Diaspora, Tak Lelah Mengenalkan Indonesia pada Dunia
Mahasiswa Indonesia banyak berkiprah di negara-negara lain yang ternyata belum mengetahui tentang Indonesia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Di tengah berbagai diplomasi Indonesia, antara lain sebagai ketua bergilir forum 20 negara berperekonomian terbesar dunia atau G20, ternyata masyarakat internasional belum banyak mengetahui soal Indonesia. Ini bahkan terjadi di lingkungan akademik.
Hal ini mungkin terdengar mengherankan, tetapi demikianlah pengalaman para mahasiswa pascasarjana dari Indonesia yang tengah menempuh pendidikan lanjut di luar negeri. Oleh sebab itu, mereka berusaha mengenalkan Tanah Air kepada rekan sejawat maupun warga lokal di tempat mereka berada sekarang.
"Saya bertemu rekan peneliti dari Eropa yang mengira Indonesia itu negara kecil berpenduduk di bawah 20 juta. Pernah ada juga yang bertanya bukannya Indonesia itu kerajaan? Saya kaget, padahal lingkungan saya lingkungan peneliti dan akademisi," kata Rachmad Gustomy, mahasiswa Indonesia di Inggris. Ia sedang menjalani kuliah S3 di Universitas Birmingham, yakni di Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional, ketika dikontak dari Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Serupa dengan penuturan Hari Firmanda, mahasiswa S3 di Jurusan Teknik Pembelajaran Universitas Negara Bagian Ohio (Ohio State University), Amerika Serikat. Teman-teman di lingkungan kampusnya tahu tentang Thailand dan mengira Indonesia hanya titik kecil di suatu tempat di dekat Negara Gajah Putih itu.
"Begitu mereka tahu Indonesia berpenduduk 270 juta jiwa dengan 17.000 pulau, 300 suku bangsa, 700 bahasa, negara demokrasi, dan pernah mempunyai perempuan presiden, baru mereka terkaget-kaget," kata Hari.
Hari menceritakan, umumnya setelah ia memperkenalkan Indonesia, teman-teman kuliahnya bertanya "Kok bisa masyarakat semajemuk itu satu bangsa?". Mereka juga menanyakan penerapan demokrasi di Indonesia yang oleh Hari dijelaskan banyak naik dan turun.
Di Inggris, Rachmad menjelaskan kepada sejawatnya bahwa Indonesia berkonstitusi sekuler, tetapi menghargai dan menjamin kemerdekaan beragama, meskipun banyak perjuangannya. Ia juga menerangkan mengenai Islam dan demokrasi yang bisa bahu-membahu.
"Umumnya, penelitian mengenai Islam dan demokrasi di Eropa sangat condong ke Timur Tengah. Baru ketika tahu tentang Indonesia, teman-teman mencari sendiri berbagai literatur tentang demokrasi di Indonesia," tuturnya.
Di Taiwan, Patrick Kurniawan, mahasiswa S2 Hubungan Internasional Universitas Nasional Cheng Chi (NCCU) mengatakan, masyarakat Taiwan relatif mengenal Indonesia. Hal ini karena jumlah mahasiswa Indonesia di sana banyak. Apalagi, 70 persen pekerja migran di Taiwan berasal dari Indonesia.
"Namun, pengetahuannya masih terbatas. Cuma tahu tempat-tempat pariwisata seperti Bali dan Borobudur. Beberapa orang awam yang saya temui ada yang berbisnis dengan perusahaan di Indonesia," ujarnya.
Mengenalkan Indonesia
Ketiga mahasiswa tersebut memiliki cara masing-masing untuk mengenalkan masyarakat setempat kepada Indonesia. Di Columbus, Ohio, Hari kebetulan tahun ini menjadi koordinator acara Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Para mahasiswa Indonesia akan berkumpul dan menggelar berbagai acara, mulai dari peragaan busana tradisional sampai lomba khas 17-an.
"Ada teman yang kemarin pulang ke Indonesia, kami menitip kerupuk kepadanya untuk dipakai lomba makan kerupuk nanti," tuturnya.
Di Taiwan, kampus-kampus secara umum memfasilitasi berbagai kegiatan mahasiswa internasional. Menurut Patrick, orang-orang Taiwan pada dasarnya juga penasaran dan sangat antusias berkenalan dengan budaya-budaya lain. Mahasiswa Indonesia kerap membuka kios jajanan setiap kali kampus menggelar acara.
"Kalau di NCCU, orang-orang sini senang sekali jajan bakwan sayur. Mereka bingung sayur digoreng tepung bisa seenak itu," tuturnya. Sambil melayani para pembeli, mahasiswa biasanya bercerita mengenai Indonesia.
Sementara Rachmad memilih metode yang lebih akademik, yaitu melalui berbagai diskusi dengan sesama peneliti. Dari diskusi itu, rekan-rekannya terpantik untuk membaca lebih mendalam tentang Indonesia dan setelah itu mereka membahas lebih lanjut.
Diplomasi nonkonvensional
Patrick mengatakan, selama di Taiwan ia banyak belajar mengenai diplomasi nonkonvensional. Hal ini berkaca dari status Taiwan sendiri sebagai kepulauan kecil dengan penduduk sedikit, militer kecil, bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi memiliki pengaruh global yang besar.
Taiwan mengambil peran penting sebagai produsen 90 persen semikonduktor dunia. Mereka juga banyak melakukan kerja sama ekonomi, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Apalagi, sekarang Taiwan memiliki program New Southbound Policy (Kebijakan Selatan Baru) yang fokus di Asia Tenggara.
"Indonesia sejatinya sudah punya modal sosial di Taiwan karena ada banyak pelajar dan pekerjanya di sini. Harus ada koordinasi dari pemerintah kita supaya modal ini bisa dimanfaatkan dengan baik," ujarnya.
Adapun Hari dan Rachmad mengemukakan bahwa konsentrasi promosi mengenai Indonesia oleh pemerintah maupun diaspora di AS dan Inggris memang masih di kota-kota besar. Kebetulan, mereka berkuliah bukan di kota-kota yang memiliki komunitas orang Indonesia besar sehingga perlu kesabaran lebih besar untuk mengenalkan Tanah Air kepada masyarakat lokal.