang Miskin dan Ultrakaya di Kala Pandemi
Zucman yang mengajar di University of California dan Paris School of Economics itu mendasarkan rekomendasinya dari riset soal pajak konglomerat. Ia menemukan cara Elon Musk, Jeff Bezos, atau orang superkaya lain menghindari pajak penghasilan. Berdasarkan temuan itu, ia merekomendasikan cara mengubah keadaan tersebut.
Para pemimpin negara perlu mengubah cara pemajakan kepada konglomerat demi menyelamatkan demokrasi. Orang-orang superkaya cenderung membayar pajak lebih sedikit dari kebanyakan orang lain.
Zucman menilai, semakin banyak bukti sistem perpajakan saat ini bukannya progresif, melainkan malah cenderung sangat regresif di tingkat atas distribusi. Ledakan kekayaan ekstrem adalah salah satu ciri khas perekonomian dunia. ”Fakta orang-orang ini (miliarder) membayar pajak dalam jumlah yang sangat sedikit menjadi jelas selama bertahun-tahun,” katanya.
Ia menaksir, total kekayaan para konglomerat setara 13 triliun dollar AS. Jika pajak minimum global diterapkan, setiap tahun ada tambahan 260 miliar dollar AS pada pendapatan pemerintah.
Baca juga: Peluang dan Tantangan Penerapan Pajak Minimum Global
Sebagai pembanding, sejumlah negara berkembang butuh 500 miliar dollar AS untuk mendanai mitigasi dampak perubahan iklim. ”Kita bisa mendapatkan setengah dari jumlah itu hanya dengan pajak minimum para miliarder,” kata Zucman.
Gagasan Zucman bukan tanpa dasar. Pada 2021, 140 negara sepakat mengenakan pajak 15 persen untuk berbagai perusahaan multinasional. Sementara untuk orang superkaya, baru sekarang ada pembahasan pajak minimum globalnya.
Zucman menyebut, memang diperlukan perjanjian internasional untuk perpajakan negara-negara superkaya, meningkatkan progresivitas pajak, dan memerangi kesenjangan. Pembahasan di Sao Paulo menunjukkan perkembangan positif, walau masih sangat dini dan butuh penelitian lebih lanjut. ”Pajak khusus untuk orang superkaya ini nanti akan sangat sulit dihindari. Tidak seperti pajak penghasilan dan pajak warisan atau harta benda,” ujarnya.
Dalam kajian pada 2023, Tax Justice Network menyimpulkan potensi kehilangan pendapatan pemerintah hingga 4,8 triliun dollar AS. Kehilangan itu dipicu keberadaan wilayah-wilayah ”suaka pajak”. Istilah itu mengacu pada negara atau wilayah yang memungkinkan orang kaya dan perusahaan menghindari pajak. Skandal seperti Panama Papersdan Paradise Papersmenunjukkan bahaya suaka pajak.
Baca juga: G-7 Sepakati Pajak Korporasi Global 15 Persen
Bahkan, dalam riset lain disimpulkan pajak kini relatif lebih sedikit. ”Saat ini pajak atas aset lebih sedikit dibandingkan 20-30 tahun lalu. Gerakan global ini cenderung mengarah pada pengurangan pajak terhadap perusahaan dan kekayaan,” kata guru besar sosiologi di Universitas Sao Paulo, André Vereta-Nahoum.
Adapun Oxfam International menyebut, kesenjangan kelompok kaya dan miskin melebar sejak pandemi Covid-19. Kesenjangan itu mendorong semakin banyak pihak menyerukan pajak lebih tinggi pada orang kaya.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga telah mendorong pajak penghasilan minimum bagi miliarder. Akan tetapi, kecil kemungkinan parlemen AS mendukung gagasan Biden itu.
Sebagai tanda meningkatnya konsensus global mengenai masalah ini, Majelis Umum PBB pada akhir 2023 mengadopsi resolusi yang mendukung kerja sama perpajakan internasional yang lebih kuat untuk menjadikannya inklusif dan lebih efektif. ”Kesulitannya bukan lagi membahas isu ini dengan serius karena toh datanya sudah ada. Hal yang sulit adalah mencapai dokumen bersamanya,” kata Carla Beni, ekonom pada lembaga kajian Getulio Vargas Foundation. (REUTERS/AFP/AP)