Anak-anak Muda Terpasung Hidup dari Bulan ke Bulan
Biaya hidup naik, sedangkan gaji pas-pasan. Anak muda di banyak negara hidup dari bulan ke bulan. Irit di segala lini.
Belantara Tiktok sempat ramai dengan video-video lucu berisi curhatan anak-anak muda perempuan yang tidak ditraktir makan oleh pacarnya saat jalan-jalan. Untuk menggambarkan saking laparnya, mereka makan nasi sepiring penuh dengan tangan gemetar.
Video-video lucu tersebut viral dan menjadi topik bahasan anak-anak muda di Indonesia. Ternyata, banyak anak muda perempuan di Tanah Air mengalami hal serupa.
Ada yang melihat, ”tren” itu sebagai gambaran kecenderungan anak muda zaman sekarang hidup irit. Ada pula yang melihatnya sebagai upaya anak muda jujur dan terbuka dalam menunjukkan kondisi dirinya apa adanya.
Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa zaman sudah berubah: tidak selalu harus laki-laki yang mentraktir perempuan. Bisa berlaku sebaliknya atau bisa juga sama-sama atau bergantian menanggung biaya makan dan jalan-jalan.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Majalah Newsweek, 22 Februari 2024, menyebutkan anak muda dari generasi milenial (kelahiran tahun 1981-1996) dan generasi Z (1997-2012) tidak lagi malu dengan kondisi keuangan mereka. Bahkan, survei peritel model Inggris, PrettyLittleThing, menemukan bahwa baik milenial maupun Gen Z sama-sama tidak mau merogoh kocek lebih dari 50 dollar AS pada saat kencan pertama.
Konsultan keuangan Traci Williams menilai, ada pergeseran tentang kencan hemat. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan realitas keuangan yang dihadapi milenial dan Gen Z sehingga mereka harus berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Dua generasi ini paling sulit berjibaku dengan tingginya biaya hidup dan menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Williams mengatakan, kedua generasi tersebut—milenial dan Z—akan memilih membina hubungan yang bermakna tanpa menghabiskan banyak uang. Pergeseran ini juga menunjukkan adanya perubahan peran gender.
Baca juga: Gen Z Memilih Hidup Seimbang, Bekerja, Menjadi Aktual dan Bahagia
Secara historis, jelas Williams, laki-laki adalah satu-satunya pihak yang memiliki akses terhadap sumber daya keuangan. Artinya, mereka pula yang biasanya ”dianggap harus” membayar makanan atau minuman bagi pacarnya. Kini, situasinya berbeda.
Dua generasi, milenial dan Z, paling sulit berjibaku dengan tingginya biaya hidup dan menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Popularitas kencan dengan investasi rendah, seperti hanya nongkrong minum kopi atau sekadar jalan-jalan di taman, semakin meningkat. Ini kemungkinan karena ada kecenderungan perhitungan untung-rugi. Mereka tak mau ”berinvestasi” banyak jika tak yakin dengan masa depan hubungan mereka.
Akan tetapi, jika sudah merasa pasti dengan pilihannya, Gen Z akan nyaman membicarakan uang dalam waktu enam bulan setelah menjalin hubungan.
Obsesi hidup kaya
Salah satu yang sering dibicarakan adalah keinginan untuk hidup kaya. Meski menjadi generasi yang paling terbebani secara finansial, generasi milenial dan Gen Z terobsesi untuk menjadi kaya. Studi Intuit Credit Karma, yang dikutip Newsweek, 18 Januari 2024, memperkirakan hal itu terjadi karena adanya ”dismorfia uang”, yakni perasaan tidak aman dengan kondisi keuangan.
Baca juga: Gen Z Mencintai Perusahaan Mapan
Apalagi, jika membandingkan kekayaan diri dengan kekayaan teman-teman, orang-orang di media sosial, dan bahkan para selebritas. ”Muncul perasaan tidak mampu. Distorsi antara persepsi dan kenyataan ini bisa menghalangi orang menentukan tujuan keuangan mereka,” kata Courtney Alev, advokat keuangan konsumen di Credit Karma.
Konsultan keuangan dan pendiri Mind Money Balance, Lindsay Bryan-Podvin, mengatakan, milenial dan Gen Z menghadapi banyak persoalan ekonomi, mulai dari krisis kemampuan memenuhi kebutuhan perumahan, utang pinjaman sekolah atau kuliah, hingga tingginya biaya pengasuhan anak.
