Pola Asuh ”Macan” Orangtua Asia Bukan Berarti Tidak Baik
Pengasuhan anak dalam keluarga tidak lepas dari pengaruh budaya. Keterbukaan informasi memberikan perspektif pengasuhan anak ala budaya Barat dan Timur yang perlu dipahami secara bijaksana,
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan diri orangtua Indonesia yang mengasuh anak sejalan dengan budaya Timur perlu didorong dan dipertahankan. Meskipun tren pengasuhan anak di media sosial memberikan kesan pengasuhan gaya Barat akan membuat orangtua menjadi lebih baik, bukan berarti semua harus diikuti. Paling penting adalah menerapkan pola pengasuhan yang membawa hubungan harmonis antara orangtua dan anak.
Demikian mengemuka dalam peluncuran buku Induk Macan karya Krista Endinda, pada Senin (21/8/2023). Krista Endinda, atau yang biasa disapa Dinda, merupakan lulusan S-2 Jurusan Infant and Family Development and Early Intervention di Bank Street College, New York, Amerika Serikat. Ia meneliti tren pada pola pengasuhan anak di Indonesia. Tesis mantan guru anak balita di Sekolah Bukit Aksara, Semarang, ini kemudian diolah menjadi buku berjudul Induk Macan.
Menurut Dinda, pengasuhan anak tidak lepas dari pengaruh budaya dan masyarakat setempat. Perkembangan teknologi digital juga mendorong pengetahuan tentang pengasuhan (parenting) yang beragam dan mudah diakses masyarakat Indonesia, salah satunya gaya pengasuhan Barat yang lebih dikenal sebagai gentle parenting.
Di tengah tren pola asuh yang terus berevolusi dan pengaruh media sosial eksponesial, ia kemudian ingin memberikan perspektif baru mengenai pengasuhan anak yang sejalan dengan budaya Indonesia.
Saya melihat fenomena gentle parenting yang marak di media sosial. Banyak orangtua muda di Indonesia yang mentah-mentah menerima, padahal setelah diteliti tidak semuanya cocok dengan budaya Asia.
”Akibatnya, terjadi konflik batin dalam diri orangtua, kenapa di budaya Barat bisa mulus, ketika di Indonesia susah dilakukan. Sebab, pengasuhan gentle parenting itu, kan, dari budaya dan riset Barat,” kata Dinda.
Lebih lanjut Dinda mengatakan, gaya pengasuhan orangtua di Asia, seperti tiger mom atau ibu yang tegas, kesannya dianggap tidak bagus. Lalu, banyak yang beralih ke gaya pengasuhan Barat, seperti gentle parenting yang memang lebih berorientasi pada perkembangan sosial emosi anak.
Pengasuhan tegas
Tren parenting keluarga Indonesia yang mulai lebih berorientasi ke Barat menimbulkan kesan budaya Indonesia inferior dibandingkan Barat. Padahal, menjadi orangtua Asia yang lebih tegas (dikonotasikan dengan istilah ”macan”) tetap dibutuhkan anak. ”Bukan berarti orangtua Asia berarti negatif, sebaliknya yang Barat positif. Di sinilah sebagai orangtua kita harus lebih mawas diri dan berpikir lebih jauh,” katanya.
Umumnya, masyarakat menganggap tren budaya Barat lebih superior sehingga otomatis dijadikan patokan. Hal itu terlihat dari tuntutan anak-anak yang harus berbahasa Inggris dan masuk kelas internasional. Padahal, untuk menjadi orangtua yang baik tidak mesti meninggalkan budaya bangsa kita.
”Ikut-ikutan budaya Barat tanpa menyaring dahulu berpotensi menimbulkan konflik pada diri kita yang berbudaya Timur,” ujar Dinda.
Dinda mengatakan, tesisnya yang kemudian dibuat lebih populer menjadi buku berjudul Induk Macan hadir untuk memberikan perspektif baru tentang parenting yang sejalan dengan budaya Indonesia. Hal ini terinspirasi dari pengamatannya terhadap tren yang terjadi pada pola pengasuhan anak di Indonesia. Dinda ingin memberikan panduan bagi orangtua Indonesia yang ingin menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia, membesarkan anak yang tetap menghargai tradisi budaya Timur, dan juga mengambil esensi penting dari gaya parenting Barat.
