Sulit berharap dan mengandalkan AS bisa memulihkan stabilitas Timur Tengah. Pengaruh militer dan diplomasinya melemah.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dua hari beruntun, AS menggempur faksi-faksi pro-Iran di Irak, Suriah, dan Yaman. Situasi sulit terkendali. Timur Tengah tak bisa mengandalkan AS.
Pada Jumat dan Sabtu (2-3/2/2024) militer Amerika Serikat menggempur lebih dari 120 target yang tersebar di tiga negara: Irak, Suriah, dan Yaman. Washington menegaskan, gempuran itu adalah serangan balasan sebagai bagian pembelaan diri. Serangan ke Irak dan Suriah—hingga mengerahkan dua pesawat pengebom B-1B dari Texas—dilancarkan AS untuk menuntut balas atas kematian tiga tentaranya di Jordania.
Kelompok dukungan Iran di Irak dan Suriah dituding sebagai pelaku serangan itu. Pemerintah Iran juga disebut ikut bertanggung jawab sebagai pemasok senjata bagi kelompok-kelompok tersebut. Itu sebabnya, 85 target serangan di Irak dan Suriah, Jumat (2/2/2024), dinyatakan terkait Garda Revolusi Iran (IRGC) dan milisi-milisi yang didukungnya.
Serangan di Yaman, Sabtu (3/2/2024), menargetkan 36 fasilitas pendukung persenjataan kelompok Houthi. Gedung Putih menyatakan, serangan ke Yaman juga sebagai pembelaan diri atas serangan Houthi terhadap kapal niaga yang melintasi Laut Merah. Dalam serangan ini, AS menggandeng Inggris dan didukung sejumlah negara mitra lainnya.
Dalam wawancara dengan NBC, Minggu (4/2/2024) malam, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan menegaskan, AS akan terus menambah serangan atas kelompok pro-Iran di Irak, Suriah, dan Yaman (Kompas.id, 5/2/2024). Sudah bisa diperkirakan, betapa kian berbahayanya eskalasi konflik Timur Tengah setelah perang Hamas-Israel berkobar.
Kelompok pro-Iran, kerap dijuluki dengan ”Poros Perlawanan”, tentu tidak akan tinggal diam. Hal ini ditegaskan Houthi di Yaman. Di Irak, kelompok Harakat al-Nujaba menyiratkan akan membalas gempuran AS. Di Suriah, serangan balasan sudah dilancarkan oleh milisi Irak pro-Iran menarget pangkalan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Deir el-Zour, yang juga menampung tentara AS, Senin (5/2/2024) dini hari. Enam anggota SDF dilaporkan tewas.
Perkembangan terakhir ini jelas menunjukkan konflik di Timur Tengah menjadi lingkaran setan, bak siklus perang yang tak berkesudahan (Kompas, 4/2/2024). Sampai kapan lingkaran setan ini bisa diputus dan stabilitas bisa dipulihkan?
Sulit berharap dan mengandalkan negara, seperti AS, bisa memulihkan stabilitas di Timur Tengah. Pengaruh militer dan kekuatan diplomasi Washington sudah melemah (Dalia Dassa Kaye dan Sanam Vakil, Foreign Affairs, 1/2/2024). Di Laut Merah, gempuran mereka belum mampu memulihkan pelayaran niaga yang terdisrupsi oleh serangan Houthi. Washington juga tak berdaya meyakinkan Israel atas rancangan solusi kompromi yang mereka tawarkan dalam perang Gaza.
Dalam situasi itu, menarik gagasan yang digulirkan Kaye, peneliti senior hubungan internasional Lund University, Swedia, dan Vakil, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara pada Chatham House. Inilah saatnya bagi pemimpin di Timur Tengah aktif mencurahkan perhatian dan energi diplomasi untuk menentukan arah penyelesaian krisis di kawasan.