Orangtua Milenial Lembek Bikin Anaknya Manja
Anak-anak perlu batasan. Bukan dibiarkan. Bantu anak memahami hidup tidak selalu sesuai kemauan.
Pernah melihat ada anak sedang tantrum menangis, menjerit, berteriak, marah di tempat umum, sementara ibu dan bapaknya diam saja? Pernah menyaksikan anak yang melompat-lompat dari satu kursi ke kursi lain di kantor dan orangtuanya juta diam saja? Ternyata, fenomena itu terjadi di banyak tempat.
Di forum diskusi daring, Reddit, fenomena itu salah satu topik bahasan. ”Saya benci orangtua yang membiarkan anak-anaknya menjadi liar dan membuat pusing orang lain.” ”Sudah jelas ini sepenuhnya tanggung jawab orangtua.” Demikian tertulis di kolom komentar Reddit.
Baca juga: Pola Asuh ”Macan” Orangtua Asia Bukan Berarti Tidak Baik
Pengasuhan yang cenderung membiarkan saja itu dianggap sebagai cara lunak dan lebih cocok untuk anak zaman sekarang. Hanya saja, sebagaimana dilaporkan majalah Newsweek pada Minggu (4/2/2024), gaya pengasuhan seperti itu malah semakin mengkhawatirkan. Banyak orang yang salah mengartikan pengasuhan yang lunak atau lembut atau gentle parenting.
Anak-anak harus sadar, hidup ini kondisinya tidak selalu ideal. Anak-anak harus bekerja keras, menghormati orang lain, dan selalu baik kepada orang lain.
Bersama lembaga konsultansi dan jajak pendapat Redfield & Wilton Strategies, Newsweek membuat jajak pendapat dengan 1.500 responden. Temuannya antara lain, mayoritas orang berusia 43 tahun ke atas menilai anak-anak sekarang berperilaku lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya.
Hingga 66 persen generasi baby boomer (lahir tahun 1946-1964) dan 57 persen generasi X (lahir tahun 1965-1980) menilai perilaku anak sekarang semakin buruk. Hampir 75 persen generasi baby boomer dan generasi X (sebanyak 71 persen) menilai perlakuan terlalu lunak dari orangtua membuat perilaku anak semakin buruk.
Sebaliknya, 35 persen generasi Z menyatakan tidak akan melarang anaknya berlari dalam ruangan mana pun. Hingga 38 persen orang-orang yang lahir pada 1997-2012 itu juga akan membiarkan anaknya menonton video dengan suara keras di tempat umum. Mereka juga akan membiarkan anaknya kelas menendang-nendang kursi di kendaraan umum.
Baca juga: Anak yang Sering Dihukum Keras Lebih Berisiko Alami Masalah Kesehatan Mental
Pada generasi yang milenial, pembiaran juga ada meski tidak berlebihan. Hingga 10 persen dari orang-orang yang berusia antara 25 tahun dan 44 tahun itu juga akan membiarkan anaknya berlarian di ruangan umum. Soal anak menonton video dengan suara keras di tempat umum, 26 persen orangtua dari kelompok milenial mengaku akan membiarkannya.
Ibu tiga anak yang juga psikolog, Becky Kennedy, orangtua kini terlalu permisif. Hal itu diduga karena pola asuh di keluarga yang membesarkan mereka dulu. ”Pola pengasuhan yang menggunakan rasa takut untuk mengendalikan anak-anak telah menimbulkan masalah ketika dia beranjak dewasa,” kata penulis buku dan pemengaruh media sosial itu.
Pembentukan kepribadian
Pola asuh otoriter tidak memberikan kesan baik bagi anak-anak. Pola itu juga tidak akan membentuk anak-anak menjadi orang dewasa yang kuat, percaya diri, dan tangguh.
Baca juga: Pola Asuh Tentukan Tumbuh Kembang Anak
Sebaliknya, rasa takut yang menyatu dengan cinta kasih sayang justru membuat anak-anak belajar untuk tidak mempercayai diri sendiri. Anak-anak juga tidak merasa terhubung dengan orangtuanya. Sebab, anak-anak tidak merasa diperhatikan atau merasa aman dan nyaman.
Sekarang dunianya sangat berbeda. Banyak sekali risiko bahaya mulai dari media sosial sampai narkoba. Tekanan pada anak-anak sekarang juga makin kuat.
Ketika anak tantrum, kata Becky, itu karena anak belum bisa mengatur perasaannya. Anak-anak dilahirkan dengan semua perasaan dan belum punya ketrampilan untuk mengelolanya. ”Karena tidak tahu cara mengelolanya, perasaan itu meledak keluar saja dalam bentuk perilaku seperti itu,” kata Becky.
Tantrum yang dianggap sebagai ”perilaku buruk” itu sesungguhnya tanda perasaan yang tidak teratur. Ketika itu ditambahkan dengan rasa takut dari orangtua seperti kalimat: ”Pergi ke kamarmu!” atau ”Kamu dihukum!” atau dengan memakai pukulan, maka dalam jangka pendek rasa takut bisa menjadi sangat kuat. Ketika itu anak akan mencoba menghilangkan perasaan itu dan dalam jangka panjang, akan menimbulkan banyak masalah.
Banyak milenial mengalami itu. Sebagian generasi Z juga mengalami pola asuh tersebut. Mereka mau perubahan untuk anaknya. Karena itu, pola asuh terus berubah dalam beberapa dekade terakhir.