Ini membuat mereka tidak mudah memasuki kehidupan finansial orang dewasa. Impian menjadi kaya di kalangan mereka pun menguat.
”Gaya hidup kelas menengah terasa di luar jangkauan. Padahal, setiap hari mereka dicekoki cerita dan gambaran di media sosial yang menunjukkan orang yang lebih kaya tampak lebih bahagia,” ujar Bryan-Podvin.
Media sosial memperkuat dismorfia uang dan ini tidak lazim terjadi pada generasi sebelumnya.
Gaji pas-pasan
Untuk bisa hidup lebih kaya, Gen Z menginginkan gaji lebih tinggi. Survei terbaru Redfield & Wilton Strategies menyebutkan, Gen Z menilai gaji tahunan sebesar 74.000 dollar AS atau Rp 1,2 miliar tidak masuk dalam kelompok kelas menengah. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, rata-rata kekayaan bersih Gen Z ini terendah.
Hal itu masuk akal dan bisa dikatakan wajar. Mereka baru memulai karier dan belum bisa mengumpulkan kekayaan.
Menurut Bank Sentral Amerika Serikat, individu di bawah usia 35 tahun memiliki kekayaan bersih rata-rata 39.000 dollar AS. Tidak hanya kekayaan bersih mereka lebih rendah, gaji rata-rata Gen Z juga lebih rendah ketimbang generasi lain sehingga sulit untuk menyewa tempat indekos, apartemen, atau rumah, membeli mobil, atau sekadar makan enak.
Baca juga: Gen Z Sungkan Ambil Cuti
Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS, pendapatan mingguan rata-rata sekitar 1.145 dollar AS pada kuartal keempat 2023. Dikalikan dengan 52 minggu dalam setahun, ini setara dengan gaji rata-rata 59.540 dollar AS.
Survei Pew mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok yang memperoleh dua pertiga hingga dua kali lipat gaji tahunan rata-rata. Dengan logika tersebut, kisaran gaji kelas menengah adalah 39.892-119.080 dollar AS.
Jika melihat data Biro Sensus AS pada 2022, Gen Z masuk kelas menengah karena gajinya di sekitar 60.000 dollar AS per tahun. Gaji per tahun kelas bawah sekitar 30.000 dollar AS, kelas menengah bawah 30.000-59.020 dollar AS, kelas menengah 58.021-94.000 dollar AS, kelas menengah atas 94.001-153.000 dollar AS, dan kelas atas 153.000 dollar AS ke atas.
Jika dilihat dari nilai kekayaan bersih, menurut data Bank Sentral AS, kelas bawah kekayaannya 14.000 dollar AS atau kurang, kelas menengah ke bawah 14.001-71.000 dollar AS, kelas menengah 71.001-159.300 dollar AS, kelas menengah atas 159.301-307.200 dollar AS, dan kelas atas 307.201 dollar AS ke atas.
Kenaikan gaji
Mengingat kekayaan bersih rata-rata Gen Z kurang dari 39.000 dollar AS, ini berarti sebagian besar termasuk kelas menengah ke bawah. Itu sebabnya, Gen Z merasa miskin dan butuh gaji besar.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Menurut survei American Staffing Association (ASA) dan Harris Poll terhadap 2.000 orang dewasa AS, pekan lalu, sebanyak 66 persen karyawan berusia 18-27 tahun berniat meminta kenaikan gaji tahun ini. Mayoritas generasi (Gen Z 50 persen, milenial 53 persen, generasi X 41 persen, dan generasi baby boomer 40 persen) khawatir gaji mereka tidak mampu mengimbangi inflasi.
Generasi milenial dan Gen Z mengaku harus hidup dari gaji ke gaji karena gajinya habis untuk membayar tagihan-tagihan, utang, dan belanja kebutuhan primer. Banyak yang mengaku berada dalam situasi seperti itu karena harus membayar pengeluaran untuk anggota keluarga lainnya dan memiliki jumlah utang yang besar.
Sebenarnya mereka ingin juga berinvestasi, tetapi masalahnya tidak ada sisa uang yang bisa digunakan untuk investasi.
Survei perusahaan konsultan Deloitte pada 2023 terhadap 22.000 milenial dan Gen Z di seluruh dunia menemukan semakin banyak anak muda mencari pekerjaan sampingan demi menambah penghasilan. Situs berita Business Insider menyebutkan, kedua generasi itu juga menunda keputusan besar dalam hidup, seperti membeli rumah dan berkeluarga serta menerapkan perilaku hidup hemat, misalnya membeli pakaian bekas atau tidak naik mobil.
