Anak Muda Penganggur di Inggris Terpaksa Menolak Pekerjaan
Tingginya biaya hidup berdampak buruk pada pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari di Inggris.
Anak-anak muda Inggris yang masih menganggur terpaksa menolak pekerjaan hanya karena mereka tidak mampu membiayai pengeluaran ikutannya, seperti biaya transportasi dan membeli pakaian. Sementara anak muda yang masih sekolah, khususnya anak dari keluarga miskin, juga tidak bisa konsentrasi belajar karena khawatir masalah uang.
Banyak di antara mereka yang tidak masuk sekolah hanya karena tidak punya uang untuk naik transportasi umum. Biaya hidup yang semakin tinggi di Inggris berdampak buruk pada pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari rakyat Inggris.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Kenyataan yang mengkhawatirkan di kalangan anak muda Inggris ini dipaparkan dalam NatWest Youth Index 2024 yang dikeluarkan badan amal Inggris, The Prince’s Trust. Harian The Guardian, Minggu (28/1/2024), menyebutkan, separuh dari anak-anak muda yang disurvei mengatakan, krisis biaya hidup berdampak lebih buruk pada kehidupan mereka dibandingkan pada masa pandemi Covid-19. Sebanyak dua perlima dari mereka khawatir karena tidak punya uang bisa memengaruhi kesehatan mental.
The Prince’s Trust merupakan badan amal yang didirikan pada 1976 oleh Raja Charles III (saat itu masih sebagai Pangeran Wales) untuk membantu anak muda yang rentan. Program ini membantu anak muda usia 11-30 tahun yang menganggur atau mengalami kesulitan di sekolah dan berisiko dikucilkan.
Banyak anak muda yang terbantu dalam menghadapi permasalahan seperti tunawisma, disabilitas, kesehatan mental, atau hukum. Ini pertama kalinya indeks yang memantau kesejahteraan kaum muda di Inggris sejak 2009 mengamati bagaimana kaum muda menghadapi kenaikan harga.
”Yang paling merasakan dampak dari krisis ini adalah anak muda dari keluarga miskin atau penganggur. Tekanan keuangan melumpuhkan kemampuan mereka mendapat peluang kerja baru atau keterampilan dan kualifikasi untuk mengejar karier mereka,” kata Kepala Eksekutif The Prince’s Trust Jonathan Townsend.
Masalah utamanya ada pada tidak banyak pekerjaan yang stabil dan bergaji baik. Padahal, itu yang dibutuhkan karena krisis dan tekanan ekonomi yang berat bagi anak muda.
Tara Cousins, anak muda di London, sudah hampir satu tahun menganggur setelah lulus dari universitas karena tidak mampu melamar sebagian besar pekerjaan yang dibuka di wilayahnya. Tekanan ekonomi saat ini memaksa dia mengubur keinginan mengejar cita-cita mendapatkan ”pekerjaan impian” atau ”kepuasan karier”.
”Sebenarnya banyak pekerjaan di konstruksi yang saya inginkan. Tetapi, saya tidak bisa melamar karena tidak mampu membayar biaya transportasi ke tempat kerja, tidak bisa beli baju kerja, atau bahkan tas kerja,” ujarnya.
Hampir seperlima dari 2.239 anak muda yang ikut serta dalam survei menuturkan berencana menyelesaikan pendidikan lebih awal agar bisa mulai bekerja mencari uang. Sekitar 5 persen mengatakan tidak masuk sekolah atau bekerja dalam 12 bulan terakhir karena tidak punya ongkos transportasi. Setidaknya satu dari 10 orang dari keluarga miskin mengalami hal ini.
Baca juga: Bila Orang Muda Memilih Menyerah
Penelitian ini juga menemukan satu dari 10 anak muda pernah mengalami perundungan karena tidak punya uang. Seperlima dari mereka mengaku sengaja tidak makan tiga kali sehari untuk menghemat uang dalam 12 bulan terakhir. Sepertiga di antaranya mengatakan tidak bertemu dengan keluarga atau teman selama setahun terakhir agar lebih irit.
Direktur Eksekutif Youth Futures Foundation Barry Fletcher khawatir krisis biaya hidup di Inggris akan menghasilkan generasi muda penganggur yang sekaligus menghadapi risiko kesehatan mental dan fisik. Apalagi jika melihat kesenjangan prestasi antara siswa miskin dan teman sebayanya yang lebih beruntung melebar 6,7 persen untuk siswa usia 16-19 tahun. Dia khawatir para siswa itu akan menghadapi persoalan yang jauh lebih besar ketika harus mencari pekerjaan, terutama yang berkualitas baik.
Menyerah
Harian The Telegraph, Senin (29/1/2024), menyebutkan, penelitian itu menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan, pendidikan, dan uang berada pada tingkat terendah selama 15 tahun terakhir. Hasil ini sejalan dengan penelitian terpisah yang dilakukan Yayasan Resolusi di Inggris.
