Kehancuran Gaza dan kematian warga Palestina membuka mata anak-anak muda Israel. Mereka menolak ikut serta.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Sofia Orr tak lama lagi berusia 18 tahun. Berdasarkan hukum Israel, orang berusia 18-24 tahun diwajibkan bertugas di Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Di tengah situasi seperti sekarang, militer Israel membutuhkan darah muda untuk menggantikan anggota pasukan yang sudah lama bertugas. Penugasan dipandang sebagai bagian dari identitas nasional.
Dilaporkan Associated Press, Senin (8/1/2024), pejabat Israel menyebut perang menumpas kelompok Hamas di Jalur Gaza akan berlanjut sampai beberapa bulan mendatang. Sementara warga sipil Israel banyak yang menyatakan tidak mau lagi ada peperangan.
Menurut rencana, Orr masuk wajib militer pada 25 Februari 2024. Akan tetapi, Orr memutuskan menolak. ”Saya akan menolak untuk mendaftar dan mungkin akan masuk penjara karenanya,” katanya kepada media Perancis, France24, Sabtu (6/1/2024).
Orr tinggal dengan orangtuanya di kota Pardes Hanna-Karkur, Distrik Haifa. Ia menolak menjadi bagian dari penindasan dan kebijakan apartheid pemerintah dan militer Israel terhadap warga Palestina, terlebih saat perang sekarang ini.
”Saya ingin berjuang untuk menyampaikan pesan bahwa tidak ada solusi militer terhadap masalah politik. Dan, itu semakin jelas terlihat saat ini. Saya ingin menjadi bagian dari solusi, bukan masalah,” tuturnya.
Sikapnya sejalan dengan sikap remaja Israel lain, Tal Mitnick (18). Mitnick bahkan telah mendekam di bui sejak 2 Januari 2024 karena menolak wajib militer.
Ia berani bersuara lantang. Melalui media sosial, Mitnick menyebut solusi jangka panjang persoalan Israel dan Palestina bukanlah jalan militer dan kekerasan. ”Kekerasan tidak bisa menyelesaikan situasi ini, baik oleh Hamas maupun Israel. Karena itu, saya menolak bergabung dengan tentara yang percaya bahwa masalah sebenarnya dapat diabaikan, di bawah pemerintahan yang hanya mengakibatkan duka dan penderitaan lebih besar,” katanya.
Saya akan menolak untuk mendaftar dan mungkin akan masuk penjara karenanya.
Sikap Mitnick menginspirasi Orr. Ia pun paham sikap yang diambilnya sulit diterima, terutama karena situasi yang dialami warga Yahudi Israel. Namun, dia paham kekerasan yang dibalas kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan.
”Saya tidak akan pernah membenarkan tindakan Israel saat ini di Gaza. Kekerasan hanya akan menghasilkan lebih banyak kekerasan,” katanya.
Dia juga meyakini, tindakan keras Israel selama beberapa dekade terakhir tidak memberi dampak positif bagi warga Yahudi di negara itu. Dengan keinginan para petinggi pemerintahan serta militer Israel yang ingin menghancurkan kelompok Hamas, dampak negatifnya bahkan lebih besar bagi warga Israel.
”Hal itu akan membuat Hamas lebih kuat karena kalian, kita sekalian, tidak menawarkan alternatif bagi rakyat Palestina. Mereka akan berpikir satu-satunya jalan keluar adalah dengan perlawanan, kekerasan. Itu satu-satunya bahasa yang akan terus mereka pahami untuk mendapat kebebasan,” katanya.
Secara tidak langsung, menurut Orr, berbagai tindakan yang dilakukan Israel pada akhirnya mendorong rakyat Palestina mendukung tindakan Hamas.
Generasi baru
Orr dan Mitnick adalah suara generasi baru anak muda Yahudi yang menolak perang, bahkan apartheid. Berbagai organisasi hak asasi manusia telah menyampaikan perbuatan yang dilakukan pemerintah dan militer Israel terhadap rakyat Palestina.
Anak-anak muda itu bergabung dengan jutaan anak muda dari berbagai belahan dunia yang menolak kekerasan tentara Israel terhadap rakyat Palestina. Mereka disebut sebagai kelompok refusenik oleh warga Israel. Mereka sadar tindakan pemerintah dan militer Israel bukan tindakan yang patut dan harus dihentikan.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai persoalan yang terjadi antara Palestina dan Israel, Orr pergi ke Tepi Barat dan berbicara dengan sejumlah pemukim Israel dan warga Palestina. Bagi dia, ini pengalaman penting untuk mendapatkan informasi dari tangan pertama tentang suatu hal dan bersikap atas hal tersebut.
”Ini pengalaman penting, untuk melihat sendiri, bagaimana para pemukim hidup, dan bagaimana orang-orang Palestina hidup, apa yang dikatakan para pemukim dan apa yang dikatakan orang-orang Palestina,” kata Orr.
Ariel Davidov (19) menyaksikan sendiri bagaimana aparat keamanan Israel melakukan kekerasan terhadap warga Palestina yang mempertahankan tanah dan rumahnya di beberapa lokasi, seperti Sheikh Jarrah, Silawan, dan Isawiya. Dikutip dari laman kantor berita Turki, Anadolu, ia menyatakan hal itu tidak boleh terus terjadi.
Menurut dia, genosida tidak terjadi baru-baru ini. ”Genosida sudah terjadi sejak awal zionisme. Saya juga tidak ingin bergabung dalam dinas ketentaraan yang rasis,” katanya.
Alasan yang sama dikatakan Ella Keidar. ”Saya tidak ingin bertugas di tentara yang mencaplok hak hidup orang lain, menerapkan rezim rasis, dan berperan dalam menindas rakyat Palestina,” katanya.
Suara-suara lantang anak-anak muda Yahudi yang menolak pembumihangusan Gaza semakin kencang, bersamaan dengan semakin banyaknya warga Gaza yang menjadi korban akibat perang. Korban jiwa saat ini mendekati 23.000 jiwa, sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Beberapa pekan setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan dibalas dengan serangan balik Israel dan blokade bantuan kemanusiaan, anak-anak muda itu sudah bersuara lantang. Di Amerika Serikat, beberapa gerakan anak-anak muda Yahudi secara terbuka menentang perang di Gaza. Mereka mendatangi Gedung Capitol dan menyuarakan desakan kepada senator dan Gedung Putih.
Salah satunya adalah Jewish Voice for Peace, kelompok yang menentang tindakan Israel di Gaza. Kelompok ini juga menyerukan penghentian dukungan AS terhadap kekerasan Israel di Gaza. Mereka mengatakan, tidak ada yang salah dalam mengkritik tindakan Israel yang dinilai merusak, apalagi dengan jumlah korban yang semakin besar.
”Saya akan memberi tahu Anda ‘tikkun olam’ dalam Yudaisme, yang berarti perbaikan dunia. Saya tidak ingin menjadi bagian dari Yudaisme yang, atas nama sayam, digunakan untuk membunuh dan menduduki serta memenjarakan jutaan warga Palestina,” kata Rabi Ari Lev Fornari, penggerak kelompok itu.