Gagasan cerita dari dua peserta Series Pitch Lab, yakni Morbid Meadows dan Circus, terpilih untuk dikembangkan menjadi serial yang akan ditayangkan di Netflix.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gagasan cerita dari dua peserta Series Pitch Lab, yakni Morbid Meadows dan Circus, terpilih untuk dikembangkan menjadi serial yang akan ditayangkan di Netflix. Agenda Series Pitch Lab yang merupakan kolaborasi Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) dengan Netflix ini diikuti 20 peserta yang sudah disaring dari ratusan pendaftar.
”Kami selalu membutuhkan sesuatu yang baru, sesuatu yang segar. Variasi genre juga menjadi alasan untuk mengembangkan konten. Di sini, kami menemukan genre yang diyakini mendapat ruang yang cukup besar dan bisa mendorong yang lain dengan genre serupa untuk maju jika ini sukses,” ucap Coordinator Local Originals Netflix Jaka Ady Saputra sebelum mengumumkan peserta terpilih di Yogyakarta, Kamis (30/11/2023).
Selanjutnya, Jaka mengumumkan Morbid Meadows yang diawaki Hanna Humaira dan Adriano Rudiman sebagai peserta terpilih pertama. Hanna dan Dio dimentori oleh sutradara Kamila Andini sepanjang sesi bimbingan yang berlangsung selama enam minggu.
Program Series Pitch Lab yang didukung oleh University of Southern California (USC) ini telah berlangsung sejak 16 Agustus hingga 30 November 2023. Ada lebih dari 180 proposal yang masuk dan terseleksi menjadi 20 peserta yang berhak mengikuti sesi bimbingan dan pelatihan hampir sepanjang dua bulan. Sesi ini dipegang oleh empat mentor, yakni Kamila Andini, Produser Gita Fara, Produser Muhammad Zaidy, serta Penulis dan Sutradara Yandy Laurens.
Selain Morbid Meadows, ide yang ditawarkan Circus yang dimotori Candra Aditya dan Tazia Teresa juga terpilih untuk diwujudkan. Keduanya juga dimentori oleh Kamila Andini selama proses bimbingan dan pelatihan yang diselenggarakan di Jakarta.
”Mereka bisa membuat cerita yang dari teksturnya itu di luar bayangan aku. Untuk Morbid Meadows, genre yang diberikan itu punya root yang sangat kuat. Ide dan risetnya juga dieksplor dengan baik. Circus menarik karena mengambil latar anak SMA, tetapi dengan nuansa perpolitikan yang relevan,” tutur Dini yang merupakan mentor keduanya.
Lanskap negeri
Meski keduanya berbeda genre, nuansa dan cerita yang disuguhkan tidak lepas dari kondisi sosial yang ada di Indonesia. Tazia menjelaskan, dirinya dan Candra sangat menyukai film dan serial remaja. Berangkat dari kegemarannya ini, mereka menjadi lebih leluasa dalam mengembangkan cerita hingga fokusnya bukan pada cinta-cintaan khas anak remaja, melainkan malah pada intrik politik pemilihan ketua OSIS.
”Ini sebenarnya diadaptasi dari film pendek aku 2017. Kami pun yakin cikal bakal politik itu sudah terjadi sehak dini. Salah satunya ketika di sekolah. Pemilihan ketua OSIS itu jadi semacam miniatur lanskap politik di negeri ini. Karena buat kami, film atau serial remaja ini harusnya enggak cuma menghibur saja,” tutur Candra.
Film pendek milik Candra yang berjudul Carnivale (2017) saat itu berkisah tentang persaingan sejumlah kelompok siswa, seperti kelompok religius, kelompok terpinggirkan, dan kelompok populer untuk memenangkan jabatan ketua OSIS. ”Di sini, kami melihat ada kesamaan nih remaja dan politikus. Mereka sama-sama punya keinginan untuk berkuasa, ingin dilihat dan dianggap oleh orang-orang,” ujar Tazia.
Sementara itu, Hanna dari Morbid Meadows juga mengungkapkan inspirasinya dari kecintaan terhadap genre misteri, seperti serial Stranger Things dan Dark. Di sisi lain, pengalaman personal yang dialami Hanna dan keluarga yang tinggal di Kediri, mengenai mitos dan folklor yang ada, juga melandasi bangunan cerita yang dihadirkan.
”Melekat juga dengan cerita personal tentang kehidupan dan kematian, serta bagaimana kita menyikapi kematian. Jadi, lapisannya nanti ada misteri, petualangan, konspirasi, dan ada satu karakter politikus yang datang ke kota itu untuk mengumpulkan suara, tetapi justru terikat juga dengan konflik yang ada di masyarakat,” papar Hanna.
Ia pun menambahkan, riset yang dilakukannya sudah panjang sebelum mengikuti pelatihan. Kendati demikian, ia dan rekannya tak mau mengacu pada satu daerah tertentu sehingga kota sebagai latar serialnya nanti adalah sebuah kota fiktif.
Direktur Eksekutif JAFF Ifa Isfansyah menyampaikan cukup senang dengan munculnya konsep cerita dari para talenta muda ini. Sebab, keberadaan dunia layar Indonesia saat ini juga bergantung pada anak-anak muda dengan imajinasi dan kreativitasnya. Ia pun memberi semangat kepada peserta lain yang belum terpilih untuk terus berkarya.
”Bukan berarti berhenti di sini. Idenya bisa dikembangkan lagi sesuai dengan masukan yang sudah diberikan. Program ini juga bukan hanya sekadar menemukan bakat baru, melainkan juga butuh komitmen untuk melanjutkan semuanya. Yang terpenting, apa pun yang terjadi di sini bukan jadi alasan project kalian berhenti,” kata Ifa.