Hidangan Perajut Simpul Keindonesiaan di Melbourne
Restoran Indonesia tak hanya jadi pelepas rindu masakan Nusantara. Mereka mengikat rasa kekeluargaan dan ”diplomasi”.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, DARI MELBOURNE, AUSTRALIA
·5 menit baca
Berbagai rumah makan bercita rasa Nusantara di Melbourne, Australia, tak sekadar berkisah tentang ragam hidangan yang memanjakan lidah. Ada perjumpaan yang merekatkan persaudaraan, ada kesetiakawanan yang menguatkan saat tertimpa kesulitan, dan ada ikhtiar memperkenalkan kekayaan bangsa kepada dunia.
Pada pengujung musim panas, Kamis (29/1/2024), Restoran Kenangan di bilangan Central Business District (CBD) Melbourne ramai dengan orang-orang yang menikmati hangatnya sinar mentari. Mereka memesan rendang, sate, atau nasi campur Bali, menu andalan restoran yang menempati bekas kantor pos itu. Sejumlah pelanggan tampak menyesap segarnya es kelapa jeruk atau es kelapa selasih di tengah suhu kota yang menyengat.
”Saya pernah tinggal sebentar di Bali. Waktu melihat restoran ini, saya ingin mencoba makanan Bali lagi,” tutur Elsie Cooke, warga setempat. Ia datang bersama tiga temannya.
Selain hidangan utama, Kenangan juga menjual kudapan khas Indonesia, seperti tahu isi dan bolen isi pisang cokelat, untuk menemani perjumpaan itu. Harganya mulai dari 5 dollar Australia (sekitar Rp 50.000) untuk menu urap hingga 31 dollar Australia (Rp 316.000) untuk seporsi bebek garing bali.
Di seputaran pusat kota Melbourne setidaknya ada lima restoran Indonesia. Ini antara lain Blok M Express dan Nelayan Indonesia yang sudah legendaris di kalangan warga Indonesia di sana. Ada pula Pondok Rempah dan Kata Kita.
Blok M Express mempertahankan masakan seperti ayam goreng, gulai kambing, rendang, dan es cincau. Nelayan Indonesia menawarkan ayam geprek, kentang balado, ikan goreng berikut sambal, dan teri kacang. Bisa dikatakan, saat ini hampir semua cita rasa Nusantara tersedia di Melbourne, dari masakan Padang, Bali, Jawa, Manado, hingga Betawi. Tak ketinggalan restoran yang menjual olahan mi ala Pluit dan nasi rames ala rumahan.
Restoran-restoran itu ramai pengunjung, terutama saat waktu makan siang. Sebagian besar turis dari Asia. ”Kami sudah pesan makanan di sini, enak dan halal,” kata Siti Bazilah, turis asal Brunei Darussalam yang datang bersama keluarganya ke Pondok Rempah.
Bagi warga Indonesia, restoran-restoran itu jelas menjadi tempat melepas kerinduan lidah pada rempah Nusantara. Selain itu, tentu restoran-restoran tersebut menjadi titik perjumpaan warga Indonesia yang tinggal di Melbourne. ”Saya senang sekarang sudah bisa makan makanan dari banyak daerah di Nusantara di Melbourne,” ujar Sastra Wijaya, pensiunan wartawan yang menetap di Australia.
Terus bertambah
Sastra menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir jumlah restoran Indonesia di Melbourne terus bertambah. Yang terbaru adalah restoran masakan Manado bernama Kantin di Lygon Street. Menu andalannya ayam woku, ayam rica, dan iga sapi panggang.
Saya senang sekarang sudah bisa makan makanan dari banyak daerah di Nusantara di Melbourne.
Suasana ini berbeda dengan masa sebelum pandemi Covid-19. Kala itu banyak restoran Indonesia bermunculan, tetapi sebagian besar tak bertahan lama. Kini restoran-restoran terus tumbuh meski komunitas Indonesia di Melbourne tak banyak berubah jumlahnya, berkisar 10.000-15.000 orang.
