Peluang dan Tantangan Penerapan Pajak Minimum Global
Munculnya gagasan pajak minimum global tak lepas dari tantangan yang dihadapi yurisdiksi perpajakan ekonomi digital.
Oleh
GALIH ARDIN
·4 menit baca
Dalam waktu dekat, pemerintah akan menerapkan pajak minimum global yang merupakan turunan dari pilar dua Global Anti-Base Erosion (GloBE). Sebelumnya, Pemerintah Indonesia bersama 138 negara lain di dunia telah berkomitmen untuk menjalankan pajak minimum global pada 2024.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebutkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan rancangan peraturan mengenai pajak minimum global (global minimum tax). Pajak minimum global adalah pajak minimal yang harus dibayarkan perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki penghasilan lebih dari 750 miliar euro atau setara dengan Rp 12,7 triliun dalam satu tahun fiskal (OECD, 2023).
Tarif yang disepakati untuk pajak minimum global ini sebesar 15 persen dari laba yang diperoleh MNE di setiap yurisdiksi perpajakan tempat barang atau jasanya dijual.
Implikasi positif dan negatif
Munculnya gagasan tentang pajak minimum global ini tak lepas dari tantangan yang dihadapi yurisdiksi perpajakan dalam ekonomi digital. Di era digitalisasi, MNE bisa melakukan kegiatan usaha di mana pun dan kapan pun tanpa dibatasi oleh sekat-sekat negara.
Di era digitalisasi, MNE bisa melakukan kegiatan usaha di mana pun dan kapan pun tanpa dibatasi oleh sekat-sekat negara.
Sayangnya, sulit bagi otoritas perpajakan untuk mencegah penghindaran pajak yang merugikan (harmful tax avoidance) yang dilakukan melalui profit shifting atas transaksi lintas batas tersebut. Dengan demikian, MNE dengan leluasa berusaha mengalihkan keuntungannya ke negara dengan tarif rendah. Oleh karena itu, guna mencegah adanya profit shifting, OECD menerbitkan BEPS Action Plan pada 2013 yang lalu diturunkan menjadi pilar dua GloBE.
Selain itu, salah satu tujuan dari penerapan pajak minimum global adalah untuk mencegah adanya perang insentif pajak untuk menarik investasi. Harus diakui, insentif fiskal punya peran signifikan dalam menarik arus investasi asing langsung.
Berbagai penelitian menunjukkan pengaruh signifikan insentif pajak berupa tax holiday atau tax allowance dalam menarik investasi asing langsung di Indonesia.
Sari et al (2015), misalnya, menemukan bahwa tax holiday memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas investasi di Indonesia. Sementara itu, Pratiwi dan Khoinurrofik (2023) berpendapat, tarif pajak efektif berdampak signifikan terhadap investasi aset tetap.
Ilustrasi
Artinya, semakin rendah tarif pajak efektif, semakin tinggi tingkat investasi pada aset tetap. Meski demikian, persaingan yang tidak sehat antaryurisdiksi dalam memberikan insentif fiskal malah justru membuat MNE dengan mudah mengalihkan labanya (race to the bottom).
Di satu sisi, penerapan pajak minimum global akan mewujudkan keadilan hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili MNE. Di samping itu, penerapan pajak minimum global juga memberikan secercah harapan bagi negara-negara market jurisdiction untuk meningkatkan kapasitas fiskal mereka melalui penerimaan perpajakan. Namun, di sisi lain, kemunculan pajak minimum global berpotensi menimbulkan masalah baru bagi Indonesia dan negara berkembang lain.
Ketentuan pajak minimum global sebesar 15 persen membuat berbagai insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk menarik investasi asing, baik berupa tax allowance, tax holiday, maupun super-deduction tax, menjadi tak efektif.
Setidaknya terdapat dua implikasi negatif yang ditimbulkan dari pengenaan pajak minimum global.
Pertama, dalam jangka pendek akan terjadi arus modal keluar investasi asing yang telah ditanamkan di Indonesia. Hal ini disebabkan pengenaan pajak minimum global membuat tarif efektif pajak penghasilan atas investasi di Indonesia menjadi tidak kompetitif.
Indonesia dan negara-negara lain bisa saja menolak menerapkan pajak minimum global, tetapi konsekuensinya harus bersiap kehilangan hak pemajakan atas MNE yang beroperasi di Indonesia.
Kedua, dalam jangka pendek, terjadi perlambatan investasi asing langsung baru atas proyek-proyek strategis dan berskala nasional di Indonesia. Perlambatan investasi baru ini tentu sangat merugikan Indonesia. Terlebih, pada saat ini pemerintah tengah gencar menggenjot investasi untuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
Indonesia dan negara-negara lain bisa saja menolak menerapkan pajak minimum global, tetapi konsekuensinya harus bersiap kehilangan hak pemajakan atas MNE yang beroperasi di Indonesia. Penolakan pajak minimum global juga berpotensi menimbulkan diskriminasi dari negara-negara lain.
Langkah alternatif
Oleh karena itu, untuk menerapkan pajak minimum global, tetapi tetap bisa menjaga iklim investasi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah.
Pertama, pemerintah dapat mengadopsi qualified domestic minimum tax (QDMT) dalam aturan domestiknya. QDMT adalah mekanisme pengenaan pajak domestik yang sejalan dengan ketentuan pajak minimum global pilar kedua (OECD, 2023). Melalui QDMT, pemerintah diminta mengenakan perlakuan yang sama terhadap MNE ataupun wajib pajak lainnya. Keuntungannya, pemerintah tak akan kehilangan potensi pajak apabila tarif pajak efektif lebih rendah dari 15 persen.
Kedua, pemerintah dapat mengonversi insentif pajak menjadi bentuk insentif lain. Misalnya, mengubah insentif pajak menjadi subsidi listrik, gas, atau upah tenaga kerja. Pengonversian insentif pajak menjadi insentif bentuk lain ini memungkinkan kita menerapkan pajak minimum global, sekaligus tetap menarik di mata investor.
Ketiga, pemerintah dapat tetap mengenakan pajak minimum global 15 persen, tetapi menggunakan hasilnya kembali untuk kepentingan investasi wajib pajak. Misalnya dengan membangun infrastruktur pelabuhan, kawasan berikat, ataupun kawasan ekonomi khusus lainnya.
Penggunaan hasil penerimaan pajak dari pajak minimum global terhadap proyek infrastruktur, selain akan menarik investasi, juga menyerap tenaga kerja dalam negeri yang pada akhirnya akan mengurangi pengangguran dan meningkatkan produk domestik bruto.