Dari bulan ke bulan
Untuk menghemat uang, anak muda di AS mulai banyak yang memilih menyimpan dan bertransaksi dengan uang tunai. Alasannya, memegang uang tunai lebih mudah dikendalikan ketimbang bertransaksi melalui e-wallet di ponsel.
Selain itu, studi Credit Karma terhadap 1.000 orang dewasa AS menemukan lebih dari sepertiga milenial dan Gen Z yang memiliki teman yang memengaruhi mereka membelanjakan uang melebihi kemampuan mereka.
Karena itu, mereka terpaksa menjauhi teman yang seperti itu demi hidup irit. Pengeluaran berlebihan karena takut ketinggalan atau FOMO (fear of missing out) menjadi masalah umum anak muda.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
”Banyak responden mengaku mengeluarkan uang terlalu banyak hanya untuk menghindari perasaan tersisih saat bersosialisasi dengan teman yang lebih kaya. Masalahnya, kebiasaan belanja ini sering kali berujung pada utang,” kata Courtney Alev, Direktur Manajemen Produk di Credit Karma.
”Sebanyak 88 persen generasi milenial dan 80 persen Gen Z mengaku terpaksa berutang karena berusaha mengimbangi teman-temannya,” kata Alev.
Makan di luar menjadi pengeluaran yang besar. Milenial ataupun Gen Z mengaku mengeluarkan uang terlalu banyak untuk makanan dan minuman. Sebagian lainnya mengaku uangnya banyak keluar untuk jalan-jalan, liburan, pakaian, perayaan ulang tahun, dan aktivitas perawatan diri, seperti pijat dan manikur.
Alev menyarankan pengelolaan keuangan yang efektif dengan prinsip 50-30-20, yakni 50 persen untuk kebutuhan, 20 persen untuk tabungan atau pinjaman, dan 30 persen untuk pengeluaran diskresi.
Tinggal bersama orangtua
Demi menghemat uang juga, semakin banyak anak muda yang memilih kembali tinggal bersama orangtua karena biaya indekos atau sewa rumah mahal. BBC, 25 Januari 2024, mengutip laporan PewResearch, menyebutkan, anak muda usia 18-34 tahun mengaku masih dibantu orangtua untuk membayar kebutuhan, seperti uang pulsa ponsel, tagihan internet, bahkan kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Generasi Muda China Tolak Tekanan Kehidupan dan Pekerjaan
Meski begitu, mereka yakin suatu saat nanti pasti akan bisa hidup mandiri. Dengan kembalinya anak untuk tinggal bersama orangtua, situasinya juga menjadi tidak mudah bagi orangtua. Apalagi, bagi yang hidupnya pas-pasan.
Meski demikian, ada juga yang ikut membantu perekonomian orangtuanya dengan merogoh sedikit dari penghasilannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Setelah Resesi Hebat di AS pada 2007-2009, milenial adalah generasi pertama yang banyak tinggal dengan orangtua dan kini Gen Z mengikuti jejak mereka. Namun, berbeda dengan milenial yang kerap dituduh malas karena tinggal bersama orangtua hingga usia 20-an, Gen Z malah merasa itu hal biasa saja.
Baca juga: Anak Muda AS Makin Bergantung pada Orangtua untuk Biayai Hidup
Generasi yang lebih tua mulai paham bahwa lebih masuk akal tinggal dengan orangtua dan menabung karena tingginya harga properti. Masalahnya, dengan tinggal bersama orangtua, anak muda akan kesulitan hidup mandiri. Padahal, hidup mandiri menjadi langkah penting menjadi dewasa.
Guru Besar Psikologi di Clark University Jeffrey Jensen Arnett menilai konsep kedewasaan bagi Gen Z sudah berubah. ”Mereka yang tinggal bersama orangtua bukan berarti malas. Tidak juga berarti mereka tidak mau bertumbuh atau menghindari tanggung jawab di masa dewasa. Zamannya sudah berubah saja,” ujarnya.
”Mereka sebenarnya mau hidup mandiri, tetapi tidak memungkinkan. Kebebasan hidup dan materi menjadi kemewahan yang tidak mampu dijangkau anak muda sekarang,” kata Arnett.