Penelitian itu menemukan satu dari 10 penduduk usia kerja merasa tidak dalam kondisi sehat fisik dan mental untuk bekerja ataupun mencari pekerjaan. Data dari Layanan Kesehatan Nasional Inggris menunjukkan, saat ini jauh lebih banyak anak muda yang memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan sebelum masa pandemi Covid-19.
Ini akan memperparah tingkat pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di Inggris yang sudah turun dari 15 persen pada September 2020 menjadi 12,7 persen pada Juli 2023. Meski turun, angka itu lebih tinggi dari rata-rata negara maju dan jauh lebih tinggi ketimbang Jerman dan Jepang. Tingkat pengangguran pada laki-laki muda (14,6 persen) lebih tinggi ketimbang perempuan (9,8 persen).
Jumlah anak muda yang tidak mengenyam pendidikan atau pelatihan kerja sebanyak 11,6 persen. Pandemi Covid-19 menyebabkan berkurangnya peluang bagi kaum muda untuk mendapatkan pekerjaan, seperti magang, dan kesenjangan keterampilan yang mempersulit mereka masuk ke sejumlah industri.
Situasi anak muda di Inggris masih lebih baik ketimbang di Spanyol. Negara itu menjadi salah satu negara di Eropa dengan proporsi tertinggi anak muda usia 18-24 tahun yang tidak sekolah atau bekerja. Laman Euronews, 25 September 2023, mengutip laporan Education at a Glance pada 2023, menyebutkan, angka pengangguran di Spanyol di atas rata-rata Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 17 persen.
Di antara negara-negara Uni Eropa, Republik Ceko, Italia, dan Romania memiliki persentase yang lebih tinggi (masing-masing 31 persen, 24 persen, dan 22 persen). Adapun Yunani memiliki persentase sama dengan Spanyol. Negara dengan persentase penduduk tidak aktif di bawah 10 persen berada di Swedia, Norwegia, dan Jerman.
”Sulit mendapatkan pekerjaan di Spanyol karena sebagian besar tawaran pekerjaan memerlukan pengalaman. Kami tidak akan punya pengalaman jika tidak pernah diberikan kesempatan. Gajinya pun rendah dibandingkan dengan kenaikan semua harga,” kata Jan (21), warga Spanyol.
Rumah orangtua
Menyerah mencari pekerjaan juga melanda anak muda Korea Selatan. Hampir empat dari 10 anak muda yang tidak punya pekerjaan di Korsel sudah menganggur selama tiga tahun. Harian The Korea Herald, 23 Oktober 2023, menyebutkan, data statistik Korsel pada Mei 2023 menunjukkan, 218.000 anak muda usia 15-29 tahun belum bekerja selama lebih dari tiga tahun.
Di antara mereka, 80.000 orang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah saja tanpa mencari pekerjaan atau pelatihan dan pendidikan untuk perekrutan. Mereka masuk dalam kelompok yang disebut orang yang ”tidak sedang dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan” atau NEET.
Survei lain yang dilakukan Institut Kesehatan dan Sosial Korea (KIHASA) menunjukkan, 57,5 persen orang berusia 19-34 tahun tinggal bersama orangtua mereka. Lebih dari separuh responden (67,7 persen) mengatakan tidak berencana meninggalkan rumah orangtua. Alasan terbesar yang dikemukakan adalah ketidakstabilan ekonomi (56,6 persen).
Baca juga: Gelar Sarjana Tak Jamin Mudah Cari Kerja, di AS atau China Sama Saja
Yang mengkhawatirkan adalah banyak anak muda menganggur yang tidak mau keluar rumah. Kementerian Kesehatan Korsel memperkirakan, ada 516.000 anak muda yang memutus hubungan sosial atau tidak meninggalkan rumah selama berbulan-bulan.
Pemerintah Korsel akan memberikan dana bantuan 2.200 dollar AS (Rp 34,8 juta) untuk 9.000 penganggur muda yang dipilih ikut program dukungan ketenagakerjaan. Mereka akan menerima subsidi uang tunai satu kali, konseling, dan konsultasi pencarian kerja. Akan ada investasi 28,1 miliar won dalam kebijakan peningkatan lapangan kerja bagi anak muda juga.
Para ahli menekankan, penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat diandalkan harus menjadi landasan utama menghidupkan kembali motivasi anak muda untuk bergabung dengan masyarakat.
”Tetapi, masalah utamanya ada pada tidak banyak pekerjaan yang stabil dan bergaji baik. Padahal, itu yang dibutuhkan karena krisis dan tekanan ekonomi yang berat bagi anak muda. Pekerjaan dengan prospek bagus dan gaji layak serta posisi karyawan tetap di perusahaan besar itu paling hanya ada 10 persen di negeri ini,” kata Guru Besar Sekolah Pascasarjana Studi Perburuhan Universitas Korea Kim Sung-hee.