”Saya ingin meluruskan persepsi yang akhir-akhir ini umum terjadi bahwa mengadopsi gaya parenting Barat akan menjadikan kita sebagai orangtua yang lebih baik. Lewat Induk Macan, saya ingin mengajak orangtua Indonesia untuk membina hubungan harmonis dengan anak-anak sambil tetap berakar pada identitas budaya mereka,” ujar Dinda.
Menurut Dinda, orangtua yang berbudaya Timur tidak perlu melawan atau meninggalkan tradisi hanya karena punya pemahaman baru di dunia parenting. Misalnya, kebiasaan Timur yang memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan bapak atau kebiasaan lain, seperti bersalaman tangan kepada yang lebih tua. Ini berbeda dengan budaya Barat yang mungkin terbiasa dengan memanggil nama bahkan kepada seseorang yang lebih tua. Hal ini karena orang Timur sangat menjunjung tinggi hierarki sosial dan jika orangtua menanamkan anak dengan budaya Barat yang jelas berlawanan tentu akan terjadi konflik.
Dinda mengamati orangtua Indonesia sering kali berjuang dengan penafsiran yang keliru tentang praktik gentle parenting yang mereka temui melalui media sosial. Penafsiran yang keliru ini tanpa disadari dapat mengarah pada pengadopsian gaya parenting yang tidak sesuai dengan norma budaya.
Di sisi lain, muncul perasaan bersalah saat orangtua kelepasan emosi, seperti mencubit atau marah ketika anak-anak tidak menurut. Konflik batin saat orangtua ”kelepasan” ini membuat rasa bersalah dan tidak percaya diri bahwa mereka orangtua yang baik. ”Pengasuhan memang tidak mudah, yang penting sebagai orangtua terus belajar dan berusaha memperbaiki hubungan yang baik dengan anak,” ujarnya.
Apabila orangtua sudah telanjur ”kelepasan”, ia menyarankan agar orangtua dapat rekonsiliasi dengan anak dan memberikan waktu berkualitas sehingga muncul keseimbangan antara pengasuhan yang tegas dan pengasuhan yang efektif atau gentle. Dinda ingin mendorong agar orangtua di Indonesia merasa lebih tenang dan tidak perlu khawatir melakukan kesalahan.
”Dari riset yang ditulis menjadi buku ini, saya ingin memberikan pandangan pengasuhan yang modern karena memperjuangkan perpaduan wawasan pengasuhan global dan kebijaksanaan lokal. Sebagai pengingat bahwa merangkul identitas budaya Timur tetap dapat meningkatkan kualitas pengasuhan, memupuk ketahanan budaya, dan memupuk ikatan yang kuat antara orangtua dan anak,” ujar Dinda, yang segera melanjutkan kuliah S-3 di bidang psikologi anak.
Seni pengasuhan
Sementara itu, psikolog anak dan keluarga, serta Co-founder Tiga Generasi, Saskhya Aulia Prima, mengatakan, semakin banyak orangtua lebih melek dengan teknik parenting baru, seperti gentle parenting, responsive parenting, atau mindful parenting. Namun, ada juga lapisan masyarakat yang mempertahankan pengasuhan yang tegas.
”Memang ada perbedaan budaya Barat dan Timur dalam pengasuhan. Namun, parenting itu, kan, sebuah seni. Menjadi orangtua yang ‘mengaum’ lalu merasa bersalah, itu berarti ada kesadaran diri untuk berefleksi. Namun, jangan sampai perasaan bersalah itu membuat pengasuhan anak jadi tidak berkualitas,” kata Saskhya.
Saskhya menambahkan, dalam pengasuhan tetap akan ada konflik antara orangtua dan anak. Justru ini menjadi masa belajar anak untuk dapat mengatasi konflik di luar sana. Dalam pengasuhan, orangtua tetap diharapkan mampu mengambil cara-cara baik dari Timur maupun Barat yang membuat hubungan di dalam keluarga tetap hangat.
”Walaupun menjadi orangtua yang ngomel, artinya ini dilakukan dengan tahu situasi dan tempat. Dengan demikian, anak tetap akan selalu merasa aman dan tetap bisa kembali kepada orangtuanya daripada lari ke media sosial atau tempat lain yang berdampak negatif,” kata Saskhya.