Netflix sampai Spotify Bakal Lebih Mahal karena Gagasan Indonesia
Perwakilan pebisnis global melobi Indonesia agar tidak memajaki Netflix dan perusahaan sejenis.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
ABU DHABI, MINGGU — Aneka layanan berbasis internet berpeluang naik harganya. Sebab, pemerintah sejumlah negara berusaha menarik pajak dari bisnis digital seperti Netflix dan Spotify itu. Indonesia salah satu pendukung gagasan pemajakan itu.
Gagasan pajak itu salah satu materi pembahasan dalam pertemuan di Uni Emirat Arab. Dalam pertemuan mulai Senin (26/2/2024) di Abu Dhabi, UEA, perwakilan negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan membahas beragam persoalan.
Selain subsidi dan masalah pangan, dibahas juga pajak lokapasar lintas negara. Ada pula pembahasan aneka produk digital lintas negara. Produk itu berlaku untuk musik, film, hingga permainan elektronika yang diakses lewat internet dan pelanggannya lintas negara.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala menyebut, pembahasan itu akan berdampak sekaligus penting bagi banyak pelaku usaha. ”Kami harap para menteri (negara anggota WTO) bisa membuat keputusan layak,” ujarnya.
Usulan berbeda
Sejauh ini, sudah ada sejumlah usulan disampaikan ke WTO. Ada dua usulan soal penundaan pengenaan pajak pada aneka layanan lokapasar dan bisnis produk digital lintas negara. Sementara dua usulan lain, diajukan terpisah oleh India dan Afrika Selatan, meminta sebaliknya.
Penundaan didasarkan pada asumsi biaya akses ke produk digital lintas negara perlu dijaga tetap rendah. Hal itu dengan alasan agar kesenjangan akses di negara miskin dan kaya bisa terus dipersempit.
Harga layanan Netflix, Spotify, Zoom, dan berbagai produk digital lintas negara diklaim bisa murah karena tidak ada pajak lintas negara. Kalau ada pajak, otomatis harganya akan naik.
Dalam kajian WTO, pajak pada penjualan produk digital lintas negara hanya bisa menambah 1 persen pendapatan pemerintah. Kajian itu menguatkan alasan pembebasan pajak lebih besar manfaatnya. Setidaknya 180 asosiasi di sejumlah negara mendukung penundaan pemajakan itu.
Sementara para pendukung pemajakan beralasan, pertumbuhan bisnis digital terus meningkat. Pada 2005-2022, pertumbuhannya mencapai 8 persen. Sebagai pembanding, ekspor barang hanya tumbuh 5,6 persen. Sementara pertumbuhan jasa lain hanya 4,2 persen.
Dalam usulan Afsel disebutkan gagasan lain. Afsel mengusulkan pembentukan dana global untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur digital. Sumber dananya dari pajak atau bentuk kontribusi lain para pebisnis produk digital.
Apa pun bentuk pungutannya, Amerika Serikat paling kencang menolak. Sebab, AS menjadi asal berbagai produk layanan digital global.
Dalam surat pada 13 Februari 2024 kepada pemerintahan AS, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) hingga Asosiasi Program Hiburan AS mendesak Pemerintah AS menolak pemajakan lintas negara. ”Pekerja di industri dan seluruh perekonomian AS akan terdampak,” tulis mereka.
Gagasan lama
Bloomberg melaporkan, pemajakan pada layanan digital sebenarnya sudah digagas lebih dari dua dekade lalu. Pada 1998, WTO sepakat menunda aneka pungutan pada industri tersebut.
Pada Maret 2024, kesepakatan itu habis masa berlakunya. Karena itu, perundingan di Abu Dhabi akan menentukan apakah penundaan akan diteruskan atau tidak. ”Penghentian moratorium ini akan mengejutkan seluruh WTO,” kata mantan Direktur Informasi WTO Keith Rockwell.
Selain Afsel dan India, Indonesia juga mendukung gagasan pemajakan itu. Sejak lama Indonesia merasa hanya menjadi konsumen bagi Netflix, Spotify, dan aneka penyedia layanan hiburan berbasis internet.
Konsumen di Indonesia dan sejumlah negara membayar biaya langganan yang masuk ke perusahaan di AS atau negara lain. Akibatnya, pendapatan dari industri itu mengalir ke AS dan segelintir negara saja.
Karena itu, Indonesia dan sejumlah negara mendorong agar ada pajak terhadap Netflix dan perusahaan sejenis. Alasannya, agar ada dana untuk pengembangan infrastruktur dan industri digital.
Sejauh ini, Indonesia dan para pengusul pajak belum menyebutkan mekanisme pemungutan. Tidak ada penjelasan apakah pajak berdasarkan transaksi, per film atau lagu, atau berdasarkan besaran data produk.
Sejumlah perwakilan pebisnis dilaporkan ke Jakarta sepanjang Januari-Februari 2024. Mereka melobi Pemerintah Indonesia agar tidak mendukung pemajakan. Sikap Indonesia akan diketahui Senin ini. (AFP/AP)