Pilu di Gaza
Bukan hanya militer, warga sipil Israel juga merintangi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Hingga Minggu (4/2/2024), 27.238 warga Gaza tewas akibat serbuan Israel dalam empat bulan terakhir. Jumlahnya terus bertambah dan mayoritas perempuan serta anak-anak. Tidak ada tanda-tanda perang akan berhenti di Gaza.
Adapun jumlah cedera mendekati 70.000 orang. Berarti, setiap hari terdapat 225 warga tewas akibat serangan rudal, roket, atau artileri berat lainya yang ditembakkan serdadu Israel ke Gaza.
Baca juga: Perang Gaza dan Lingkaran Setan dalam Eskalasi Konflik Timur Tengah
Serangan itu juga melukai rata-rata 500 orang setiap hari. Bukan hanya luka gores, melainkan juga cacat tetap berupa kehilangan tangan, kaki, telinga, atau mata.
Korban tewas belum termasuk yang diduga masih tertimbun di berbagai bangunan yang hancur di Gaza. Bangunan-bangunan itu dihancurkan Israel lewat pengeboman dan peledakan sejak 8 Oktober 2023. Berdasarkan data orang yang tidak diketahui keberadaannya, dikhawatirkan ada ribuan orang tertimbun.
Penderitaan warga Gaza masih ditambah dengan blokade bantuan kemanusiaan. Bukan hanya militer, warga sipil Israel juga merintangi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Kematian perlahan
Tanpa pangan, air, dan obat-obatan, warga Gaza seperti dimatikan perlahan. Di berbagai tempat lain, manusia normal, termasuk anak-anak, membutuhkan lebih dari 8 liter air setiap hari untuk aneka keperluan. Di Gaza, bisa dapat 1,5 liter air per hari per orang saja susah setengah mati.
Baca juga: Kemanusiaan Sedang Berlibur dari Sekitar Gaza
Tak ada yang normal dalam kehidupan warga Palestina di Gaza saat ini. Setiap hari mereka harus berjibaku, berjuang untuk menghindar dari ancaman serangan udara dan darat.
Fakta yang kami lihat, wilayah-wilayah itu menjadi zona pengeboman yang berdampak pada warga sipil dan menciptakan situasi yang sangat mengerikan.
Bahkan, tempat pengungsi dan rumah sakit yang seharusnya bisa menjadi tempat berlindung tak bisa memberikannya. Serdadu-serdadu Israel bisa dengan mudah memasuki ruang-ruang aman itu.
Warga Palestina di Gaza bak domba yang setiap saat bisa didorong, diarahkan ke mana pun, atau diusir dari tanah-tanah yang telah mereka diami sejak beberapa generasi. Tinggal di Gaza utara, berpindah ke selatan yang sempat dijamin sebagai zona aman.
Akan tetapi, mereka terombang-ambing karena serdadu Israel ingin membinasakan kelompok Hamas yang dicurigai berada di sana. Kini, serdadu-serdadu Israel menyasar kembali ke kamp-kamp pengungsi serta rumah sakit di selatan karena hingga saat ini mereka belum puas dengan capaian di atas.
Baca juga: Warga Jalur Gaza Terpenjara di Neraka Dunia
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan, tidak ada zona aman seperti yang dijanjikan Israel. ”Fakta yang kami lihat, wilayah-wilayah itu menjadi zona pengeboman yang berdampak kepada warga sipil dan menciptakan situasi yang sangat mengerikan,” katanya, Sabtu (3/2/2024).
Ia juga pernah mengatakan, kekerasan yang dilakukan Israel, dibantu sekutunya, hanya akan melahirkan kekerasan baru. Siklus ini tak akan pernah berhenti selama kekerasan masih berlangsung dan pencaplokan wilayah terus terjadi.
Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada pertengahan Januari 2024, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga menyebut situasi di Gaza memilukan. Situasi yang dialami warga Palestina di Gaza sangat menyayat hati.
Sayangnya, tindakan AS bertolak belakang dengan pernyataan Blinken. AS berulang kali memveto upaya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong gencatan senjata di Gaza.
Baca juga: Retorika Dunia Tak Akan Menyelamatkan Gaza
AS juga tanpa henti memasok persenjataan untuk Israel. Bahkan, ada lonjakan pengiriman persenjataan Israel ke Gaza sejak awal Oktober 2023. Pada Februari 2024, parlemen AS akan kembali mengesahkan bantuan pertahanan belasan miliar dollar AS untuk Israel.
