Negara-negara anggota G-7 menyepakati tarif pajak minimum perusahaan global sebesar minimal 15 persen. Besaran tarif ini di bawah konsensus sejumlah ekonom untuk tarif pajak bisnis multinasional di kisaran 21 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota Kelompok 7 atau G-7 menyepakati proposal pajak minimum untuk mencegah perusahaan-perusahaan global mengalihkan keuntungannya ke negara surga pajak. Namun, besaran tarifnya tidak jauh berbeda dengan tarif pajak serupa di Indonesia.
Kelompok G-7 terdiri dari Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dan Kanada. Dilansir dari Reuters, pada Sabtu (5/6/2021) waktu London, Inggris, negara-negara anggota G-7 menyepakati tarif pajak minimum perusahaan global minimal 15 persen. Besaran tarif ini diusulkan oleh Amerika Serikat (AS), bertujuan memodernisasi konsensus pajak internasional yang berusia satu abad.
Menanggapi hal ini, ekonom Centre of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa kesepakatan perpajakan global ini meninggalkan sejumlah catatan untuk dievaluasi. Salah satunya terkait besaran tarif yang disepakati masih tidak terlalu jauh berbeda dari tarif pajak multinasional yang dianut negara ”surga pajak”.
Besaran tarif ini agak berbeda dengan beberapa saran tarif ideal dari yang disampaikan beberapa ekonom sebagai masukan tarif pajak global untuk bisnis multinasional berada di kisaran 21 persen.
”Besaran tarif ini agak berbeda dengan beberapa saran tarif ideal dari yang disampaikan beberapa ekonom sebagai masukan tarif pajak global untuk bisnis multinasional berada di kisaran 21 persen,” ujar Yusuf saat dihubungi Kompas, Minggu (6/6/2021).
Menurut dia, kesepakatan dan implementasi terkait pajak global ini dinamis dan masih akan berkembang. Perkembangan terdekat, pembahasan ini akan dibawa ke pertemuan menteri-menteri keuangan negara anggota G-20 di Italia pada Juli 2021.
Setelah itu, baru akan ada pembicaraan jangka panjang antara sekitar 140 negara di Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). ”Jadi, isu ini masih akan terus berkembang jauh dari selesai,” ujar Yusuf.
Meski begitu, kesepakatan pajak global terhadap perusahaan multinasional dinilainya tetap akan menjadi suatu keuntungan bagi Indonesia. Pasalnya, menurut Yusuf, Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dirugikan dengan adanya tarif pajak yang lebih rendah di negara surga pajak.
”Jika sudah ada tarif minimal, setidaknya menutupi ruang gerak perusahaan multinasional yang sering memanfaatkan celah tarif pajak berbeda untuk memindahkan laba mereka ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah,” kata Yusuf.
Kesepakatan tarif minimum pajak global terhadap perusahaan multinasional juga dinilai akan sangat bermanfaat bagi Indonesia yang tengah bertransformasi dari rezim pajak yang sebelumnya menganut sistem worldwide menjadi ke sistem teritorial.
Menurut Yusuf, salah satu dampak umum yang dirasakan oleh negara yang melakukan pergantian sistem adalah investasi keluar (outbond investment) dari Indonesia menuju negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. ”Tentu jika ada kesepahaman mengenai tarif pajak global ini, risiko ini bisa sedikit diminimalisir,” ujar Yusuf.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu masih enggan menanggapi hasil pertemuan negara-negara anggota G-7 terkait tarif pajak minimum perusahaan global sebesar minimal 15 persen.
Selain karena keputusan ini belum final, besaran tarif pajak yang digaungkan tersebut tidak jauh berbeda dengan besaran tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atas produk digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia sebesar 10 persen.
Sejak awal Juli 2020, sebanyak 65 perusahaan global telah tercatat sudah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk memungut PPN digital.
Perusahaan yang sebagian besar berada di luar negeri tersebut di antaranya Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB. Kemudian Facebook Ireland Ltd, Facebook Payments International Ltd, Facebook Technologies International Ltd, Amazon.com Services LLC, dan Audible Inc.
Akhir pekan kemarin dalam dialog Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Fiskal 2022, Febrio menuturkan, pemerintah terus melakukan analisis mendalam dalam melaksanakan kebijakan reformasi perpajakan. Menurut dia, setiap perubahan kebijakan perpajakan juga mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian.
”Penerapan PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang berlaku saat ini menjadi contoh respons kebijakan perpajakan Indonesia terhadap struktur ekonomi yang bergeser ke arah digital,” ujarnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan PPN dari PMSE hingga 31 Mei 2021 mencapai Rp 2,1 triliun. Tarif PPN yang harus dibayar pelanggan atas produk digital sebesar 10 persen dari harga sebelum pajak. Pajak tersebut harus dicantumkan pada kuitansi yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN.