Gedung Putih: Pengembang AI Punya Kewajiban Moral Lindungi Masyarakat
Kecerdasan buatan atau AI memiliki potensi untuk meningkatkan kehidupan. Akan tetapi AI juga berpotensi menimbulkan persoalan keamanan, privasi dan melanggar hak-hak sipil.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Washington, Jumat – Berkembangnya artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan memudahkan sekaligus meringankan beban kerja manusia. Namun di sisi lain, AI juga dinilai memiliki potensi bahaya. Oleh karena itu, para pengembang AI memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya AI.
Gedung Putih menegaskan hal itu, Kamis (4/5/2023) di depan sejumlah CEO raksasa AI Amerika Serikat. Diantara yang hadir tampak Sundar Pichai, pimpinan Google, CEO OpenAI Sam Altman, serta Satya Nadella dari Microsoft. Wakil Presiden AS, Kamala Harris sengaja mengundang para petinggi industri teknologi itu untuk menyusun strategi menghadapi dampak AI. Gedung Putih khawatir perusahaan-perusahaan itu akan membabi buta mengembangkan teknologi yang berpotensi menimbulkan kerugian serius bagi masyarakat.
Beberapa resiko yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan AI antara lain potensi penggunaan kecerdasan buatan untuk penipuan baik dengan mengkloning suara, membuat video palsu, hingga pesan tertulis. Selain itu, kehadiran AI juga berpotensi mengancam keamanan kerja bagi sejumlah karyawan – saat ini terutama pada pekerjaan-pekerjaan pendukung yang mengandalkan keterampilan rendah.
Produk AI yang kini sehari-hari dapat diakses dengan mudah oleh publik diantaranya adalah ChatGPT dari Microsoft. Produk itu dapat menulis skenario, rangkuman hukum, bahkan diagnosis medis.
“Perusahaan harus mematuhi undang-undang yang ada untuk melindungi rakyat Amerika, serta memastikan keselamatan dan keamanan produk mereka," kata Harris dalam sebuah pernyataan setelah menggelar pembicaraan dengan para petinggi perusahaan teknologi AS.
Harris mengatakan, bahwa AI memiliki potensi untuk meningkatkan kehidupan. Akan tetapi AI juga berpotensi menimbulkan masalah keamanan, privasi, dan hak-hak sipil.
Hal senada juga ditegaskan oleh Presiden Joe Biden yang menyempatkan diri mampir, dan sebentar mengikuti pertemuan tersebut. Menurut Biden, para petinggi perusahaan teknologi itu paham bahwa yang mereka kembangkan memiliki potensi besar, sekaligus mengandung bahaya yang juga besar.
"Saya tahu Anda mengerti itu. Dan saya harap Anda dapat mendidik kami tentang apa yang menurut Anda paling dibutuhkan untuk melindungi masyarakat,” kata Biden, dalam video yang diunggah oleh Gedung Putih.
Biden, yang telah menggunakan ChatGPT dan bereksperimen dengannya, mengatakan kepada para pemimpin perusahaan teknologi itu, bahwa mereka harus memitigasi risiko AI baik terhadap individu, masyarakat, dan keamanan nasional. Sebelumnya, Biden telah mendesak Kongres untuk mengesahkan undang-undang yang menetapkan batasan yang lebih ketat pada sektor teknologi. Gedung Putih merasa berkepentingan atas isu tersebut untuk mempromosikan inovasi dalam kecerdasan buatan yang bertanggung jawab.
Pada Maret lalu, sejumlah ahli mendesak adanya jeda dalam pengembangan sistem AI untuk memberikan waktu guna memastikan keamanannya.
Sejauh ini, kurangnya aturan telah memberikan ruang besar bagi pengembang kecerdasan buatan untuk terus mengeluarkan produk baru. Kecepatan kemunculan produk-produk baru itu tak diiringi dengan lahirnya produk hukum yang “mengamankan” publik dari paparan AI. Kondisi itu memicu kekhawatiran bahwa teknologi AI akan mendatangkan malapetaka pada masyarakat.
Menanggapi harapan Gedung Putih, sejumlah pengembang AI menyambutnya dengan baik. "Bagus untuk mencoba mengatasi ini. Ini pasti akan menjadi tantangan, menurut saya ini bisa kami tangani," kata CEO OpenAI Sam Altman.
Sementara itu, David Harris, dosen pada Haas Business School di Universitas California menilai upaya itu merupakan awalan yang baik. Meskipun, menurutnya, tidak banyak yang dapat diharapkan.