PM Palestina Mundur untuk Buka Jalan Pemerintahan Bersatu
Shtayyeh mundur dari jabatan PM Palestina demi membuka jalan pembentukan konsensus nasional di Palestina.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
RAMALLAH, SENIN — Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengajukan permohonan pengunduran diri. Hal ini ia lakukan untuk membuka pintu bagi pembentukan konsensus luas di Palestina agar bisa membangun kekuatan politik menyusul perang antara kelompok Hamas dan Israel di Gaza. Tujuan akhirnya ialah agar Otoritas Palestina bisa menjadi kekuatan yang berkompetensi memimpin di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Pengumuman pengunduran diri Shtayyeh disampaikan di Tepi Barat pada Senin (26/2/2024). ”Sebenarnya, saya sudah mengutarakan secara lisan kepada Presiden Mahmoud Abbas pada Selasa (20/2/2024). Akan tetapi, surat resminya baru saya ajukan hari ini,” kata Shtayyeh, seperti dikutip oleh kantor berita Palestina, Wafa.
Pengunduran diri Shtayyeh berlangsung di tengah tekanan Amerika Serikat (AS) terhadap Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk merevitalisasi Otoritas Palestina. Langkah AS itu merupakan bagian dari serangkaian upaya menyiapkan struktur politik di Palestina yang akan memerintah, termasuk di Gaza, ketika perang Hamas-Israel kelak berakhir meski hal itu ditentang pemerintahan PM Israel Benjamin Netanyahu.
Shtayyeh adalah ahli ekonomi yang mengabdi sebagai perdana menteri sejak tahun 2019. Di dalam pengumuman itu, ia juga mengucapkan terima kasih kepada Abbas yang memimpin Palestina di masa-masa sulit.
Shtayyeh menyebut antara lain soal devaluasi mata uang Palestina oleh Israel, pandemi Covid-19, perang Rusia dengan Ukraina yang memengaruhi ketahanan pangan, dan kini perang antara Israel dan Hamas.
”Palestina harus membuka mata dan menghadapi situasi politik, keamanan, dan ekonomi sekarang yang diserang secara dahsyat dan bertubi-tubi. Kita menghadapi peningkatan tindak kekerasan di Tepi Barat, termasuk di Jerusalem. Pada level internasional, UNRWA, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi para pengungsi, dipereteli secara sistematis,” tutur Shtayyeh.
Menurut dia, di dalam perang sekarang, tidak ada satu pun pihak yang mematuhi berbagai perjanjian tertulis yang telah ditandatangani. Otoritas Palestina berkuasa, tetapi tanpa kewenangan atas keamanan. Hal ini kontraproduktif terhadap perjuangan untuk bangsa dan negara Palestina yang merdeka.
Pengunduran diri Shtayyeh ini masih harus disetujui oleh Abbas. Sejumlah pengamat berpendapat, ada kemungkinan Abbas tidak akan mengizinkannya karena Shtayyeh masih berperan penting di dalam kinerja Otoritas Palestina. Kalaupun Shtayyeh mundur dari jabatan perdana menteri, ia diperkirakan tidak akan keluar sepenuhnya dari Otoritas Palestina dan akan diberi posisi yang baru.
Dari pihak Hamas, tanggapan atas pengunduran diri Shtayyeh ini diutarakan oleh salah satu pejabat senior, yaitu Sami Abu Zuhri. ”Pengunduran diri pemerintahan yang dipimpin oleh Shtayyeh hanya bermakna apabila berlandaskan konsensus masyarakat Palestina. Konsensus ini diperlukan untuk menentukan masa depan Palestina dan langkah-langkah yang harus diambil untuk mewujudkannya,” katanya.
Fatah dan Hamas telah berupaya mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan bersatu. Mereka dijadwalkan berunding di Moskwa, Rusia, Rabu (28/2/2024).
Satu otoritas
Otoritas Palestina dibentuk, 30 tahun silam, berdasarkan Kesepakatan Oslo untuk menjadi pemerintahan sementara di Palestina. Palestina terbelah menjadi dua wilayah, yaitu Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Otoritas Palestina, yang didominasi para anggota faksi Fatah, berkuasa di Tepi Barat dengan ibu kota di Ramallah. Mereka kehilangan kontrol atas Jalur Gaza sejak tahun 2007. Sejak itu wilayah Gaza dikuasai kelompok Hamas.
Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, mendukung solusi dua negara. Dengan formula itu, Palestina dan Israel menjadi dua negara merdeka yang hidup berdampingan dan damai. Otoritas Palestina sebagai pemerintahan ad interim yang diakui komunitas internasional.
Pada Desember 2023, Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan telah mengutarakan dukungan AS kepada Otoritas Palestina untuk melakukan reformasi. Meskipun demikian, belum ada penjelasan mengenai bentuk reformasinya. Di pihak lain, popularitas Abbas sebagai presiden Palestina juga terus menurun.
Dalam jajak pendapat oleh Pusat Kajian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR), sebanyak 88 persen responden justru menginginkan Abbas yang mundur dari pemerintahan. Malah, responden menganggap Marwan Barghouti, tokoh Fatah yang dianggap sebagai ”Nelson Mandela-nya Palestina” jauh lebih mumpuni sebagai pemimpin. Barghouti saat ini dihukum penjara seumur hidup oleh Israel.
Selain itu, Israel menolak solusi dua negara. Penolakan ini awalnya dikatakan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pada Rabu (21/2/2024), sebanyak 99 dari 120 anggota Knesset memilih bahwa mereka juga tidak menyetujui solusi dua negara.
Mereka mengatakan, jika ada pendirian negara Palestina, harus dilakukan melalui perundingan antara Israel dan Palestina. Bukan karena dunia menginginkannya karena Israel tidak akan mengikuti keputusan unilateral.
Jalan menuju perundingan masih belum terbangun karena baik Israel maupun Hamas sama-sama menolak persyaratan satu sama lain. Israel menginginkan Hamas membebaskan 130 warga Israel yang masih mereka sandera. Hamas menginginkan Israel menarik pasukan dari Gaza dan membebaskan semua tawanan politik.
Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed Abdulrahman al-Thani mengeluhkan persoalan pembebasan sandera ini menjadi ganjalan bagi pengupayaan gencatan senjata di Gaza. ”Gencatan senjata harusnya tanpa syarat. Negosiasi pembebasan sandera semestinya dilakukan secara terpisah,” ujarnya. (REUTERS)