Serangan balik sejumlah kelompok bersenjata Irak dan Yaman menunjukkan, efek gentar AS dan sekutunya luntur.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Serangan ke kapal dan pangkalan Amerika Serikat serta sekutunya di Timur Tengah tidak kunjung reda. Padahal, dengan sokongan sejumlah negara lain, AS-Inggris baru saja menggempur sejumlah negara di Timur Tengah. Tujuan gempuran itu tidak tercapai karena akar masalah tidak dibenahi.
Houthi mengumumkan serangan ke kapal Inggris dan AS pada Selasa (6/2/2024). MV Star Nasia milik AS dan MV Morning Tide milik Inggris diserang dengan pesawat nirawak pada Selasa dini hari.
Tidak ada informasi soal kondisi MV Star Nasia. Adapun MV Morning Tide dilaporkan terbakar sedikit di anjungan. Menurut London, tidak ada korban jiwa atau cedera dalam serangan itu.
Sebelum pernyataan Houthi, Jihad Islam Irak lebih dulu mengumumkan serangan ke pangkalan AS di Deir Ezzor dan Hassakah, Suriah. Serangan dilancarkan pada Minggu ke pangkalan Al Jir dan dekat ladang minyak Al-Omar.
Pengumuman Houthi dan Jihad Islam Irak menunjukkan, tujuan AS dan sekutunya belum tercapai. Sejak Jumat, AS dan sekutunya menyerang setidaknya 120 lokasi di Suriah, Irak, dan Yaman.
Sulit menggentarkan kalau musuh tidak yakin Anda siap meningkatkan serangan. Masalah AS di kawasan soal kekurangan kekuatan militer. Masalahnya adalah ketiadaan kemauan politik.
Gelombang serangan terakhir dilancarkan ke Yaman. Komando Tengah AS mengumumkan, sejumlah lokasi peluncur rudal dan pesawat nirawak Houthi dihancurkan lewat serangan dari kapal perang dan jet tempur.
Pada Sabtu, AS-Inggris dan sekutunya menyasar 36 fasilitas Houthi di Yaman. Sementara pada Jumat, koalisi AS menyasar 85 lokasi di Irak dan Suriah.
Rangkaian gempuran itu disebut pembalasan atas ratusan serangan ke kapal dan pangkalan AS dan sekutunya di Timur Tengah. London-Washington juga menyebut, rangkaian serangan itu peringatan kepada kelompok-kelompok bersenjata di Iran, Yaman, dan Suriah.
Lewat rangkaian gempuran itu, AS-Inggris berharap kelompok bersenjata di Suriah, Irak, dan Lebanon menghentikan serangan mereka ke berbagai kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah.
Menurut AS dan sekutunya, kelompok-kelompok itu disokong Iran. Teheran menyangkal memengaruhi keputusan kelompok-kelompok itu soal menyerang siapa, kapan, dan di mana.
Tidak gentar
Peringatan itu terbukti diabaikan. Analis senior Australian Strategic Policy Institute (ASPI) Malcolm Davis menyebut, gempuran AS dan sekutunya mungkin bisa menurunkan kemampuan kelompok bersenjata di Suriah, Irak, dan Yaman.
Namun, ia ragu gempuran itu bisa menjadi penggentar yang layak. Ia juga ragu gempuran itu akan memaksa kelompok bersenjata di Timur Tengah menghentikan serangan pada AS dan sekutunya.
”Saya khawatir dalam waktu dekat, Iran akan melancarkan lebih banyak serangan dan membunuh lebih banyak tentara AS. Setelah itu, tekanan kepada pemerintahan Biden akan semakin keras,” ujarnya kepada SkyNews Australia.
Direktur Program Pertahanan dan Keamanan pada Middle East Institute Bilal Saab mengatakan, ada kesalahan serius AS dan sekutunya. Presiden AS Joe Biden menegaskan, tidak berusaha memanaskan keadaan lewat serangan balik akhir pekan lalu.
”Sulit menggentarkan kalau musuh tidak yakin Anda siap meningkatkan serangan. Masalah AS di kawasan soal kekurangan kekuatan militer. Masalahnya adalah ketiadaan kemauan politik dan Iran tahu itu,” ujarnya.
Sejak dilantik, Biden menegaskan tidak tertarik berperang atau sekadar meningkatkan ketegangan dengan Iran. Kini, kondisinya semakin rumit karena Biden harus kembali menghadapi pemilu AS.
Perubahan kebijakan
Mantan Panglima Komando Tengah AS Jenderal (Purn) Joseph Votel menyebut, efek gentar AS di Timur Tengah digerus oleh pemerintahan Barack Obama. Sebab, Obama memutuskan mengalokasikan kekuatan AS ke kawasan lain.
Washington juga mengubah fokusnya pada Teheran. Sebelum era Obama, AS fokus pada tiga hal soal Iran: mencegah Iran mendapatkan senjata nuklir, menghambat pengembangan senjata, dan mencegah serangan ke Israel.
Di era Obama, AS hanya fokus soal nuklir Iran saja. Karena itu, menurut Votel, Iran leluasa mengembangkan aneka persenjataan dan membangun kekuatan di kawasan untuk menghadapi Israel.
Staf ahli pada lembaga kajian Atlantic Council, Harlan Ullman, menyebut bahwa gempuran AS dan sekutunya tidak akan menghentikan serangan Houthi dan kelompok sejenis. Sebab, AS dan sekutunya menanggapi serangan itu secara salah.
Houthi dan kelompok sejenis sudah menyebutkan alasan serangan. Mereka mau Israel menghentikan serangan ke Palestina dan AS serta sekutunya menarik pasukan dari Suriah dan Irak. ”Tidak cukup hanya menggempur. Fokus selesaikan perang Gaza,” ujarnya.
Sekarang, sudah waktunya mengubah paradigma AS dan sekutunya. Tujuan aneka manuver di kawasan bukan untuk menggentarkan pihak lain. Tujuannya harus fokus mencegah perang. (AFP/REUTERS)