Janji mengamendemen ”lese majeste” menjadi salah satu daya tarik MFP. Aturan itu banyak diselewengkan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
BANGKOK, RABU — Mahkamah Konstitusi Thailand melarang amendemen konstitusi terkait pasal penghinaan terhadap Raja. Jika diteruskan, upaya amendemen itu dapat dianggap sebagai makar.
Larangan itu diputuskan pada Rabu (31/1/2024) di Bangkok, Thailand. MK menyebut, upaya Partai Bergerak Maju (MFP) mengamendemen pasal 112 pada konstitusi Thailand sebagai tindakan melawan hukum. Pasal itu berisi larangan menghina raja atau lese majeste. MFP diperintahkan berhenti mengamendemen aturan tersebut.
Selama kampanye pemilu 2023, MFP antara lain menjanjikan amendemen Pasal 112 pada konstitusi Thailand. Pasal itu dikenal sebagai lese majeste. Janji itu membuat seorang pengacara, Theerayut Suwankesorn, meminta fatwa ke MK.
Pengacara yang dekat dengan militer Thailand itu memakai Pasal 49 pada konstitusi Thailand. ”Permintaan MFP mengubah Pasal 112 UUD bertentangan dengan Pasal 49 yang melarang kebebasan berekspresi jika ditujukan untuk menjatuhkan kerajaan,” ujarnya kepada Bangkok Post.
Juru bicara MFP Parit Wacharasindu mengatakan, MFP akan meneruskan amendemen jika MK menyatakan MFP tidak melanggar Pasal 49. Walakin, tidak ada penjelasan amendemen seperti apa yang diusahakan MFP.
”Kami menyerukan perubahan yang masih sesuai dengan hukum Thailand. Prosesnya juga harus melalui berbagai rapat dan kesepakatan di parlemen. Tidak ada alasan ataupun agenda di luar itu,” katanya.
Ada kekhawatiran, gugatan Theerayut bisa menyebabkan pembubaran MFP. Sebab, MFP dapat saja dituding berupaya mengubah bentuk negara Thailand atau setidak-tidaknya menggulingkan raja.
Kekhawatiran itu antara lain didasarkan analisis Dekan Fakultas Hukum Universitas Dhurakij Pundit, Jade Donavanik. Menurut Jade, ada kemungkinan gugatan menjadi pintu masuk pembubaran MFP.
Berdasarkan Pasal 92 konstitusi Thailand, pengadilan bisa membubarkan partai yang ditetapkan MK melanggar Pasal 49 pada konstitusi. Para pemimpin partai itu juga bisa dilarang ikut pemilu selama 10 tahun.
Namun, para pakar hukum Thailand menyebut gugatan tidak ditujukan untuk membubarkan MFP. Gugatan hanya ingin melarang MFP melanjutkan upaya amendemen Pasal 112 di konstitusi.
Tarik pemilih
Janji mengamendemen lese majeste menjadi salah satu daya tarik MFP pada pemilu 2023. Siapa pun yang dianggap melanggar aturan itu bisa dipenjara 15 tahun. Setidaknya 260 orang dipenjara karena dinyatakan melanggar aturan tersebut.
Janji kampanye membuat MFP bisa meraih 37 persen suara sah pemilu 2023. Sayangnya, kursi mereka di parlemen tidak cukup untuk membentuk sendiri pemerintahan. MFP juga gagal menggalang koalisi.
Bukan hanya itu, Pita Limjaroenrat yang mendirikan dan memimpin MFP malah terseret kasus hukum. Ia didakwa melanggar aturan karena punya saham di perusahaan media.
Berbagai masalah hukum pada MFP dan pengurusnya dituding sebagai pembalasan atas upaya partai itu soal amendemen lese mejeste. MFP tidak pernah menjelaskan akan menghapus total atau hanya mengubah aturan itu.
Selama ini, para pengurusnya mengindikasikan agar pengadilan jangan langsung menuduh dan memvonis orang-orang yang kritis terhadap raja. Aturan lesemajeste banyak diselewengkan oleh pihak konservatif untuk menjebak orang-orang progresif.
Hal itu, antara lain, dialami Arnon Nampa (39). Pengacara pembela HAM itu malah divonis 50 tahun penjara karena dianggap melanggar lese mejeste dalam unjuk rasa pada 2020. Unjuk rasa terjadi di tengah pandemi Covid-19. Kala itu, warga tidak puas terhadap penanganan pandemi dan korupsi masih terus terjadi. Di tengah unjuk rasa, ada seruan reformasi kerajaan. (AFP/REUTERS)