Desakan Percepatan Pemilu Israel Menguat
Percepatan pemilu di Israel mulai disuarakan warga dan tokoh Israel. Sandera dan korban yang makin besar jadi alasan.
GAZA, RABU — Tewasnya 21 tentara Israel di Gaza memberikan pukulan keras bagi Israel. Banyak warga semakin mempertanyakan tujuan perang setelah sejauh ini militer belum bisa membebaskan semua sandera yang masih berada di tangan kelompok Hamas. Warga mulai menyerukan perubahan, termasuk kemungkinan untuk menyelenggarakan pemilihan umum.
”Ketika Netanyahu menginginkan kemenangan mutlak, perang hingga tahun 2025, dia tahu bahwa jika itu yang terjadi, para sandera tidak akan kembali. Jika kembali, mereka kembali dalam peti mati. Perang yang berkepanjangan di wilayah musuh bukanlah hal yang baik,” kata Eyal Ben Reuven, seorang jenderal cadangan Israel, Selasa (23/1/2024).
Baca juga: Tentara Israel Tewas di Gedung yang Akan Mereka Ledakkan di Gaza
Tewasnya 21 tentara menjadi tamparan keras bagi Netanyahu dan militer Israel yang menginginkan kelompok Hamas dikalahkan. Atau minimal, para pemimpinnya terbunuh sehingga diyakini kelompok itu akan lumpuh. Sejauh ini, Netanyahu menolak tekanan dari mana pun, termasuk Amerika Serikat, untuk menghentikan perang. ”Atas nama pahlawan kita, demi hidup kita, kita tidak akan berhenti berjuang sampai kemenangan mutlak,” katanya.
Sikap keras Netanyahu, pemimpin terlama negara itu, mendapat kritik keras dari banyak pihak. Tidak hanya rakyat biasa dan keluarga sandera, kritik juga datang dari para penentangnya, termasuk sejumlah mantan petinggi militer. Mereka menyebutnya tidak memiliki visi yang jelas bagaimana menyelesaikan perang dengan Hamas di Gaza. Para kritikus meyakini Netanyahu memiliki motivasi politik dan pribadi yang mengaburkan pengambilan keputusannya.
Israela Oron, analis Universitas Ben-Gurion di Negev, menyebut, meningkatnya jumlah tentara yang tewas menambah tekanan pada pemerintah. ”Semua orang berduka atas tentara tersebut. Masyarakat akan menuntut jawaban yang jelas mengenai maksud dan tujuan operasi di Gaza ini.”
Dukungan yang semakin memudar terlihat dari banyaknya papan reklame yang menyerukan perubahan. Apabila sebelumnya jalan raya utama Israel terpampang reklame-reklame yang menyuarakan persatuan, kini pesannya berubah. Pesan yang kini muncul adalah seruan agar pemilu segera diadakan.
”Masyarakat Israel menemukan kembali kesukuan politiknya,” kata Nadav Eyal, komentator surat kabarYediot Ahronot. Eyal mengatakan ini bisa dibaca sebagai pertanda bahwa Netanyahu sudah tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari publik.
Awal Januari, sekitar 170 mantan pejabat militer dan pejabat senior pertahanan menandatangani sebuah surat yang menyerukan percepatan pemilu di Israel. Demonstrasi untuk mendesak percepatan pemilu juga terjadi di Tel Aviv, pekan lalu, yang diikuti oleh ribuan orang, menjadi aksi antipemerintah terbesar sejak perang berlangsung.
Baca juga: Retorika Dunia Tak Akan Menyelamatkan Gaza
Hasil sebuah jajak pendapat Institut Demokrasi Israel, yang diluncurkan pada 2 Januari 2024, memperlihatkan hanya 15 persen warga Israel yang menginginkan Netanyahu terus menjabat jika perang usai. Jajak pendapat lain yang dilakukan pada Desember 2023 menyebutkan, hampir 70 persen warga Israel mendukung pemilu segera digelar setelah perang usai.
Ketidakpuasan masyarakat, khususnya keluarga para sandera, terhadap pemerintahan Netanyahu semakin tinggi. Demonstrasi di depan gedung Knesset baru-baru ini memperlihatkan seorang pria, yang diketahui merupakan keluarga seorang sandera yang tewas, menyatakan ketidakpuasannya terhadap kemampuan pemerintah mendeteksi potensi serangan Hamas. Dia, yang harus berhadapan dengan polisi, menyatakan bahwa dirinya tidak akan berhenti menggugat sampai seluruh kabinet Netanyahu lengser dan memberikan pertanggungjawabannya. Dia mengenakan kaus hitam bertuliskan ”Pemilu!” dalam warna kuning.
Baca juga: Sulit Sekali Menghitung Korban Perang Gaza yang Lebih Buruk dari Perang Dunia II
Ibu seorang tentara yang disandera dan kemudian dilaporkan tewas saat disandera telah melancarkan perlawanan publik terhadap pemerintah. Gugatannya juga muncul bersamaan dengan kampanye dan demonstrasi keluarga para sandera di luar kediaman pribadi Netanyahu.
