Pertaruhan Pemilu dan Kecurangan Era Kecerdasan Buatan
Di tengah teknologi AI yang semakin tak terbendung, pemilu di puluhan negara menjadi pertaruhan.
Pada Januari 2024, Partai Demokrat Amerika Serikat dikejutkan oleh beredarnya suara Presiden Joe Biden di telepon. Isinya seruan yang menghalangi masyarakat untuk memilih dia sendiri dalam pemilihan pendahuluan kandidat presiden di Negara Bagian New Hampshire.
”Penting bagi Anda menyimpan suara Anda untuk pemilu November. Pemungutan suara pada Selasa ini hanya memungkinkan Partai Republik dalam upaya mereka untuk memilih Donald Trump lagi,” demikian suara yang mirip Biden tersebut.
Baca juga: Gedung Putih: Pengembang AI Punya Kewajiban Moral Lindungi Masyarakat
Tentu saja, telepon itu memancing kecurigaan. Sebab, hampir mustahil Biden menjegal suaranya sendiri. Apalagi, panggilan telepon itu seolah-olah ditujukan untuk Kathy Sullivan, mantan Ketua Partai Demokrat New Hampshire yang kini menjalankan kampanye untuk Biden.
Penyelidikan pun diluncurkan dengan cepat. Setelah ditelusuri, panggilan telepon itu dipastikan merupakan telepon robot (robocall) atau telepon palsu dan dibuat dengan kecerdasan buatan (AI) tipe pembangkit (generator) suara yang meniru Biden. Kemiripannya begitu meyakinkan.
Teknologi penelusuran balik digunakan untuk melacak panggilan kembali ke penyedia asal dan mengidentifikasi sumbernya ke Life Corporation, sebuah perusahaan berbasis di Texas. Penyedia layanan suara awalnya adalah Lingo Telecom, penyedia layanan yang berbasis di Texas.
Meski belum terbukti sebagai pelaku sesungguhnya, kedua perusahaan itu langsung kena getahnya. Komisi Komunikasi Federal langsung menghentikan operasional Lingo Telecom dan menuntut perusahaan itu segera berhenti mendukung arus robocall yang melanggar hukum di jaringannya.
Kami berkomitmen untuk menjaga pemilu kami bebas dan adil.
Demikian juga Life Corporation yang langsung ditutup. Pemerintah AS menyelidiki perusahaan itu untuk tindakan kriminal. ”Kami berkomitmen untuk menjaga pemilu kami bebas dan adil,” kata Jaksa Agung AS John Formella pada 6 Februari 2024.
Formella mengatakan, robocall tersebut dilakukan pada 21 Januari kepada ribuan pemilih Partai Demokrat. Tujuannya diduga untuk menekan pemungutan suara dalam Pemilu AS.
Kejadian ini merupakan salah satu dari rangkaian penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk memengaruhi suara dalam pemilu. Bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, pun berulang kali menjadi sasaran konten palsu yang dibuat dengan AI.
Di Indonesia, video Presiden Soeharto yang sudah meninggal pada 2008 beredar pada Januari 2024. Isinya terkait pemilu yang digelar pada 14 Februari 2024 ini.
Baca juga: Gambar Buatan Teknologi AI Kian Meresahkan
Di India, pada Januari, video M Karunanidhi, politisi India yang sudah meninggal pada 2018, juga kembali muncul untuk memberi selamat pada politisi TR Baalu atas peluncuran buku otobiografinya. Kemunculannya bernuansa politis menjelang pemilu negara itu pada 27 Februari 2024.
Tahun 2023 di Slovakia, hanya dua hari sebelum pemilu, sebuah rekaman suara diunggah ke media sosial Facebook. Di dalamnya terdapat dua suara yang mirip Michal Simecka, pemimpin partai liberal Progresif Slovakia dan Monika Todova dari surat kabar harian Denník N.
Keduanya seolah-olah membicarakan cara curang untuk memenangi pemilu. Rekaman yang meyakinkan ini ternyata palsu dan dibuat dengan kecerdasan buatan.
Sebaliknya, di Pakistan, teknologi AI justru dimanfaatkan untuk menyiasati tekanan politik dalam demokrasi. Mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang tengah dipenjara menggunakan rekaman suara yang dihasilkan oleh AI untuk menyampaikan pidato pada rapat umum secara virtual.
Baca juga: Mesin AI Generatif Amazon Bisa Cegah Informasi Sesat dan Ujaran Kebencian
Perlawanan
Berbagai kejadian itu menunjukkan betapa teknologi AI punya andil besar untuk memengaruhi suara, baik dengan cara menipu atau menyiasati tekanan. Hal ini menjadi dasar bagi raksasa teknologi menyusun perjanjian untuk mengantisipasinya.
Para raksasa teknologi, seperti Meta, Microsoft, Google, dan OpenAI, sedang membentuk kerja sama untuk menindak konten AI yang dimaksudkan untuk mengelabui pemilih menjelang pemilu penting di seluruh dunia tahun ini. ”Pada tahun yang kritis bagi pemilu global ini, perusahaan-perusahaan teknologi berupaya mencapai kesepakatan untuk memerangi penggunaan AI yang menipu dan menyasar para pemilih,” kata juru bicara Meta dalam sebuah pernyataan, Selasa (14/2/2024).
Hasil kesepakatan perusahaan-perusahaan tersebut akan diumumkan pada konferensi Keamanan Munich pada Jumat (16/2/2024). Fokusnya pada konten palsu yang sangat menyerupai asli (deepfake) dan konten berbahaya lainnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut setuju untuk mengembangkan cara bagi orang agar bisa mengenali konten asli atau palsu. Caranya dengan mengidentifikasi, memberi label, dan mengontrol gambar, video, serta suara yang dihasilkan AI yang bertujuan untuk mengelabui pemilih.
Baca juga: Taylor Swift dan AI yang Tak Selamanya Bisa Dipercaya
”Adobe, Google, Meta, Microsoft, OpenAI, Tiktok, dan lainnya bekerja sama menuju kemajuan dalam tujuan bersama ini,” tambah pernyataan itu.
Tahun ini merupakan tahun penyelenggaraan pemilu terbesar dalam sejarah dunia. Terdapat 64 negara di seluruh dunia menggelar pemilu, termasuk negara-negara dengan penduduk terbanyak di dunia, yakni AS, India, Bangladesh, Taiwan, Indonesia, dan Pakistan. Total populasi yang akan terlibat dalam pemilu tahun ini sekitar 4,2 miliar jiwa.
Di bawah tekanan itu, muncullah ide kerja sama mencegah AI disalahgunakan untuk pemilu. Meta, Google, dan OpenAI telah sepakat untuk menggunakan standar tanda air (watermark) untuk konten AI. Maksudnya, agar pemirsa bisa membedakannya dengan konten asli.
Namun, pertanyaan muncul, tidakkah terlambat langkah pencegahan itu baru dirancang sekarang? Selain itu, teknologi AI yang semakin canggih bisa dirancang menghindari aneka antisipasi yang dibuat. Di tengah teknologi AI yang semakin tak terbendung ini, pemilu puluhan negara pun menjadi pertaruhan. (AFP/AP/REUTERS)