Penyebaran kekerasan
Kepiluan warga Palestina tidak hanya di Gaza. Media Israel, Haaretz, berulang kali melaporkan warga Palestina di Tepi Barat juga diserang aparat dan warga sipil Israel. Kepada Haaretz, sejumlah warga sipil dan mantan tentara Israel mengaku tidak tahan dengan kekejian terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Sejumlah warga sipil Israel berusaha merintangi serangan kepada warga Palestina di Tepi Barat. Menurut Haaretz, serangan di Tepi Barat bentuk pemusnahan etnis.
Dalam laporannya, Haaretz menuding aparat Israel memfasilitasi serangan di Tepi Barat. Caranya, aparat sengaja menghilang dari lokasi sasaran serangan ekstremis Yahudi di Tepi Barat. Pola seperti itu berulang sejak 1948.
Baca juga: Ketika Badan-badan Kemanusiaan dan Media Dibunuh Pelan-pelan di Gaza
Para pemukim ilegal Israel merampas atau menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di Tepi Barat. Mereka juga merebut kebun-kebun warga Palestina. Perampasan dimulai dengan penghancuran kebun kurma atau zaitun milik warga Palestina.
Saat warga Palestina melawan, aparat Israel serta-merta menyerang dengan keji. Bahkan, Israel mengagas pemberian rudal panggul untuk pemukim di Tepi Barat. Alasannya, untuk menghadapi ancaman. Padahal, justru mereka yang mengancam warga Palestina.
Karena itu, Myriam Francois mengungkap kemarahan dalam wawancara dengan televisi Inggris, Sky News. Dalam wawancara itu, dibahas dampak serangan Houthi di Laut Merah. Houthi menyebut, kapal-kapal Israel dan pendukungnya akan terus diserang selama Israel menyerbu Gaza.
Serangan itu disebut mengganggu pengiriman paket belanja dari lokapasar ke warga biasa di Amerika Serikat dan Eropa. Francois, jurnalis sekaligus pembuat film Inggris, menyebut keluhan gangguan paket belanja amat di luar nalar.
Baca juga: Belgia Minta Ganti Rugi Kerusakan di Gaza, Hamas Minta Pembebasan Tokoh Fatah
Media Barat lebih sibuk memikirkan kenyamanan warga yang jauh dari perang. Bukan memikirkan penderitaan puluhan tahun warga Palestina akibat pendudukan, penyerbuan, dan perintangan akses oleh militer dan sipil Israel.
Komedian Mesir, Baseem Yousof, juga mengungkap kekesalan dalam wawancara dengan Piers Morgan, pembawa acara di salah satu televisi Inggris. ”Berapa banyak warga Palestina harus kehilangan nyawa untuk memuaskan para pemimpin Israel?” ujar Yousof.
Mendiang penyair Gaza, Refaat Al-Areer, melontarkan satir lebih tajam. ”Apa yang harus kami lakukan? Bunuh diri massal? apakah itu yang diinginkan Israel?” demikian ditulisnya sebelum ia tewas pada awal Desember 2023 akibat serangan Israel.
Pernyataan Areer mencerminkan penderitaan tak terperi warga Gaza. Hak dasar berupa keamanan, akses pada pangan hingga perumahan sulit didapat warga Gaza. Warga Gaza sulit membayangkan kebebasan karena penindasan Israel puluhan tahun.
Baca juga: Inggris Siap Mengakui Negara Palestina
Warga Afrika Selatan, negara yang sedang menggugat Israel dengan tudingan genosida di Gaza, pernah merasakan penderitaan warga Palestina. Afrika Selatan mengalami apartheid selama puluhan tahun.
Dipimpin Nelson Mandela, warga Afsel membebaskan diri dari belenggu apartheid. Kini, lewat gugatan di Mahkamah Internasional, Afsel membantu Palestina melepaskan diri dari cengkeraman apartheid dan penjajahan Israel.
Berbagai upaya Palestina mencari kebebasan antara lain dicatat Areer dalam salah satu syairnya:
Jika aku harus mati
Biarkan itu membawa harapan
Biarlah itu menjadi sebuah dongeng.
(AFP/REUTERS/AP)