Utang Negara AS Menjadi Keprihatinan di Tengah Beban Geopolitik
Kesinambungan utang dan terus mengandalkan utang adalah hal mustahil bagi negara mana pun.
Sejak invasi kedua Amerika Serikat di Irak pada 2003, sudah muncul keprihatinan tentang potensi beban utang negara AS di masa depan. Ekonom AS, Joseph E Stiglitz, menyatakan, invasi ke Irak oleh AS, negara dengan tingkat tabungan nol persen, akan membuat utang terpaksa bertambah.
Biaya invasi tidak hanya untuk keperluan serangan, tetapi juga kompensasi bagi aparat militer yang cedera dan biaya mempertahankan pasukan AS di Irak bertahun-tahun. Maka, ketika dikatakan biaya invasi pada awalnya hanya sekitar 100 miliar dollar AS, Stiglitz mengalkulasi biaya invasi bisa mencapai triliunan dollar AS selama bertahun-tahun kependudukan di Irak.
Baca juga: Utang Pemerintah Amerika Serikat 26 Triliun Dollar AS
Peringatan ini tidak diindahkan, sebagaimana kesahihan invasi itu juga tidak diindahkan. Bukti keberadaan senjata pemusnah massal yang didengungkan Pemerintah AS, sebagai alasan invasi ke Irak, tidak juga pernah ditemukan.
Ini hanya salah satu contoh. Kedisiplinan dalam hal keuangan negara bukan ciri khas perekonomian AS dalam 40 tahun terakhir. The Financial Times, 2 November 2023, menuliskan, disiplin anggaran bukan prioritas bagi Republikan, terutama pada era Ronald Reagan, George W Bush, hingga Donald Trump.
Meski demikian, seruan akan pentingnya disiplin keuangan negara tidak pernah sirna. Peter R Orszag, Vice Chairman of Investment Banking, Managing Director, and Global Co-Head of Healthcare–Lazard, pada situs The Brookings, 28 September 2006, menuliskan seruan akan pentingnya disiplin anggaran. Penting bagi AS mengalokasikan dana anggaran secara saksama dan memikirkan sumber penerimaan negara untuk pengeluaran sehingga tidak melulu mengandalkan utang-utang baru.
Seruan ini juga tenggelam di bawah pemerintahan Bush yunior. Saat pengeluaran meningkat, termasuk biaya invasi Irak, Bush malah mencanangkan pengurangan penerimaan pajak. Di kemudian hari, program penurunan pajak ini disebut sebagai penyebab utama kenaikan utang yang sudah mencapai 34 triliun dollar AS sekarang ini.
Penting bagi AS mengalokasikan dana anggaran secara saksama dan memikirkan sumber penerimaan negara untuk pengeluaran sehingga tidak melulu mengandalkan utang-utang baru.
Pada era Presiden Barack Obama, utang bertambah pesat, meski hal itu demi penyelamatan depresi ekonomi terbesar AS sejak malaise 1929. Penalangan dana pada perusahaan-perusahaan bangkrut membuat negara terbebani pengeluaran besar. Obama ketiban beban akibat buruknya manajemen keuangan korporasi-korporasi raksasa AS, buah reformasi dan deliberalisasi sektor keuangan di era Bush.
Keyakinan yang salah akan efek penurun pajak terhadap pertumbuhan juga berlanjut di era Trump. Defisit anggaran dinaikkan, penerimaan pajak dikurangi. Tujuannya, agar konsumsi meningkat dan pertumbuhan terjadi.
Falsafah besar pasak daripada tiang sangat nyata dalam manajemen keuangan negara AS. Ketika ditanyakan apakah negara tidak akan bangkrut jika utang terus ditambah, jawaban Trump simpel saja: jika negara bangkrut, dia tidak akan bertanggung jawab karena tidak akan memimpin lagi.
Nihil sikap negarawan
Penumpukan utang AS bukan semata-mata akibat sikap blunder kubu Republikan. Kubu Demokrat juga relatif tidak teruji soal disiplin keuangan negara. Era Bill Clinton dikenal sebagai era penurunan penerimaan dari pajak diiringi dengan peningkatan utang. Hal serupa relatif berlanjut di era Presiden Joe Biden saat ini.
Faktor paling pas menjelaskan fenomena ini adalah hasil analisis ekonom Michael Porter. Dua partai besar AS, Republikan dan Demokrat, dijalankan dengan strategi yang salah. Hal penting bagi dua partai besar di AS bukan kekuatan negara di masa depan, melainkan kepentingan dua partai. Maka, setiap kali partai memiliki presiden yang memimpin, misinya adalah memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan partai, bukan kepentingan negara.
Baca juga: Batas Utang, Pemicu Ancaman Kebuntuan Setiap Tahun di Amerika Serikat
Untuk rambu-rambu ekonomi, tidak akan ada kepedulian mendasar. Hal terpenting, setiap presiden bisa menaikkan anggaran di segala bidang meski hal itu hanya dengan mengandalkan utang. Itulah fakta yang terjadi selama bertahun-tahun hingga sekarang. Tidak terlihat disiplin jelas secara keuangan bagi Pemerintah AS, demikian halnya korporasi swasta.