”Artinya orang-orang Indonesia punya keberanian membuka usaha di sini dan pintar membidik pasar,” kata Sastra.
Restoran cita rasa Nusantara bahkan merambah pinggiran Melbourne seperti di Hampton Park yang berjarak 1 jam perjalanan dengan kereta dari pusat kota. Di situ terdapat restoran Pondok Betawi yang menyediakan gado-gado, tahu cabai garam, ayam penyet, dan capcai. ”Rupanya mereka menemukan kantong orang Indonesia di sana sehingga berani membuka restoran,” ujar Sastra.
Di bilangan Springvale, tak jauh dari Monash University, sekitar 30 menit dari pusat kota Melbourne, berdiri Dapur Indo Melbourne yang menjual menu ramesan. Harganya miring dibandingkan dengan rata-rata harga di restoran pusat kota. Ada nasi uduk dengan harga 7,5 dollar Australia (Rp 76.000), jauh lebih murah dari seporsi menu yang sama di pusat kota yang bisa mencapai 20 dollar Australia (Rp 204.000).
Tersedia pula aneka gorengan seharga 3 dollar Australia per potong, lontong dan bubur ayam seharga 9 dollar Australia, dan bakmi ayam seharga 18 dollar Australia.
Pemiliknya, Misniarti atau akrab disapa Mbak Atiek, menuturkan, banyak pelanggannya orang lokal. Mereka pesan dalam bentuk katering. Warga lokal itu justru mencari-cari tempe dan sayur nangka yang makin digemari karena sehat.
Di Clayton Road terdapat restoran D’Penyetz & D’Cendol yang sesuai namanya menjual menu penyetan dan cendol. Tak jauh dari situ ada Pondok Bamboe Kuning (PBK) Noodles yang menyediakan beragam masakan mi khas Pluit dan kopi Aceh yang sedap.
Ketua Indonesian Culinary Association of Victoria (ICAV) Michael Samsir mengatakan, saat ini terdapat sekitar 50 restoran Indonesia di seluruh Negara Bagian Victoria. Sekitar 30 persen di antaranya adalah restoran nasi padang atau setidaknya menyediakan masakan Padang seperti Tambo Ciek, Garam Merica, dan Selero Kito Padang Rose Lane.
Gotong royong
Tak mudah menjalankan bisnis menyajikan cita rasa Nusantara di luar negeri seperti ini. Inflasi saat ini membuat beberapa pemilik restoran terpaksa menaikkan harga 20-30 persen. Mbak Atiek mengatakan tak mungkin lagi menahan harga murah karena tingginya kenaikan upah pekerja dan harga bahan makanan. Akibatnya ia semakin sulit bersaing dengan restoran China dan Malaysia yang bisa jauh lebih murah memasang harga.
Sebelumnya, kala pandemi Covid-19 melanda, mereka juga harus berjuang menghadapi ketatnya kebijakan penutupan wilayah atau lockdown. Di sinilah jiwa gotong royong khas Indonesia berperan.
Untuk bertahan hidup, mereka bekerja sama membuat grup percakapan berisi pengelola restoran dan pelanggannya. Dengan cara itu, meski tak bisa berjualan di restoran, mereka tetap mendapat pesanan. Para pelanggan pun tetap bisa menyantap makanan Indonesia.
Bersama-sama mereka juga menjadi ”pasukan” diplomasi kelezatan masakan Indonesia di kancah internasional. ”Kuliner memang sejak dulu penuh misteri dan menarik. Orang bisa mempromosikan suatu budaya dari makanannya,” ujar Samsir.
Saat ini, menurut Sastra, jumlah restoran Indonesia di Melbourne masih kalah dibandingkan dengan restoran Malaysia. Lantaran cita rasanya dianggap mirip, restoran Indonesia harus ”berebut” pasar dengan restoran Malaysia.
Namun, bagi yang sudah mengenalnya, kelezatan rendang, ayam betutu, atau ayam geprek tak ada duanya. Kekayaan cita rasa Nusantara yang kaya rempah akan selalu membawa kerinduan untuk menyantapnya kembali di mana pun berada.