Beragam media sosial dengan keriuhan penghuninya berperan menghidupi industri musik Indonesia. Genre dangdut koplo tak terbendung. Musik pop yang mapan pun kebagian manfaatnya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Industri musik Indonesia selalu menemukan warna baru dengan genre yang beragam. Pada 2023 silam, corak koplo mencapai popularitasnya. Suka tidak suka, lagu-lagu koplo dengan bahasa daerah kian digemari. Peran media sosial mengamplifikasi musik-musik yang semula kurang didengar.
Salah satu pelantar musik digital, Spotify, khusus membuatkan daftar lagu untuk musik bercorak ini dengan titel ”Lagu Ambyar Teratas 2023”. Lima lagu teratas, yang artinya paling banyak diputar, diduduki oleh lagu ”Nemen” dari NDX AKA, ”Sanes” dari Guyon Waton, ”Sewates Konco” dari Lavora, ”Dalan Liyane” dari Happy Asmara, dan ”Dadi Siji” dari Woro Widowati.
Kelima lagu itu meramaikan jagat koplo yang juga tak kalah populer, seperti ”Rungkad” ciptaan Vicky Prasetyo atau ”Care Bebek” yang diyanyikan Jegeg Bulan. Lagu ”Rungkad” memenangi kategori baru Artis Solo/Grup/Kolaborasi Koplo Terbaik di ajang Anugerah Musik Indonesia ke-26 yang dihelat pada November silam.
Peran media sosial dan pelantar musik digital turut mengerek popularitas corak musik ini. Vicky mengakui hal itu. Semula, Vicky merasa kesulitan membuat orang tertarik pada karyanya. Namun, dia bekerja sama dengan sesama penyanyi di Jawa Timur yang punya pengikut banyak. Ini membuat pemirsa Youtube-nya terkerek naik.
Peran media sosial dan pelantar musik digital turut mengerek popularitas corak musik ini.
Belakangan, ia mengombinasikan juga media sosial lain setelah memahami lagunya kerap dijadikan lagu latar konten yang kemudian viral. ”Youtube itu membantu banget buat kami di daerah. Caranya ya, terus rajin bikin video Youtube itu karena putarannya cepat,” ujar Vicky.
Hal ini tentu memiliki dampak positif terkait perputaran musik Indonesia yang tak semata terpusat di ibu kota. Tiap daerah kemudian bisa bersaing dan melahirkan musisi yang patut dipertimbangkan keistimewaan bermusiknya. Terlebih kehadiran media sosial memudahkan distribusi yang sejak lama dimonopoli.
Dampaknya terasa benar. Dari ranah media sosial, irama dangdut koplo, yang dianggap musik pinggiran, merambah ke festival gedongan. Denny Caknan menghangatkan penonton dengan tembang ”Kartonyono Medhot Janji” di ajang festival Jazz Gunung Bromo.
Senggakan khas koplo ”hok’a hok’e” bergaung di festival besar, seperti Pestapora dan Synchronize. Penampil seperti Feel Koplo dan Prontaxan adalah jaminan menambah euforia. Grup Barakatak yang memopulerkan frasa ”dibilang asyik ya memang asyik” belakangan jadi sering manggung lagi.
Peran media sosial tak cuma mengangkat ”derajat” dangdut koplo saja, yang dua dekade lalu direndahkan patron dangdut nasional. Kancah pop yang lebih mapan juga merasakan manfaatnya.
Musisi pop sekaligus produser Arya Aditya Ramadhya, yang akrab disapa Lale, menjelaskan, media sosial memiliki efek yang besar terhadap pola pemasaran dan distribusi di masa kini. Ia menjajalnya bersama kelompok musiknyam Maliq & D’essentials, ketika merilis singel teranyarnya, ”Aduh”.
Sempat enggan lalu berupaya mencoba tapi tak signifikan, Maliq akhirnya masuk lagi ke Tiktok ketika hendak mempromosikan ”Aduh”. ”Pernah coba yang joget-joget, emang enggak work buat kami. Akhirnya, coba deh unggah teaser lagu yang juga bisa dipasang jadi backsound konten gitu. Ternyata hasilnya di luar dugaan,” ungkap Lale.
Dalam beberapa hari, Maliq menggaet ribuan pendengar dari pelantar digital. ”Jadi, dari cuma dengerdikit atau dari backsound yang dipakai itu bikin mereka cari lagunya secara full di penyedia layanan streaming. Mulai belajar polanya juga kemudian,” kata Lale.
Di sisi lain, kehadiran pelantar digital juga membuat musik makin beragam. Kini, siapa pun punya kesempatan untuk naik daun. Salah satu yang tak mati dan kian memperoleh porsi adalah genre alternatif, seperti Barasuara, Lomba Sihir, Hindia, dan Reality Club.
Lirik lagu dari cerita personal mereka, yang ternyata dirasakan juga banyak orang, dipadu musik yang mengentak khas, membuat para pendengarnya cukup loyal menanti tiap lagu baru mereka. Mereka pun rajin berkolaborasi dan berinovasi sesuai jati diri masing-masing meski kadang menuai kontroversi.
Ini berlaku juga untuk genre pop. Penyanyi seperti Aruma, Idgitaf, Sal Priadi, dan Nadin Amizah akrab dengan lirik yang berasal dari pengalaman pribadinya. Tanpa disadari, lirik semacam ini membangun kedekatan dengan para pendengar dan jadi magnet tersendiri bagi anak-anak muda.
Natasha Udu, vokalis Lomba Sihir, mengungkapkan, tak akan ada lagu jika mereka atau salah satu personel tidak pernah mengalaminya. ”Kita punya cerita, maka dari itu punya lagu untuk ditulis. Itu akan tersampaikan dengan baik kalau dari hati, jadi pasti kita pernah alami,” ungkapnya.
Lagu ”Hati dan Paru-paru” atau ”Nirrrlaba” di album pertama mereka, yang sering cukup tinggi angka streaming-nya, misalnya, memang bercerita tentang keseharian orang di Jakarta, bahkan ada yang dialami juga di kota lain. ”Hati dan Paru-paru” menggambarkan, jika ingin segera mendapat posisi atau karier yang moncer, maka berlaku sedikit licik pun tak apa. Relate dengan dunia kerja.
Meski demikian, di beberapa lini, lagu-lagu pop cinta mendayu tetap mendapat tempatnya sendiri. Merujuk perkataan Kunto Aji, musisi saat ini memiliki porsi kue masing-masing dengan segmentasi pendengarnya sendiri. Hal ini positif karena tiap musisi bisa bebas berkarya dengan idealisme dan nilai diri masing-masing karena selalu ada pendengar.