Para pemegang hak veto PBB mengabaikan suara komunitas internasional. Butuh tatanan global baru.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
RIO DE JANIERO, RABU — Perang Ukraina dan Perang Gaza menunjukkan dunia membutuhkan tatanan global baru. Sistem internasional kini lumpuh, antara lain, akibat ulah negara-negara besar.
Koordinator Agenda G-20 Brasil, Mauricio Lyrio, menyebutkan sudah saatnya komunitas internasional lebih serius merombak tatanan global. ”Jumlah dan dampak konflik kembali aras perang dingin. Kita perlu mengadopsi sistem internasional baru untuk mencegah konflik baru,” ujarnya Selasa (20/2/2024) siang waktu Rio de Janeiro atau Rabu pagi WIB.
Para menteri luar negeri anggota G-20 dan mitranya, termasuk menlu AS dan Rusia, hadir di Rio de Janeiro. Lyrio menyebut, sistem sekarang hanya memperburuk konflik global.
Para pemegang hak veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengabaikan suara komunitas internasional. Lewat veto pada Selasa siang di sidang Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat kembali melumpuhkan sistem internasional untuk menghentikan perang di Gaza. Sementara Rusia, yang juga memegang hak veto, sedang menyerbu Ukraina.
Isu Gaza dan Ukraina kembali menjadi bahasan pertemuan para menlu G-20. Dalam pertemuan Kamis, perombakan tatanan global jadi pembahasan khusus para menlu.
Ada kebutuhan mendesak untuk mencapai, tanpa menunda lagi, kesepakatan gencatan senjata yang akan melindungi semua warga sipil.
Menlu RI Retno Marsudi akan ikut sidang itu sebelum terbang di Den Haag, Belanda. Pada Jumat di Mahkamah Internasional (ICJ), Retno akan membacakan pandangan Indonesia atas pendudukan Israel di Tepi Barat.
Majelis Umum PBB meminta ICJ mengeluarkan fatwa atas pendudukan itu dan konsekuensi hukumnya. Sidang berlangsung sejak Senin lalu dan dijadwalkan sampai Senin mendatang.
Keputusan memalukan
Di sela rangkaian sidang itu, DK PBB kembali membahas rancangan resolusi soal gencatan senjata di Gaza. Resolusi yang diusulkan Aljazair itu mentah akibat veto AS.
Wakil Tetap AS di PBB Linda Thomas-Greenfield menyebut, gencatan senjata harus berimbang. ”Meminta gencatan senjata segera, tanpa syarat, tanpa kesepakatan yang meminta Hamas membebaskan semua sandera tidak akan menghasilkan perdamaian yang bertahan lama. Sebaliknya, malah akan memperpanjang pertempuran Hamas dan Israel,” ujarnya.
Direktur International Crisis Group kantor PBB Richard Gowan menyebut, veto AS memalukan. Lebih memalukan lagi, veto dipakai beberapa hari sebelum dunia memperingati dua tahun serangan Rusia ke Ukraina.
Untuk isu Ukraina, AS dan sekutunya begitu getol mengecam Rusia. Sementara dalam isu Gaza, AS dan sekutunya terus membantu Israel terhindar dari sanksi dan tekanan internasional. AS memasok senjata dan menyediakan tameng diplomatik bagi Israel.
Direktur Quincy Institute Trita Parsi menyebutkan, AS selalu menjegal setiap upaya bina damai di Palestina. ”Mereka memveto setiap resolusi yang akan menekan Israel untuk mematuhi kewajibannya,” ujar direktur lembaga kajian di Washington DC itu.
AS selalu beralasan setiap resolusi PBB soal Tepi Barat dan Gaza akan melemahkan upaya perdamaian di Tepi Barat dan Gaza. Faktanya, AS terus gagal menghentikan perang Gaza yang telah menewaskan lebih dari 28.000 orang. Sebab, AS dan Israel kompak menjegal berbagai upaya penghentian pertempuran di Gaza. ”Veto AS yang melemahkan peluang perdamaian,” katanya.
AS, menurut Parsi, membuat Israel leluasa melanggar hukum internasional. Hasilnya, Israel leluasa memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat. Tindakan Israel semakin menyulitkan pembentukan negara Palestina seperti dimandatkan PBB. ”Semua terjadi saat posisi resmi AS semakin mendekati kebijakan Israel yang radikal,” ujarnya.
Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu disebutnya sebagai perintang upaya perdamaian. ”Kerusakan posisi AS akibat ulah Biden amat jelas. Tidak mengejutkan bahwa sejak 7 Oktober, AS berhenti menggunakan istilah tatanan internasional berbasis aturan,” ujarnya.
Reaksi negara lain
Wakil Tetap Perancis di PBB Nicholas de Riviere menyesalkan kegagalan DK PBB mengadopsi resolusi soal Gaza. Apalagi, situasi di Gaza semakin memburuk. ”Ada kebutuhan mendesak untuk mencapai, tanpa menunda lagi, kesepakatan gencatan senjata yang akan melindungi semua warga sipil dan pengantaran besar-besaran pasokan kemanusiaan,” ujarnya.
Sementara Wakil Tetap Rusia di PBB Vassily Nebenzia menyebutkan, AS memberi Israel izin membantai warga. DK PBB harus menghentikan fenomena pelanggaran hukum tersebut. Semua perkembangan buruk di Gaza sepenuhnya tanggung jawab Washington.
Adapun Wakil Tetap China Zhang Jun mengatakan, veto AS menyiratkan pesan salah. Veto itu membuat situasi Gaza akan semakin memburuk.
Ia tidak paham alasan AS soal resolusi yang diajukan Aljazair itu bisa merusak upaya diplomatik untuk mencari perdamaian di Gaza. Beijing mengingatkan, DK PBB dimandatkan mendorong gencatan senjata. Tanggung jawab itu tidak hilang meski ada veto AS.
Dengar pendapat
Sementara di Den Haag, Wakil Menlu Kuba Anayansi Rodríguez Camejo mengatakan, pendudukan Israel tidak sesuai hukum internasional. ”Sudah disepakati dalam resolusi 242 bahwa tentara Israel mundur dari wilayah (Palestina) sesuai perbatasan 1967. Israel tidak melakukan itu,” ujarnya dalam sidang pada Rabu di Den Haag.
Permukiman Israel di Tepi Barat mengubah komposisi demografi di sana. Permukiman itu melemahkan kemampuan Palestina menggunakan hak menentukan nasib sendiri.
Tindakan Israel tidak sesuai Perjanjian Oslo. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan para pihak dilarang mengubah status Gaza atau Tepi Barat. ”Pengadilan ini tidak boleh membuang waktu lagi sampai suatu bangsa musnah,” ujarnya.
Sementara Kepala Delegasi Kolombia Andrea Jiménez Herrera juga menyebutkan, pendudukan Israel di Tepi Barat melanggar hukum internasional. Adapun menurut Jasmine Moussa, yang mewakili Mesir, Palestina menjadi bangsa yang paling lama dijajah di era modern ini. Ia mengecam sejumlah negara yang menyatakan ICJ tidak berhak membahas pendudukan Israel di Tepi Barat. (AFP/REUTERS)