”Saat ini, hal yang paling mendesak—dan tidak ada yang lebih mendesak—adalah mengembalikan para sandera dalam keadaan hidup,” kata Gil Dickmann, salah satu peserta aksi. Sepupunya adalah salah satu yang masih ditahan di Gaza.
Gadi Eisenkot, seorang anggota Kabinet Perang dan mantan panglima militer yang berpengaruh, dalam sebuah acara di televisi menyatakan, hanya dengan negosiasi, para sandera bisa dibebaskan. Eisenkot juga menyerukan agar pemilu segera digelar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Gencatan senjata
Angka kematian warga Palestina yang semakin besar akibat perang membuat gelisah banyak pihak. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron secara terpisah menyatakan, Gaza mengalami kehancuran dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
”Seluruh penduduk Gaza mengalami kehancuran dalam skala dan kecepatan yang tiada bandingannya dalam sejarah saat ini,” kata Guterres saat berbicara di Dewan Keamanan PBB. Dia menyatakan, tidak ada yang bisa membenarkan hukuman kolektif yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Sementara itu, Cameron menyatakan, dengan jumlah korban sudah tidak bisa diterima, yang diperlukan saat ini adalah gencatan senjata.
”Tak seorang pun ingin melihat konflik ini berlangsung lebih lama dari yang diperlukan,” kata Cameron. ”Saat ini diperlukan jeda segera untuk memasukkan bantuan dan mengeluarkan sandera. Situasinya sangat menyedihkan.”
Baca juga: Gaza, Israel, dan Jalan Buntu
Negosiasi antara Hamas dan Israel untuk menghentikan perang atau setidaknya gencatan senjata sementara terus diupayakan oleh AS, Qatar, dan Mesir. Kantor berita Reuters melaporkan bahwa para pihak tengah menegosiasikan jeda pertempuran selama sebulan dengan imbalan pembebasan semua sandera Israel dan tahanan Palestina. Yang menjadi ganjalan, menurut sumber Reuters, adalah cara mengakhiri perang secara permanen.
Di satu sisi, Israel menginginkan semua sandera tersisa dibebaskan oleh Hamas, tapi tidak memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan menyerbu Gaza atau Hamas kembali pascapembebasan. Sedangkan Hamas menginginkan jaminan itu dari Israel sebelum semua sandera dibebaskan.
Baca juga: China dan Angan Perdamaian di Palestina
Outlet berita AS Axios dalam laporannya, Senin (22/1/2024), melaporkan pada hari Senin bahwa Israel telah mengusulkan kepada Hamas, melalui mediator Qatar dan Mesir, sebuah kesepakatan baru untuk membebaskan semua sandera dengan imbalan gencatan senjata selama dua bulan. Mengutip seorang pejabat Israel yang tidak mau disebutkan namanya, kesepakatan yang diusulkan akan dilakukan dalam beberapa tahap dan melibatkan pembebasan tahanan Palestina dalam jumlah yang belum ditentukan.
Kementerian Luar Negeri AS, Qatar, dan Mesir menolak berkomentar mengenai hal itu. Sebuah sumber Palestina yang mengetahui perundingan tersebut mengatakan kepada AFP bahwa delegasi Hamas tiba di Kairo pada hari Selasa untuk bertemu dengan kepala intelijen Mesir dan membahas proposal gencatan senjata baru.
Tekanan terhadap Israel dan para pendukungnya juga disampaikan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di sesi debat terbuka DK PBB yang berlangsung Selasa (23/1/2024) waktu setempat atau Selasa pagi waktu Indonesia. Retno mempertanyakan kesungguhan DK PBB dalam mengadopsi berbagai resolusi yang telah dikeluarkan. Pada saat yang sama, tidak ada sanksi yang dijatuhkan jika ada pihak yang melanggar resolusi tersebut.
Baca juga: AS Rangkul Otoritas Palestina demi Singkirkan Hamas
”Pertanyaan saya kepada DK PBB adalah sudah berapa banyak resolusi mengenai Palestina telah diadopsi? Dan, berapa banyak yang telah dilaksanakan? Hal itu sengaja disampaikan karena banyak resolusi yang dilanggar terkait Palestina tetapi tidak pernah ada sanksi kepada para pelanggar,” kata Retno.
Dia juga mengingatkan bahwa DK PBB adalah tempat bersandar bagi rakyat Palestina untuk mengadukan perlakuan yang tidak adil, yang diterimanya selama puluhan tahun. Sementara serdadu Israel terus melakukan pembunuhan terhadap rakyat Palestina dan tidak pernah ada hukuman yang adil.
”Di depan DK PBB saya bertanya apakah lebih dari 25.000 nyawa yang telah melayang, ditambah dengan semakin banyaknya yang sekarat karena kelaparan dan kedinginan, termasuk bayi dan anak-anak, masih terlalu sedikit untuk kita segera bertindak?” katanya.
Retno menekankan bahwa Israel harus bertanggung jawab atas aksi kejamnya di Gaza. Indonesia, katanya, akan terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyat Palestina. (AP/AFP/Reuters)