Baca juga: Pola Asuh Toksik yang Akan Terus Berulang
Pengakuan itu diungkap antara lain oleh Heidi Snellenburg (65). Waktu kecil, pukulan di belakang tubuh dianggap biasa. Hal itu juga dia praktikkan ke dua anaknya yang kini berusia 33 tahun dan 25 tahun. ”Dulu dengan dipukul itu saya jadi takut. Menanamkan rasa takut itu cara yang efektif dalam menekan. Namun, itu dulu,” ujarnya.
Beragam pola asuh
Psikoterapis remaja di New York City dan ibu anak usia 11 tahun, Amy DiBernardo, menjelaskan, ada empat gaya pengasuhan yang umum. Pertama, pola asuh otoriter di mana batasan-batasan yang ditetapkan tidak dijelaskan. Praktik ini lazim dialami generasi sebelumnya. Orangtua yang otoriter, ketika ditantang, mungkin akan menjawab: ”Karena saya bilang begitu” (because I said so).
Pola kedua adalah kebalikan pola pertama yakni permisif dan juga tetap tanpa batasan serta aturan. Pola ketiga, ada pola pengasuhan yang lalai. Pola ini dicirikan orangtua lepas tangan sepenuhnya.
Pola pengasuhan yang menggunakan rasa takut untuk mengendalikan anak-anak telah menimbulkan masalah ketika dia beranjak dewasa.
Terakhir, pola asuh otoritatif campuran lembut atau lunak. Ini pola asuh yang hangat dan tegas tetapi adil. Pada pola asuh ini orangtua harus memiliki kemampuan menetapkan batasan tetapi fleksibel.
Baca juga: Membekali Anak dengan Pengetahuan Kesehatan Jiwa Sedini Mungkin
DiBernardo mengatakan, anak-anak tetap membutuhkan batasan. Namun, sebaiknya penetapan batasan dan kata-kata larangan dari orangtua itu disertai dengan alasannya. Pola asuh otoritatif memberikan hasil yang optimal antara hubungan orangtua dan anak dan ini tepat untuk dunia dengan situasi serba tegang seperti sekarang.
Kecemasan anak
Harian Hufftington Post, 1 Februari 2024, mengutip Youth Risk Behavior Surveillance System, menulis anak-anak zaman sekarang tumbuh di dunia yang rumit. Pada anak-anak usia 12-18 tahun di Amerika Serikat, bunuh diri adalah penyebab kematian terbanyak kedua. Anak-anak bunuh diri karena cemas, depresi, dan kecanduan obat pereda nyeri.
Anak-anak cemas antara lain orangtua sibuk hingga bercerai. Anak-anak merasa tidak didukung keluarganya. Kecemasan juga bisa dipicu teknologi dan media sosial ”Sekarang dunianya sangat berbeda. Banyak sekali risiko bahaya mulai dari media sosial sampai narkoba. Tekanan pada anak-anak sekarang juga makin kuat,” kata Juliette DeCarlo (46), warga Brooklyn, New York, AS, yang memiliki tiga anak itu.
Menurut Becky Kennedy, tugas orangtua bukan membuat anak bahagia. Tugas orangtua membantu anak mengelola perasaan dan kondisinya. Orangtua bisa membantu anak-anak menerima perasaan ini dan belajar menoleransinya ketimbang merasa takut. Akan lebih berguna jika orangtua mendampingi sembari tetap memberi anak ruang membangun keterampilan menoleransi rasa frustrasi.
Baca juga: Peran Orangtua dalam Pengasuhan Tak Tergantikan
Orangtua juga sebaiknya tidak terlalu berlebihan melindungi anaknya agar, misalnya, tidak terluka. Apalagi ketika berada di sekolah, biarkan guru bertanggung jawab menangani anak-anak. Menurut warga New Jersey dan punya dua anak beranja remaja, Brent Trimble (51), sekarang banyak orangtua muda yang terlalu melindungi anak-anaknya dari kemalangan.
”Saya sudah mengajari anak-anak saya, mereka tidak boleh meninggalkan lapangan olahraga kecuali mereka pingsan atau terluka, tidak peduli sepanas apa pun cuacanya. Anak-anak harus sadar, hidup ini kondisinya tidak selalu ideal. Anak-anak harus bekerja keras, menghormati orang lain, dan selalu baik kepada orang lain,” kata Trimble.
Mantan guru di New York, Rebecca Graham (38), punya pengalaman dengan orangtua yang terlalu melindungi anak. Dia beberapa kali pernah menerima surat elektronik dari orangtua dan kemudian berdebat sepanjang malam hanya tentang pekerjaan rumah anak-anak mereka.
Graham kini mengajar kelas musik untuk anak-anak prasekolah. Di kelas, sebagian muridnya berlarian dan orangtuanya diam saja.
Baca juga: Bahagia Menjadi Diri Sendiri
Jika anak berperilaku ”buruk” seperti itu, Becky Kennedy menyarankan orangtua berbicara dengan anak-anaknya dan mengajari mereka keterampilan mengelola perasaannya. Hal itu lebih berguna ketimbang menyuruh anak masuk ke kamar setiap kali berperilaku buruk. ”Kalau anak disuruh masuk kamar saja, mereka akan merasa seperti anak nakal dan diusir. Ini justru akan membuat anak lebih berulah,” ujarnya.