Dukungan nyata dari akar rumput untuk rakyat Palestina tidak berarti apa-apa karena pemimpin dunia sebatas melontarkan retorika.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Ratusan orang hilir mudik di Rumah Sakit Nasser, rumah sakit utama di Khan Younis, Jalur Gaza, Selasa (5/12/2023) malam. Ambulans, mobil pribadi, hingga truk bak terbuka datang dan pergi silih berganti. Paramedis dibantu warga masuk-keluar bangsal di rumah sakit itu untuk mengangkut korban luka akibat serangan Israel ke sejumlah lokasi di kota itu. Tak jarang, korban yang mereka bawa sudah tak bernyawa lagi.
Di bangsal perawatan, para korban dengan luka parah, termasuk anak-anak, terlihat di berbagai sudut. Di salah satu bangsal, dua gadis remaja tengah menjalani perawatan. Wajah dan tubuh mereka berlumuran debu akibat bangunan rumah yang mereka tinggali runtuh. Keluarga mereka terkubur di bawahnya.
”Orangtuaku ada di bawah reruntuhan,” isak salah satunya. ”Aku ingin ibuku. Aku ingin ibuku. Aku ingin keluargaku,” ucapnya berulang-ulang.
Kami diburu satu demi satu. Tidak ada yang memperhatikan kami atau menyadari betapa parahnya tragedi di Gaza ini. Tidak ada perlindungan internasional sama sekali.
Sementara di luar, dentuman suara meriam, rentetan tembakan senapan, hingga roket yang menghunjam sejumlah bangunan di Gaza selatan tak berhenti, sejak dini hari hingga malam. Warga Palestina yang selama ini berpikir Gaza selatan menjadi tempat yang aman dari perang harus bergerak kembali mencari tempat perlindungan.
Pewarta Palestina TV, Salman Al-Bashir, menggambarkan perang di Gaza seperti bom waktu. ”Satu-satunya perbedaan kami dan mereka yang sudah meninggal hanyalah masalah waktu,” ujarnya.
”Kami diburu satu demi satu. Tidak ada yang memperhatikan kami atau menyadari betapa parahnya tragedi di Gaza ini. Tidak ada perlindungan internasional sama sekali. Jaket dan helm ini tidak melindungi kami dari apa pun. Kami adalah korban murni yang ditayangkan dalam siaran televisi. Kami hanya tinggal menunggu waktu,” ujarnya.
Sejurus kemudian, dia melepas rompi antipeluru dengan emblem ”Press” di dadanya. Begitu juga dengan helm yang dikenakannya. Kini, Bashir seperti halnya warga Gaza lainnya.
Jumlah korban warga Palestina di Gaza sejak jeda kemanusiaan berakhir pada Jumat pekan lalu terus bertambah mencapai 16.248 jiwa. Serangan militer Israel ke rumah-rumah di Deir al-Balah, sebelah utara Khan Younis, sepanjang Selasa menewaskan 45 orang. Jumlah itu bisa bertambah karena ribuan korban diperkirakan masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan.
Serangan demi serangan untuk menghancurkan kelompok Hamas sudah menjadi tekad Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pekan lalu menyebut serdadu Israel akan terus bertempur hingga Hamas berhasil ditumpas atau menyerah.
Serangan pada Selasa itu juga dinilai sebagai serangan yang paling intens di wilayah Gaza selatan setelah jeda kemanusiaan usai. ”Serangan hari ini adalah serangan yang paling intensif sejak awal operasi darat,” kata Jenderal Yaron Finkelman, Komandan Komando Selatan IDF.
Sampai saat ini belum ada tindakan nyata untuk menghentikan gempuran Israel terhadap Gaza. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berulang kali gagal menghasilkan resolusi untuk menghentikan perang, hanya sebatas jeda kemanusiaan. Itu pun berjalan lebih karena usaha mediasi Qatar dan Mesir, ditambah dorongan Amerika Serikat.
Pernyataan sikap satu demi satu dikeluarkan oleh banyak negara, organisasi, hingga kepala badan-badan PBB. Namun, tak ada dampak apa pun untuk menghentikan serangan Israel ke Gaza. Negara-negara Barat sekutu Israel, meski sadar jumlah korban sangat besar, tak jua mengambil tindakan untuk menghentikan serangan Israel di Gaza.
Negara-negara Arab yang diharapkan menjadi ujung tombak untuk menghentikan serangan di Gaza pun tak bisa berbuat lebih dari sekadar menyuarakan imbauan. Yang terbaru, Dewan Negara Teluk (GCC) seusai pertemuan di Qatar, Selasa, menuntut Israel agar tunduk pada hukum internasional dan mengakhiri pendudukan di Palestina.
Gedung Putih juga menyebut korban jiwa sudah terlampau banyak. Kini, mereka masih mengejar lampu hijau dari Kongres AS untuk bisa mengucurkan bantuan militer senilai 14,3 miliar dollar AS bagi Israel. Presiden AS Joe Biden bahkan membenarkan retorika Israel tentang kekerasan seksual terhadap warga AS yang disandera Hamas. Hamas membantah tudingan tersebut.
Nabil Echchaibi, profesor studi media di Universitas Colorado Boulder, mengatakan, dukungan nyata dari gerakan akar rumput terhadap rakyat Palestina tidak berarti apa-apa meski terjadi pelanggaran Konvensi Geneva di Gaza dan hukum humaniter internasional. Dalam benak masyarakat di Barat, menurut Echchaibi, rakyat Palestina layak mendapatkan perlakuan seperti itu karena tindakan mereka yang barbar.
Yosefa Loshitzky, profesor peneliti School of Oriental and African Studies Universitas London, secara sederhana menggambarkan perang di Gaza sebagai perang Israel dengan dukungan Barat yang merasa beradab menghadapi Palestina dan kelompok perlawanan yang dianggap kekuatan gelap. ”Serangan terhadap Gaza adalah visi apokaliptik di masa kini, ’perang melawan teror’ yang dilakukan Amerika melalui proksinya, Israel,” kata Loshitzky, dikutip dari laman Al Jazeera.
Mads Gilbert, dokter asal Norwegia yang sempat bertugas di Rumah Sakit Al Shifa, memberikan istilah yang mungkin mewakili situasi yang dihadapi rakyat Palestina saat ini. Gilbert menggunakan kata untermenschen yang dulu digunakan Nazi Jerman untuk memusnahkan kelompok orang yang dianggap manusia paling rendah dan tidak diinginkan.
Echchaibi bertanya sekaligus menggugat nurani para pengambil kebijakan. ”Ketika bom menghujani Gaza hari ini, membunuh dan melukai ribuan warga sipil, serta membuat lebih dari 1 juta orang mengungsi, bukti apa lagi yang harus diperlihatkan rakyat Gaza, Palestina, agar penderitaan mereka diakui? Dalam bahasa apa penderitaan mereka bisa dipahami? Medium apa yang bisa membawa penderitaan mereka ke tempat yang aman?” tanyanya. (REUTERS)