Fenomena ini sudah lama menjadi pengamatan ahli sejarah dari Yale University, Paul Kennedy. Ia katakan, kesinambungan utang dan terus mengandalkan utang adalah hal mustahil bagi negara mana pun. Negara mengandalkan utang hanya bisa terjadi di saat ekonomi negara itu masih bertumbuh. Dengan pertumbuhan yang rata-rata rendah dari tahun ke tahun, sumber penerimaan negara tidak akan cukup kuat untuk menopang pengeluaran.
Oleh karena itu, Kennedy pernah menyarankan, AS tidak perlu hadir atau eksis di semua negara selama bertahun-tahun. Hal itu hanya akan menjadi beban bagi keuangan negara ketika pemudaran ekonomi terjadi.
Peringatan Powell dan Yellen
Kini, pengabaian pada disiplin keuangan negara dengan utang yang semakin menumpuk tampaknya tidak bisa lagi ditepis. Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell dalam program 60 Minutes di stasiun televisi CBS, 5 Februari 2024, menyatakan bahwa besaran utang sudah layak jadi pembahasan.
Masalahnya sekarang bukan lagi sekadar utang yang terus bertambah dan akan membebani generasi masa depan. Beban pembayaran bunga utang juga semakin besar sehingga akan mengalahkan biaya pertahanan berdasarkan kalkulasi dari Capital Group. Pada 2033, beban keuangan negara untuk pembayaran bunga utang akan menjadi 1,4 triliun dollar AS dari 500 miliar dollar AS sekarang ini.
Baca juga: Pemerintah AS Selamat dari ”Shutdown”
Anggaran pertahanan AS saat ini sekitar 877 miliar dollar AS. Hal itu menjadi keprihatinan mengingat kekuatan militer AS justru sedang dibutuhkan di Timur Tengah, Asia, dan Ukraina.
Kalkulasi yang dilakukan Peter G Peterson Foundation memperlihatkan biaya bunga utang AS sudah mencapai 659 miliar dollar AS pada 2023 atau sudah mengalahkan anggaran untuk Medicaid dan Income Security Programs. Ini berarti akan semakin kecil dibandingkan kemampuan Pemerintah AS menolong warga yang rapuh pendapatan.
Biaya bunga utang juga akan menghambat investasi publik yang penting, seperti pendidikan, riset dan pengembangan, serta infrastruktur. Artinya, AS ada pada arah yang berpotensi melumpuhkan masa depannya sendiri.
Ancaman nyata yang sudah diprediksi adalah jika AS memasuki resesi besar seperti terjadi pada 2008. Penalangan dana untuk perusahaan-perusahaan bangkrut akan sulit dilakukan karena utang sudah besar.
Pemberontakan pasar
Jamie Dimon, CEO JP Morgan Chase, seperti dituliskan Fortune, 11 Februari 2024, mengungkap, utang AS kini menjadi krisis yang paling mudah diprediksi sepanjang sejarah. Efeknya bisa mengancam pengeluaran pertahanan dan keamanan nasional. Lebih jauh, Dimon mengatakan, Washington sedang menghadapi pemberontakan pasar global karena penumpukan utang.
Fitch, lembaga pemeringkat internasional, telah menurunkan peringkat surat utang AS dari AAA menjadi AA+ pada 2 Agustus 2023. Meningkatnya utang serta memburuknya pengelolaan dan perencanaan anggaran negara AS menjadi alasan di balik itu.
Baca juga: Peringkat Utang AS Diturunkan, Janet Yellen Protes
Seperti diberitakan Nikkei, 4 November 2023, kepemilikan China atas obligasi Pemerintah AS telah anjlok 40 persen dalam 13 tahun terakhir menjadi 805,4 miliar dollar AS pada Agustus 2023. Kepemilikan China itu anjlok lagi menjadi 769,6 miliar dollar AS pada Oktober 2023, menurut The Global Times edisi 20 Desember 2023. Penurunan kepemilikan oleh China itu juga terkait dengan peningkatan defisit anggaran AS, diiringi dorongan dedolarisasi, demikian The Global Times.
Direktur Riset Dana Moneter Internasional (IMF) Pierre-Olivier Gourinchas turut mengingatkan akan adanya pemburukan keuangan negara AS akibat peningkatan defisit anggaran. Kantor Penganggaran Kongres AS juga meramalkan, utang negara AS akan terus meningkat menjadi 185 persen terhadap produksi domestik bruto (PDB).
Begitu rentannya besaran utang AS sekarang, Menteri Keuangan AS Janet Yellen di hadapan Kongres AS menyatakan, kini amat perlu menurunkan porsi utang agar berkesinambungan. Persoalannya, seperti dikatakan Paul Ryan, mantan Ketua DPR AS dari Republikan, ancaman utang belum merupakan prioritas politik bagi penguasa AS.
Baik Republikan maupun Demokrat belum melihat potensi ledakan utang sebagai masalah utama. (REUTERS/AP/AFP)